Dark Mode Light Mode

Sonus Mortis – Ulasan Synapse Sang Sarang Pikiran

Mungkin ada beberapa hal di dunia ini yang lebih menantang daripada mencoba mencerna album "death/doom" sambil tetap waras, apalagi dari artis one-man band yang punya rekam jejak panjang, seperti 8 album dalam 12 tahun. Apakah ini sebuah pencapaian, atau malah tanda-tanda kelelahan artistik? Mari kita bedah bersama.

Sonus Mortis: Mengapa? Apa?

Sonus Mortis, proyek solo Kevin Byrne, mantan basis Valediction, datang dengan album terbarunya, Synapse the Hivemind. Album ini mengangkat isu privasi pribadi di era ketika AI dan kamera pengawas ada di mana-mana. Bagi kita yang hidup di dunia digital, tema ini sangat relevan, kan? Bayangkan, musiknya gabungan antara death/doom dengan sentuhan symphonic black metal. Kedengarannya menarik, tapi apakah eksekusinya sesuai ekspektasi?

Synapse the Hivemind menggali tema tentang ancaman teknologi, surveilans, dan hilangnya otonomi pribadi. Ini jelas relevan dengan era modern. Karya Sonus Mortis ini mencoba menawarkan kritik terhadap kontrol sistemik. Apakah ini berhasil menyampaikan pesan dengan baik? Mari kita lihat lebih lanjut. Pertanyaan yang muncul adalah apakah konsepnya disajikan dengan baik.

Perpaduan death/doom dan black metal terdengar menjanjikan. Kombinasi ini seharusnya menghasilkan sesuatu yang kelam, atmosferik, dan mungkin sedikit… epik. Bagaimana Byrne meracik elemen-elemen ini menjadi sebuah kesatuan? Apakah berhasil menciptakan suasana yang pas? Perpaduan ini menarik, namun apakah berhasil mencapai target yang diinginkan?

Melodeath, Tapi…

Musik Sonus Mortis memang lebih condong ke gaya melodeath. Ingat, ini bukan celaan. Ada banyak band melodeath bagus di luar sana. Beberapa bagian dari album ini mengingatkan kita pada Mors Principium Est di era Andy Gillion, terutama dalam hal sound gitar dan keyboard yang mumpuni. Vokal scream-nya juga mengingatkan pada Matt Moss dari Slugdge, yang menyampaikan kritik pedas tentang drone dan upah kerja modern.

Byrne, yang punya skill mumpuni, berani melawan mesin dan mencoba membangkitkan kembali semangat untuk merebut kembali kemanusiaan kita. Kualitas musikalitasnya tak perlu diragukan. Dia punya kemampuan untuk mewujudkannya. Namun, apakah semua ini cukup untuk membuat album ini istimewa?

Sayangnya, beberapa lagu terasa mirip. Jika pernah dengar satu lagu melodeath, kemungkinan besar kamu sudah mendengar semuanya. Motif, tempo, dan pola yang hampir identik membuat sulit membedakan satu lagu dengan yang lain. Rasanya seperti sebuah blur yang terampil, namun kurang meninggalkan kesan mendalam. Keterulangan ini menjadi masalah utama.

Vokal, Sebuah Dilema

Bagian vokal Byrne… bisa dibilang seleranya memang sedikit acquired taste. Scream dan growl-nya pas banget, memicu adrenalin. Tapi, clean vocal-nya? Hmm… sepertinya tidak sepenuhnya selaras dengan musiknya. Usaha kerasnya untuk meniru drama ala James Hetfield, lengkap dengan "YEEEEEEAAAAAAAAH!!!" yang ikonik, malah membuat pengalaman mendengarkan jadi kurang maksimal.

Alternatifnya, dia mencoba untuk menyaingi Mikael Stanne dalam menyanyikan lagu-lagunya yang menghantui. Tapi, hasilnya belum memuaskan. Mengingat hal ini, mungkin lebih baik untuk meminta bantuan vokal lain. Jangan ragu untuk mencari bantuan jika memang diperlukan. Tidak ada yang salah dengan itu.

Ini menjadi poin yang krusial dalam sebuah album. Bagaimana vokal dan melodi disajikan untuk memberikan pengalaman yang lebih baik bagi para pendengar. Jika vokal tidak selaras, itu bisa memengaruhi keseluruhan mood dari album. Jadi, harusnya ada adjustment.

Mengakhiri Ritme

Delapan album dalam dua belas tahun memang mengesankan, tapi jangan sampai membuat karya jadi terasa seperti produk pabrikan. Penting untuk meluangkan waktu sejenak, menjauh dari proyek yang sedang dikerjakan. Biarkan musik bernapas. Evaluasi apa yang bisa ditambahkan, dikurangi, atau ditingkatkan. Semua ini akan memberikan dampak positif.

Sebenarnya, Synapse the Hivemind punya ide-ide menarik dan musikalitas yang mengagumkan, tapi tertutupi oleh songwriting yang kurang optimal. Sonus Mortis dan Byrne punya potensi yang jauh lebih besar. Dengan sedikit penyesuaian, mereka bisa menghasilkan karya yang lebih memukau.

Album ini mungkin menjadi pembelajaran. Menemukan ritme yang tepat antara produktivitas dan kualitas adalah kunci. Semoga ini bisa menjadi pelajaran bagi Sonus Mortis dan musisi lainnya. Produktivitas memang bagus, tetapi kualitas juga penting. Keduanya harus berjalan beriringan untuk hasil terbaik.

Semoga Byrne, jika membaca ini, bisa lebih bijak dalam berkarya.

Akhir kata, tetap semangat menjalani hidup, guys!

Kesimpulan Akhir

Secara keseluruhan, Synapse the Hivemind adalah album yang memiliki potensi, tetapi belum sepenuhnya terealisasi. Perpaduan musik yang menarik, ide konsep yang relevan, dan musikalitas yang mumpuni terhalang oleh songwriting yang kurang inovatif dan elemen vokal yang kurang menjiwai. Album ini mengingatkan kita bahwa dalam dunia seni, konsistensi dan kualitas tetap menjadi kunci. Meskipun begitu, kita tetap menantikan karya Sonus Mortis selanjutnya dengan harapan yang lebih tinggi.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Saat ‘GTA 6’ Mendekat, Penerbit Berlari Menghindari Dampaknya

Next Post

Tiga Mobil Baru dan GT Sophy “2.1”: Apa Artinya Bagi GTPlanet?