Dark Mode Light Mode

Ulasan People Watching: Rock Politik Sam Fender Menggema di Indonesia

Sebuah Refleksi tentang "People Watching" dan Fenomena Sam Fender

Ketika kamu bertanya apa yang salah dengan dunia, seringkali jawabannya ada di sekeliling kita. Dan Sam Fender, dengan album terbarunya People Watching, seolah menawarkan cermin yang dipoles untuk kita semua. Bukan cermin yang memanjakan, tapi cermin yang jujur, bahkan terkadang menyakitkan.

Generasi Z dan Nostalgia Digital

Album ini membangkitkan nostalgia, tapi bukan nostalgia yang membosankan. Ia seperti flashback ke masa lalu yang absurdnya masih relevan, tentang masa indah di mana kita bisa stalking gebetan tanpa rasa bersalah, atau ketika filter Instagram masih menjadi teman terbaik kita. Tapi, ya, itu dulu. Sekarang, dunia sudah berubah, dan Fender sepertinya memahami itu. Ia menangkap fenomena ini, mengemasnya dalam melodi yang familiar, namun tetap memberikan sensasi segar.

Siapa yang Memerintah?

Sam Fender adalah anomali. Seorang seniman yang tumbuh dari akar rumput, yang berhasil menembus industri musik yang terkadang elitis ini. Ia menyuarakan hati nurani kelas pekerja, sesuatu yang jarang kita temukan. Ia adalah Springsteen dari era digital, dengan sentuhan humor dan sarkasme yang pas. Namun, Fender bukan hanya tentang musik.

Politik dan Ketidakyakinan

Ada hal menarik tentang Fender. Ia sempat menyukai Corbyn, namun kemudian ia berubah pikiran. Sebuah ironi? Mungkin. Tapi, justru di situlah letak daya tariknya. Ia tidak takut untuk berubah pikiran, mengakui bahwa dunia ini abu-abu, bukan hitam atau putih. Jujur, itu menyegarkan. Ia mencoba untuk tidak terjebak dalam satu kubu politik, tetapi tetap membela suara rakyat kecil..

Ia seperti orang yang selalu ada di tengah keramaian, mengamati, menghayati, dan kemudian menuangkannya dalam musik. Ia menggabungkan elemen-elemen yang tampaknya bertentangan – kelas pekerja, politik, dan kesakitan hati – dan menyajikannya dalam satu paket yang menarik.

Namun, yang membuat Fender begitu istimewa adalah ia menulis lagu tentang ketidaksempurnaan. Ia berbicara tentang ketidakpercayaan diri, tentang bagaimana tekanan sosial dapat merusak mental. Lagu-lagunya bukan sekadar hiburan, tetapi juga sarana refleksi.

Antara Lokalitas dan Universalitas

Fender seolah mencoba untuk menjembatani kesenjangan antara akar rumput dan dunia yang lebih luas. Ia mengangkat isu-isu lokal, seperti industrialisasi dan perubahan sosial di Inggris, namun ia juga membahas masalah-masalah universal yang dialami oleh generasi Z. Ia melakukan ini dengan cara yang cerdas dan relatable.

Meskipun begitu, kita tak bisa menampik, bahwa ada elemen dari People Watching yang terasa familier. Harmoni, lirik, dan bahkan struktur lagunya bisa mengingatkan kita pada karya-karya klasik. Tapi, itu justru yang membuatnya menarik. Ia mengambil yang terbaik dari masa lalu, menambahkan sentuhan modern, dan menyajikannya dalam bentuk yang baru.

Musik Fender bukan cuma tentang suara, tapi juga tentang pengalaman. Kita merasa seperti sedang diajak berjalan-jalan di kota asalnya, melihat kehidupan dari sudut pandang yang berbeda.

Apa yang Kita Pelajari?

Kita mungkin belajar untuk tidak terlalu serius menghadapi hidup. Kita mungkin juga belajar bahwa perubahan adalah hal yang tak terhindarkan. Tapi, yang terpenting, kita belajar untuk tetap percaya pada suara hati kita sendiri.

Kita mungkin tidak selalu setuju dengan pandangan Fender. Kita mungkin punya pendapat yang berbeda tentang politik, atau tentang apa yang terjadi di dunia. Tetapi, yang terpenting, kita terus berpikir, terus merenung, dan terus mencari jalan terbaik bagi diri kita.

Dan People Watching adalah pengingat yang baik bahwa kita tidak sendirian. Kita semua, pada dasarnya, sedang mengamati. Mencari makna. Mencari tempat di dunia ini. Menarik, bukan?

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Mengapa Xbox Game Pass Belum Jadi Netflix-nya Gaming: Implikasi untuk Pemain

Next Post

Korban Perdagangan Manusia dari Myanmar Tiba di Kepulauan Indonesia: Isu Mendesak