Wafia: Suara Generasi yang Merantau, Antara Cinta, Keluarga, dan Pergolakan
Pernah nggak sih, kamu dengerin lagu yang relate banget sama perasaanmu? Seolah-olah penyanyinya ngerti semua drama kehidupanmu. Nah, Wafia, penyanyi muda berbakat asal Australia, adalah salah satu orang yang bisa bikin lagu-lagu kayak gitu. Album barunya, “Promised Land”, baru aja rilis, dan ini bukan cuma kumpulan lagu, tapi juga cerita tentang perjalanan hidup, cinta, dan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang sering kita alami.
Bagi kamu yang belum kenal, Wafia ini bukan pemain baru di dunia musik. Namanya mulai dikenal sejak tahun 2014, waktu dia bikin cover lagu “Let Me Love You” milik Mario yang bedroom pop banget. Suaranya yang khas, ditambah musiknya yang catchy, bikin banyak orang langsung jatuh cinta. Nggak heran, Pharrell Williams, Kylie Jenner, bahkan Jaden Smith, juga ngefans sama dia.
Album “Promised Land” ini sejatinya dijadwalkan rilis Januari lalu. Tapi, kota tempat tinggal Wafia, Los Angeles, lagi dilanda kebakaran hebat waktu itu. “Aku nggak merasa ini waktu yang tepat untuk merayakan atau hadir di tengah situasi kayak gitu,” katanya. Akhirnya, ia memilih untuk menunda perilisannya dan fokus pada kegiatan sosial.
Merangkul Kebhinekaan Lewat Musik
Album ini akhirnya hadir sebulan setelah jadwal semula. "Promised Land" adalah sebuah suguhan bermutu tinggi yang kaya akan berbagai genre, dari pop alternatif, bossa nova, R&B, hingga sentuhan psikedelia dan indie rock. Album ini mengeksplorasi kompleksitas hubungan, baik itu romantis, persahabatan, maupun keluarga. Dengan sentuhan "whimsy and feminine," album ini berhasil menyajikan optimisme yang sangat dibutuhkan.
Wafia sendiri punya pengalaman hidup yang unik. Lahir di Belanda dari ayah Irak dan ibu Suriah, ia sering pindah-pindah selama masa kecilnya yang nomaden. Ketika usianya 11 tahun, keluarganya menetap di Brisbane, Australia. Namun, ia tidak merasakan benar-benar punya rumah. Kini, di usia 31 tahun, pandangannya berubah. Pengalaman pribadinya dalam berpindah tempat membuatnya lebih memahami pilihan orang tuanya.
Antara Keluarga dan Perjuangan Identitas
Baginya, menjadi orang Australia adalah cara yang mudah diterima orang di Amerika. “Kadang aku nggak mau bilang kalau aku keturunan Irak-Suriah, karena itu sensitif dan kita nggak pernah tahu bagaimana orang lain merespons hal itu," ujarnya. Pernyataan ini sekaligus menjadi pukulan telak bagi kita yang seringkali judgemental pada orang lain.
Ikatan keluarga juga menjadi tema sentral dalam album ini, termasuk sisipan spoken-word dalam bahasa Arab. Hubungannya dengan sang ayah, misalnya, sangat menarik. Dulu, ayahnya adalah pendukung utama mimpinya bermusik. Namun, mereka kini renggang. Lagu "House Down" menceritakan perasaan campur aduk tentang hal itu: ”You have so much anger and my heart hurts when I try to understand you," begitu penggalan liriknya.
Di sisi lain, kepindahannya ternyata mempererat hubungannya dengan sang ibu. Baginya, sang ibu adalah sosok yang selama ini kurang ia pahami. Baru saat ia mulai hidup sendiri, ia akhirnya mengerti pengorbanan ibunya. “Dulu aku nggak pernah lihat buah di rumah jadi berjamur kalau nggak diurus ibu… Itu cara dia nunjukin cinta setiap hari," jelasnya.
Musik yang Melampaui Batas
Musik Wafia memang seringkali punya pesan politis. Salah satunya adalah lagu "Bodies" (2017) tentang krisis pengungsi Suriah. Walaupun, di “Promised Land” ini, ia lebih fokus pada hubungan personal, tetap saja ada benang merah yang menghubungkannya. Lagu-lagunya tak cuma tentang cinta, tapi juga tentang perjalanan migrasi dan identitas.
“Being queer, growing up Muslim, all those things inherently make me political – so even when I am writing a love song, it is also inherently political,” kata Wafia. Baginya, bermusik itu seperti melukis di kanvas. Ia punya kebebasan untuk memilih warna apa saja, tanpa ada paksaan dari siapa pun.
Maka, kalau kamu lagi nyari musik yang relatable, jujur, dan berani, coba deh dengerin Wafia. Siapa tahu, kamu malah nemuin soundtrack buat hidupmu sendiri.