Pertamina, si Raksasa Energi yang Sedang "Berantakan"
Kabar tak sedap menerpa PT Pertamina (Persero), perusahaan minyak milik negara yang sangat kita kenal. Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang mengusut dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah petinggi perusahaan. Kasusnya cukup kompleks, mulai dari salah urus impor dan ekspor minyak mentah, hingga dugaan penipuan bahan bakar. Waduh, masalahnya kok bisa sampai serumit ini, ya?
Awal mula kasus ini terungkap dari keluhan masyarakat tentang kualitas bahan bakar Pertamina yang menurun, khususnya RON 92 alias Pertamax. Keluhan pertama datang dari Papua dan Palembang. Konsumen merasa performa kendaraan mereka sedikit "bermasalah". Hal ini lantas memicu penyelidikan oleh Kejagung yang kemudian menemukan praktik penipuan skala besar dalam pengolahan bahan bakar, termasuk dugaan korupsi di lingkungan Pertamina Patra Niaga dan anak perusahaannya.
Mungkin kamu penasaran, apa sih yang menyebabkan masalah ini? Mari kita bedah satu per satu, biar makin paham. Singkatnya, ada dugaan permainan kotor dalam proses pengadaan minyak, akibat melanggar regulasi yang ada. Pelanggarannya mulai dari kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 18/2021 yang mewajibkan Pertamina menyerap minyak mentah dalam negeri sebelum mengimpor. Kok bisa ya malah diabaikan?
Korupsi Pengadaan Minyak: Ada Apa dengan "Minyak Kita"?
Jadi, bagaimana skema "nakal" ini terjadi? Rupanya beberapa petinggi Pertamina disebut-sebut memanipulasi proses tersebut. Mereka menolak minyak mentah dari kontraktor lokal dengan alasan kualitasnya kurang bagus dan harganya terlalu mahal. Padahal, aturan jelas memprioritaskan penyerapan minyak dalam negeri terlebih dahulu, supaya tidak membebani keuangan negara kalau nantinya harus membeli impor.
Akibatnya, para kontraktor lokal terpaksa mengekspor minyak mereka ke luar negeri dengan harga yang lebih menggiurkan. Sementara itu, Pertamina dipaksa mengimpor minyak mentah dengan harga yang jauh lebih tinggi. Akibatnya? Harga minyak mentah global meroket, yang akhirnya berdampak pada harga bahan bakar di dalam negeri dan pembengkakan subsidi yang mesti ditanggung pemerintah. Duh, pusing gak sih mikirinnya?
Parahnya, para petinggi Pertamina ini diduga melakukan manipulasi lain dalam pengadaan bahan bakar. Misalnya, dengan membeli bahan bakar RON 90, tapi dijual sebagai RON 92 untuk meraup keuntungan ilegal. Kalau ini benar, berarti konsumen sudah ketipu mentah-mentah! Mungkin saking pusingnya, mereka sampai lupa kalau kita semua adalah "konsumen setia" mereka.
Kejagung memperkirakan kerugian negara akibat praktik ini mencapai Rp 193,7 triliun hanya pada tahun 2023! Kalau dihitung sejak 2018, angkanya bisa jauh lebih besar lagi. Bayangin, uang sebanyak itu bisa buat apa saja, sih? Misalnya, untuk membangun infrastruktur yang lebih baik, mengembangkan pendidikan, atau memberikan bantuan sosial kepada masyarakat miskin.
"Penjahat Minyak" dan Kerugian Negara yang Menggila
Berikut adalah daftar kerugian negara yang ditimbulkan akibat ulah para "konglomerat minyak" ini:
- Ekspor minyak mentah ilegal: Rp35 triliun.
- Impor minyak mentah digelembungkan: Rp2,7 triliun.
- Pembayaran kompensasi yang tidak wajar: Rp126 triliun.
- Penipuan subsidi: Rp21 triliun.
Dan siapa saja "aktor" di balik semua ini? Kejagung telah menetapkan sejumlah nama sebagai tersangka. Berikut adalah nama-nama petinggi Pertamina yang diduga terlibat dalam kasus ini, beserta peran mereka:
- Riva Siahaan (Direktur Utama Pertamina Patra Niaga): Disebut mengorkestrasi manipulasi pertemuan dan penipuan bahan bakar.
- Sani Dinar Saifuddin (Direktur Kilang Pertamina Internasional): Diduga memberikan kontrak secara ilegal kepada broker minyak.
- Agus Purwono (VP Feedstock Management, Kilang Pertamina Internasional): Mengoordinasi penetapan harga yang digelembungkan dengan kontraktor minyak.
- Yoki Firnandi (Direktur Pertamina International Shipping): Mengatur impor minyak dengan harga yang terlalu mahal.
- Maya Kusmaya (Direktur Pemasaran Pertamina Patra Niaga): Mengesahkan pencampuran bahan bakar berkualitas rendah untuk penjualan yang curang.
- Edward Corne (VP Trading Operations, Pertamina Patra Niaga): Terlibat langsung dalam penipuan bahan bakar.
Selain petinggi Pertamina, beberapa eksekutif swasta juga diduga terlibat dalam praktik korupsi ini:
- Muhammad Kerry Adrianto Riza (PT Navigator Khatulistiwa): Mendapat keuntungan dari harga kontrak pengiriman yang terlalu mahal.
- Dimas Werhaspati (PT Navigator Khatulistiwa, PT Jenggala Maritim): Membantu mengoordinasikan manipulasi harga impor.
- Gading Ramadan Joede (PT Jenggala Maritim, PT Orbit Terminal Merak): Memfasilitasi impor minyak dengan harga tinggi melalui koneksi di Pertamina.
Kasus yang Terus Bergulir: Apa Saja yang akan Terjadi Selanjutnya?
Penyelidikan kasus ini masih terus berlangsung. Pihak berwenang telah melakukan penggeledahan di Terminal Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamina di Cilegon, Banten. Selain itu, sejumlah penangkapan dan penyitaan aset juga kemungkinan akan dilakukan seiring dengan terungkapnya bukti-bukti baru. Ini sih sudah kayak sinetron aja, ya!
Pemeriksaan terhadap saksi-saksi terus dilakukan. Pihak berwenang juga terus menyita dokumen, perangkat elektronik, dan melakukan penggeledahan di lokasi-lokasi penting. Bahkan sampai saat ini, Kejagung juga akan memproses hukum para tersangka. Penyelidik juga terus melacak aliran dana dan pihak-pihak lain yang mungkin ikut menikmati keuntungan dari skema korupsi ini.
Ada juga nama Riza Chalid, sosok yang terkenal di industri perminyakan Indonesia. Riza Chalid adalah ayah dari Kerry Adrianto Riza. Kerry sendiri disebut-sebut sebagai pemilik PT Navigator Khatulistiwa dan PT Orbit Terminal Merak (OTM), dua perusahaan yang diduga terlibat dalam praktik curang perdagangan minyak mentah. Aih, kok bisa-bisanya bapak dan anak ikut "bermain" dalam kasus ini?
Pihak berwenang menduga bahwa dana yang terkait dengan perdagangan bahan bakar ilegal mungkin telah disalurkan kepada Riza Chalid. Kejagung lantas meminta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menganalisis transaksi keuangan dari kesembilan tersangka. Meskipun demikian, PPATK belum memberikan penjelasan detail apakah permintaan Kejagung secara eksplisit melibatkan pelacakan aliran uang ke Riza Chalid. Mari kita tunggu saja.
Drama Minyak yang Mungkin Belum Berakhir
Riza Chalid dikenal sebagai sosok yang punya pengaruh besar di industri perminyakan Indonesia. Dia punya koneksi yang luas, mulai dari sektor energi, politik, hingga penegak hukum. Karena itu, tidak heran kalau dia sampai disebut sebagai "Godfather Minyak" karena saking kuatnya koneksi yang dimiliki sampai tak tersentuh hukum.
Bahkan, Riza Chalid memang punya rekam jejak yang pernah terseret dalam kasus korupsi di masa lalu. Namanya mencuat dalam skandal "Papa Minta Saham". Duh, drama banget, kan? Namun, dia tidak pernah menjalani proses hukum formal, diduga karena kedekatannya dengan elite politik, intelijen, dan auditor negara. Ya ampun, kok bisa gitu, sih?
Kejaksaan Agung juga mengindikasikan bahwa hukuman berat, hingga hukuman mati, bisa saja dijatuhkan kepada para tersangka. Tentu saja ini menjadi perhatian serius karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Kita sebagai masyarakat tentu berharap kasus ini bisa ditangani secara serius dan transparan.
Analisis juga memperingatkan bahwa kasus ini bisa saja mencerminkan pergeseran kekuasaan yang lebih luas dalam industri minyak Indonesia. Pelaku lama bisa saja tersingkir demi membuka jalan bagi kelompok bisnis baru. Apakah kasus ini akan menghasilkan reformasi yang berarti atau hanya sekadar perombakan politik? Kita lihat saja nanti, deh.
Singkatnya, kasus korupsi ini menyoroti masalah sistemik dalam sektor energi Indonesia, di mana praktik korupsi telah menggembungkan biaya bagi pemerintah maupun konsumen. Pertanyaannya sekarang, siapakah yang akan bertanggung jawab dan ditindak tegas serta apakah akan ada reformasi yang akan mencegah praktik serupa di masa mendatang? Mari kita kawal bersama, ya.