Woke vs Anti-Woke: Perang Ideologi yang Tak Berujung

Woke vs Anti-Woke: Duel ideologi yang nggak cuma menyentuh dunia nyata, tapi juga merambat ke dunia hiburan seperti film dan game.

Istilah woke lagi jadi sorotan di mana-mana. Tapi, sebenernya apa sih arti dari kata ini? Dan kenapa ada orang-orang yang dengan lantang bilang kalau mereka anti-woke? Di balik perdebatan sengit ini, ada konflik ideologi yang nggak cuma muncul di dunia nyata, tapi juga mulai merambah ke hiburan seperti film, musik, dan tentu aja, game.

Oke, mari kita mulai dari arti dasarnya. Woke diambil dari kata “awake,” yang artinya “terjaga.” Orang yang disebut woke biasanya dianggap punya kesadaran sosial yang tinggi, terutama soal isu-isu diskriminasi, ketidakadilan, dan representasi minoritas. Jadi, kalau kamu “woke,” kamu dianggap peduli sama masalah sosial dan politik yang melibatkan kelompok-kelompok yang terpinggirkan, kayak soal ras, gender, atau identitas seksual.

Namun, ideologi ini tentu nggak bisa diterima semua orang dengan mulus. Di sisi lain, ada kubu anti-woke. Mereka merasa bahwa gerakan woke ini mulai keterlaluan. Menurut para anti-woke, woke-culture udah terlalu banyak “mengintervensi” segala hal, mulai dari politik sampai ke dunia hiburan. “Ngapain sih semua harus ada agenda sosialnya? Kami cuma mau main game atau nonton film tanpa perlu disusupi politik!” begitu kira-kira protes mereka.

Dua kubu ini punya perspektif yang beda banget. Di satu sisi, para woke percaya bahwa dunia hiburan, terutama film dan game, harusnya mencerminkan dunia nyata. Artinya, kalau di dunia nyata ada banyak warna kulit, latar belakang budaya, atau identitas gender, maka semua itu juga harus terlihat di layar atau di dalam cerita game. Ini bukan cuma soal keberagaman, tapi soal keadilan—membiarkan semua orang merasa “terwakili.”

Sebaliknya, anti-woke merasa hiburan harus netral, nggak perlu diwarnai oleh agenda sosial atau politik. Buat mereka, film atau game harusnya murni soal cerita dan aksi yang menarik, bukan media buat mempromosikan ideologi tertentu. Mereka juga sering merasa bahwa agenda woke ini memaksa developer atau pembuat konten untuk mengubah visi asli mereka hanya demi menyesuaikan tren sosial.

Nggak jarang juga, kritik terhadap kubu woke bilang bahwa narasi yang dipaksakan ini justru merusak karya seni. Kayak kasus beberapa game atau film yang dicap “terlalu woke” karena terlalu menonjolkan representasi tanpa memperhatikan kualitas cerita. “Identitas politik ditolak mentah-mentah oleh penonton!” seringkali menjadi headline yang disuarakan kubu anti-woke.

Debat soal woke dan anti-woke ini nggak cuma terjadi di media sosial atau forum-forum internet, tapi juga berpengaruh di dunia nyata. Misalnya, ketika sebuah film dianggap terlalu woke, biasanya langsung diserbu dengan kritik tajam. Sebaliknya, kalau ada karya yang nggak cukup mencerminkan keberagaman, para woke-lah yang akan melayangkan protes keras.

Pada akhirnya, semua ini balik lagi ke preferensi pribadi. Mau kamu berdiri di sisi woke atau anti-woke, keduanya punya argumen masing-masing yang kuat. Tapi yang jelas, perdebatan ini masih jauh dari kata selesai, sob.

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *