Album “I Said I Love You First”: Antara Cinta, Drama, dan Persona Baru Selena Gomez
Bulan-bulan terakhir, dunia hiburan kembali diramaikan dengan rilisnya album kolaborasi antara Selena Gomez dan Benny Blanco. Sebuah proyek yang menarik perhatian, tak hanya karena nama besar di baliknya, tetapi juga karena janji akan eksplorasi sisi baru dari seorang Selena Gomez. Namun, apakah album ini benar-benar berhasil memenuhi ekspektasi? Penasaran? Mari kita bedah habis-habisan!
Selena Gomez, sejak didiagnosis lupus dan melewati masa sulit hingga transplantasi ginjal, telah menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Album ini datang lima tahun setelah Rare (2020), menandai perjalanan panjangnya dalam industri musik. Selain bermusik, Selena juga aktif di dunia akting, menunjukkan kemampuan akting yang berbeda dalam bermacam-macam genre, mulai dari drama serius hingga komedi ringan.
Album ini menjadi lebih menarik karena kembalinya Selena ke akar aktingnya. Namun, Love You First (judul alternatif album) seolah ingin menjauh dari trauma kesehatan dan percintaannya di masa lalu. Proyek ini jelas bukan sekadar comeback biasa, melainkan usaha untuk memperkuat karier dan memperluas jangkauan artistiknya.
Hubungan Selena dan Benny: Cinta di Balik Musik?
Pertemuan Selena Gomez dan Benny Blanco terjadi lebih dari satu dekade lalu. Benny, dengan aura yang unik, seolah adalah sosok yang tak terduga untuk seorang bintang pop. Namun, kenyataannya, hubungan mereka menjadi pusat perhatian dalam promosi album ini. Bahkan, chemistry antara keduanya juga sudah sangat terkenal.
Benny Blanco berkontribusi dalam kesuksesan Revival dengan lagu-lagu seperti “Kill Em With Kindness” dan “Same Old Love”. Tim produksi untuk Love You First sebagian besar terdiri dari kolaborator tetap Benny. Ada nama-nama besar seperti Justin Tranter, Blake Slatkin, Cashmere Cat, dan Finneas, membuat album ini dipenuhi oleh gaya musik yang beragam.
Mereka menciptakan sentuhan new wave yang tajam, disko yang melankolis, dan balada yang jujur, mirip dengan karya Billie Eilish, Gracie Abrams, atau bahkan Gwen Stefani. Tapi, jangan salah, jangan lupakan peran Benny sebagai produser, yang benar-benar dapat membentuk identitas musik yang berbeda dari seorang Selena.
Drama Percintaan dan Lirik yang ‘Menggoda'
Banyak lagu dalam album ini seolah mengisyaratkan drama percintaan yang tidak terlalu ingin mereka ungkapkan. Judul-judul seperti “Younger and Hotter Than Me” dan “Call Me When You Break Up” memberikan kesan tersebut. Tapi, Selena menegaskan bahwa lagu-lagu itu bukan tentang kisah cintanya terdahulu (Justin Bieber dan The Weeknd).
Lagu-lagu ini lebih menyoroti pergeseran hubungan dengan popularitas setelah usia 30 dan tentang curhat kepada teman tentang kesendirian. Album ini dibuat dengan konsep “Album Tentang Cinta Kita”, tetapi kadang terasa kurang fokus. Nuansa dingin yang disajikan Selena membuat pendengar bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan.
“You Said You Were Sorry” dan “How Does It Feel to Be Forgotten” adalah contoh lagu yang secara tersirat mengisyaratkan perasaan “aku bahagia sekarang.” Namun, kesan “berani” ini tidak sepenuhnya diakui Selena. Album ini lebih memilih untuk menghindari kontroversi dan fokus pada citra yang lebih terkendali.
“Pastiche” dan Citra yang Terus Berubah
Album ini menampilkan citra yang tampak terpecah, lebih peduli dengan bagaimana ia dipandang publik dan mengikuti tren mainstream. Album ini sering kali mencoba masuk ke dalam gaya musik yang sudah ada dan menampilkan kepribadian yang relatif mudah diatur. Selena seolah kurang memiliki identitas yang menonjol.
Salah satu contohnya, Selena menyanyikan lagu berbahasa Spanyol, “El Muchacho de los Ojos Tristes”, sebagai penghormatan. Di sisi lain, Selena juga mencoba gaya khas Kacey Musgraves melalui lagu “Don’t Wanna Cry”. Gaya musik yang terus berubah ini menunjukkan keserbagunaan Selena, tetapi juga bisa membuat pendengar kesulitan untuk memahami arah musik yang sebenarnya.
Setelah “Bluest Flame”, Selena lalu bergeser menjadi Ultraviolence-core. Beberapa lagu terasa meniru gaya Lana Del Rey, seolah ingin membuat album seperti yang diinginkan oleh para penggemar berat penyanyi “Brooklyn Baby” ini. Misalnya, “How Does It Feel to Be Forgotten”, “You Said You Were Sorry”, dan “Cowboy” yang terkesan mirip.
Potensi yang Terbuang: Produser dan Kolaborator Hebat
Jangan salahkan para musisi karena album ini kurang menggigit. Benny Blanco adalah produser yang sangat fleksibel, mampu menghasilkan musik sesuai keinginan. Ia telah mencetak hits selama tiga dekade. Ia mampu membuat lagu-lagu yang konyol seperti “My D!ck Sucks” milik Lil Dicky dan lagu-lagu romantis Maroon 5.
Album ini juga mengumpulkan orang-orang yang pernah terlibat dalam lagu-lagu populer seperti “Good Luck, Babe!” dari Chappell Roan, “Be My Baby” dari Ariana Grande, “Thru Your Phone” dari Cardi B, “Sad Day” dari FKA Twigs, “What Do I Do” dari SZA, dan “Unholy” dari Sam Smith dan Kim Petras. Sepertinya Selena “menjinakkan” intensitas yang ada.
Beatmaker seperti Dylan Brady dan Cashmere Cat hampir tidak terlihat dalam album ini. Sangat disayangkan, Love You First, dengan begitu banyak ide yang tersedia, malah menyeret semua orang ke dalam gaya yang terlalu aman seperti bintang pop pada umumnya yang mulai menapaki usia 30-an.
Vokal yang Terlalu Sederhana dan Kurangnya Penekanan
Gaya vokal yang terlalu lugas menjadi kelemahan album ini. Bagian belakang album ini didominasi oleh cara bernyanyi yang cenderung murung, memberikan kesan seperti karya dari seorang aktris. Selena lebih memilih bermain melawan potensi yang ada dalam dirinya.
Namun, bukan berarti semua buruk. Lagu kolaborasi bersama J Balvin dan Tainy, “I Can’t Get Enough” memiliki snare yang sangat kuat. Gracie Abrams tampak lebih menawan ketika menyanyikan lagu “Break-Up”. Satu hal yang dipahami oleh Emilia Pérez adalah bagaimana Selena menarik ketika didorong keluar dari gaya nyanyian hushed repeated notes yang terlalu banyak menghiasi album ini.
Love You First seolah ingin menjadi album tentang pernikahan yang intim dan menonjolkan terobosan dari album sebelumnya. Album ini ingin membuat orang menyukai Selena, baik dari lagu-lagu pop yang enerjik atau dari momen-momennya yang reflektif. Namun, lagu penutup “Do You Want to Be Perfect” menampilkan begitu banyak gaya yang berbeda, tetapi tidak jelas seperti apa sebenarnya image seorang Selena.
Album ini memiliki potensi besar, tetapi sepertinya Selena dan Benny lebih memilih untuk tetap berada di zona aman. Mereka tampak enggan untuk benar-benar membuka diri dan menampilkan sisi yang lebih otentik. Album ini seperti undangan ke dunia mereka, namun mereka tampak tegang, sadar bahwa kita terus memperhatikan. Pada akhirnya, Love You First adalah album yang menawarkan pandangan sekilas tentang kehidupan Selena, tetapi tidak sepenuhnya mengungkapnya.