RUU TNI: Antara Reformasi dan Kekhawatiran Akan "Dwi Fungsi"
Undang-Undang (UU) TNI yang baru saja diamandemen menjadi perbincangan hangat, khususnya di kalangan anak muda dan generasi milenial. Bukan hanya karena perubahan signifikan yang dibawa, tapi juga karena proses pengesahannya yang dinilai tergesa-gesa dan menimbulkan pro-kontra di berbagai lapisan masyarakat. Kita bahas tuntas, deh!
Rencana perubahan UU TNI ini sebenarnya sudah berembus sejak periode parlemen 2019-2024. Beberapa poin krusial yang menjadi perhatian utama adalah kemungkinan perwira aktif TNI menjabat di instansi sipil, serta rencana penghapusan larangan anggota TNI berbisnis. Bayangin, ya, kalau hal ini benar-benar terjadi, apa jadinya, tuh?
Wacana ini sempat mandek karena kekhawatiran akan kembalinya "dwi fungsi" TNI, yang mengingatkan kita pada masa Orde Baru. Istilah "dwi fungsi" ini sendiri punya konotasi yang kurang baik, karena dianggap memberikan terlalu banyak peran pada militer dalam urusan sipil. Tentu saja, hal ini menjadi kekhawatiran utama bagi banyak pihak.
Usulan-usulan kontroversial tersebut, akhirnya harus tertunda karena periode DPR sebelumnya berakhir. Namun, benih permasalahan ini kembali muncul di periode 2024-2029, yang akhirnya disahkan pada Maret 2025 dengan segala kontroversinya.
Proses Cepat, Kritik Menggila
Awal tahun 2025, RUU TNI masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Keputusan ini diambil dalam sidang paripurna pada Februari 2025. Prosesnya yang terbilang cepat ini membuat banyak pihak terkejut, serta memicu kritik dari berbagai elemen masyarakat.
Pada Maret, Komisi I DPR mulai menggelar public hearing untuk menyerap aspirasi. Diskusi dilakukan dengan berbagai pihak, termasuk Persatuan Purnawirawan ABRI (PP ABRI). Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjafruddin, juga ikut hadir mendukung agar revisi rampung sebelum masa reses parlemen. Kira-kira semangatnya kayak ngejar deadline skripsi, nih?
Kemudian, Panglima TNI, Agus Subiyanto, bersama jajaran Kepala Staf Angkatan juga menyampaikan pandangannya. Agus menekankan prinsip supremasi sipil tetap menjadi dasar dalam revisi ini. Tapi, benarkah demikian?
Proses pembahasan terus berlanjut, bahkan sampai digelar rapat tertutup di Hotel Fairmont Jakarta. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta agar pembahasan dihentikan, namun permintaan itu diabaikan. Kok, kayak ada sesuatu yang disembunyikan, ya?
DPR Ketuk Palu, Kontroversi Memuncak
Akhirnya, pada tanggal 17 Maret, Tim Perumus dan Sinkronisasi DPR merampungkan naskah final UU tersebut. Keesokan harinya, dilakukan rapat kerja untuk membahas hasil kerja panitia. Tampaknya semua pihak sudah ngebet untuk segera mengesahkan.
Dalam sidang paripurna, Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, mengumumkan semua langkah legislasi telah selesai. Semua fraksi menyetujui untuk melanjutkan pembahasan ke tahap akhir. Akhirnya, anggota dewan dengan suara bulat menyetujui pengesahan RUU ini.
Isi Amandemen: Apa Saja yang Berubah?
-
Rentang Usia Pensiun Diperpanjang: Ini salah satu poin utama dalam revisi. Kalau sebelumnya para prajurit TNI harus pensiun lebih cepat, sekarang ada penyesuaian.
- Prajurit Bintara dan Tamtama pensiun di usia 55 tahun.
- Perwira berpangkat Kolonel pensiun di usia 58 tahun.
- Jenderal bintang satu pensiun di usia 60 tahun, bintang dua 61 tahun, dan bintang tiga 62 tahun.
- Jenderal bintang empat pensiun di usia 63 tahun, dengan kemungkinan perpanjangan dua kali oleh presiden. Wah, para jenderal jadi punya waktu lebih lama untuk mengabdi.
-
Peluang Jabatan Sipil untuk Perwira Aktif: Jumlah kementerian dan lembaga yang bisa diisi perwira TNI aktif bertambah dari 10 menjadi 15. Ini yang paling bikin heboh, karena membuka peluang lebih besar bagi militer untuk terlibat dalam urusan sipil. Beberapa lembaga yang masuk daftar adalah Badan Pengelola Perbatasan, Badan Keamanan Laut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Kejaksaan Agung.
- Perluasan Tugas Operasi Militer Selain Perang: TNI kini juga bertanggung jawab dalam menghadapi ancaman siber dan melakukan operasi penyelamatan warga negara Indonesia serta kepentingan nasional di luar negeri. Tugasnya semakin banyak dan kompleks, nih!
Demo dan Penolakan: Suara Rakyat yang Tertunda
Pengesahan UU TNI ini memicu gelombang protes dari berbagai kalangan. Para aktivis dan mahasiswa turun ke jalan, menyuarakan penolakan terhadap revisi UU tersebut. Aksi demonstrasi dilakukan di berbagai kota besar di Indonesia.
Di Jakarta, demonstrasi berlangsung hingga malam hari. Bahkan, ada yang mencoba menerobos pagar gedung DPR. Kondisi semakin memanas dengan adanya bentrokan antara demonstran dan aparat kepolisian. Suasana makin tegang, deh!
Aksi protes juga terjadi di kota-kota lain, seperti Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, dan Makassar. Banyak pihak yang menyuarakan kekhawatiran akan dampak revisi UU ini terhadap demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.
Dampak dan Kesimpulan
Pengesahan UU TNI yang baru ini menimbulkan pertanyaan serius, terutama terkait implikasinya terhadap demokrasi dan kebebasan sipil. Sebagian masyarakat khawatir akan kembalinya pengaruh militer dalam ranah politik dan pemerintahan.
Revisi ini juga mengingatkan kita pada masa lalu, ketika militer memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah kita akan kembali ke masa itu? Tentu saja, harapan kita adalah agar TNI tetap profesional dan fokus pada tugas utamanya, yaitu menjaga kedaulatan negara.
Pada akhirnya, keputusan ada di tangan kita sebagai warga negara. Jangan sampai kita kehilangan kepekaan terhadap isu-isu penting seperti ini, ya! Mari kita awasi bersama, agar Indonesia tetap menjadi negara yang demokratis, berkeadilan, dan berdaulat.