Dark Mode Light Mode

Yogyakarta Darurat Sampah: Ancaman Nyata Bagi Masa Depan

Sampah, Lumpur, dan Ketidakberdayaan: Kisah Pilu di Ujung Yogyakarta

Pernah gak sih kamu mikir, kemana sih sampah-sampah kita pergi setelah dibuang? Pertanyaan yang mungkin gak begitu penting buat sebagian besar, tapi cerita di balik "perginya" sampah ini bisa jadi lebih rumit dari sekadar dibawa truk dan hilang entah ke mana. Di Yogyakarta, khususnya di kawasan Piyungan, masalah ini udah jadi bom waktu yang siap meledak, meracuni lingkungan, dan bikin warga sekitar gelisah… dan kita semua yang menghasilkan sampah ini.

Piyungan, dulunya adalah tempat pembuangan akhir (TPA) andalan Yogyakarta, sekarang kondisinya udah kayak mantan yang balik lagi setelah bilang mau berubah. Udah ditutup resmi sejak Mei 2024 karena kelebihan kapasitas, tapi kenyataannya masih terima sampah, bahkan dari motor-motor. Kamu bisa bayangin gak sih, gimana rasanya hidup di tengah tumpukan sampah yang terus bertambah, belum lagi aroma khas yang bikin hidup makin berwarna?

Ini bukan cerita fiksi, tapi realita yang dialami warga sekitar TPA Piyungan. Mereka harus berhadapan dengan leachate (cairan sampah beracun) yang mencemari sumber air, dan asap pembakaran sampah yang bikin sesak napas. Sementara pemerintah sibuk merancang solusi, warga harus berjuang sendiri, seolah jadi pahlawan kesiangan yang gak dapat jatah makan siang.

Motor Sampah: Antara Realita dan Ilusi

Bayangin, kamu lagi jalan-jalan santai, tiba-tiba ada motor melintas dengan muatan sampah penuh. Bukan, ini bukan pemandangan di film komedi, tapi realita. Di Piyungan, motor jadi transportasi andalan buat buang sampah, bahkan setelah TPA-nya dinyatakan tutup. Kita semua mikir, "Tutup ya tutup, selesai urusan." Tapi, nyatanya hidup gak semudah itu, guys.

Marwan, supervisor lapangan di TPA Piyungan, dengan santainya bilang kalau sampah-sampah ini datang dari kota, padahal kan udah jelas-jelas TPA-nya kelebihan kapasitas. Pemerintah kota, kayaknya belum nemu solusi yang pas buat masalah sampah ini, jadi ya udah, nyasar ke Piyungan lagi. Tapi, jangan salah sangka, TPA Piyungan juga punya batasan, lho. Ada kuota sampah yang boleh masuk, persis kayak kuota internet yang bikin kita kesel.

Rahma, seorang nenek berusia 68 tahun yang tinggal di sekitar TPA, juga ngasih kesaksian serupa. Katanya, cuma motor yang boleh masuk, mungkin karena lebih hemat tempat kali ya?. Truk atau mobil pickup? No way! Jadi, kalau kamu mau buang sampah gede, mending sewa banyak motor aja, kocak sih, tapi ya begitulah kenyataannya.

Bakar-Bakaran: Aroma yang Tak Terlupakan

Nah, yang lebih parah lagi, sampah-sampah itu gak cuma ditumpuk begitu aja. Kismadi, ketua RW setempat, bilang kalau banyak sampah yang dibakar, bahkan dibuatkan semacam tungku darurat. Kamu bisa bayangin gak sih, asapnya kayak apa? Mungkin lebih parah dari mieset tetangga yang gosong, tapi ini versi lebih beracun.

Asap pembakaran sampah ini bukan cuma bikin mata pedih, tapi juga masalah pernapasan. Warga sampai bikin kesepakatan, incinerator (kalau boleh disebut begitu) harus dimatiin jam 8 pagi sampai 3 sore. Bayangin, harus atur jadwal bakar sampah segala! Kita aja yang mau main game harus atur jadwal, ini tetangga harus atur jadwal bakar sampah!

Siklus Tanpa Akhir: Buka-Tutup, Buka-Tutup

TPA Piyungan ini udah kayak hubungan toxic, buka-tutup, buka-tutup terus. Dulu, katanya cuma bisa nampung sampah sampai tahun 2012. Tapi, sampai sekarang, penderitaannya gak kelar-kelar. Ratusan ton sampah numpuk setiap hari, dan warga sekitar jadi korban utama. Miris kan?

Warga sekitar, terutama yang tinggal dalam radius tiga kilometer, harus menanggung dampaknya. Dari kesehatan yang terganggu, sampai sumber air yang tercemar. They're literally living in a waste land. Tapi, kita yang jauh dari Piyungan, apa peduli?

Retaknya Kehidupan: Antara Tanah dan Sampah

TPA Piyungan ini dulu adalah lahan pertanian yang subur. Rahma, salah satu warga, pernah punya sawah di sana, bahkan nanam singkong dan buah sentul. Tapi, setelah pemerintah beli tanah itu, semuanya berubah, jadi tempat sampah. Sekarang, Rahma cuma bisa ngumpulin botol plastik bekas buat dijual. Dari petani jadi pemulung…ironic kan?

Rahma bilang kalau dulu, jadi pengumpul atau pengepul sampah itu lumayan menjanjikan. Pendapatannya bisa sampai Rp200.000 per hari. Bahkan mereka punya rumah yang layak, kendaraan, dan bisa nyekolahin anak. Tapi, sekarang, semua itu tinggal kenangan.

Air Bersih: Bukti Nyata dari Krisis

Leachate. Itu kata sakti yang bikin warga Piyungan khawatir. Air limbah dari sampah yang udah rusak, saking buruknya, tingkat polusinya sampai 99,9%. Akibatnya, air bersih jadi barang langka. Triyanto, ketua kelompok warga, bahkan harus beli air minum kemasan, yang harganya lumayan bikin dompet meringis.

Triyanto sampai nunjuk rumah tetangganya yang sakit setelah minum air sumur. Tragis! Rahma, meski masih pakai air PAM, tetap aja khawatir. Semoga gak ada lagi deh yang sakit gara-gara masalah sampah ini.

Yanti, bidan desa, saksi mata dari penderitaan warga. Bau sampah yang menyengat, gizi buruk, dan anak-anak yang sakit. Tapi, pemerintah? Enggak tahu deh…

Gerakan Akar Rumput: "Golek Penake Dewe…"

Warga udah gak cuma khawatir soal leachate dan bau sampah, tapi juga gas metana yang bisa meledak sewaktu-waktu. TPA Piyungan ini, persis kayak nasi timbel yang numpuk di piring. Siap meledak kapan saja. Tapi, penanganan leachate? Boro-boro!

Triyanto bilang, waduk pengolahan leachate-nya gak berfungsi. Percuma pemerintah bangun kalau gak niat merawatnya, ya kan? Dan leachate ini, bakal terus ngalir selama bertahun-tahun. Efeknya gak cuma ke kesehatan, tapi juga ekonomi warga. Sungai Opak yang seharusnya jadi sumber penghidupan, sekarang udah rusak*.

Lilik Purwoko, aktivis dari kelompok warga, udah gak percaya lagi sama pemerintah. Katanya, pemerintah cuma janji manis, tapi gak ada aksi nyata. Elki Setiyo Hadi, dari Walhi Yogyakarta, punya dugaan kalau pemerintah gak punya rencana matang buat atasi krisis sampah.

Solusi pemerintah? TPS3R, tempat sampah sementara yang malah nambah masalah. Sampah numpuk di sana selama enam bulan, tapi nasibnya gak jelas. Elki bilang, yang lebih parah lagi sampah organik. Mau dikemanain coba?

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Penulis Lagu 'Circus' Britney Spears: Musik Kunci Biopic, Ingin Terlibat

Next Post

Rumor Sonic Racing: CrossWorlds Mencuat Jelang 'State Of Play' Sony