Dark Mode Light Mode

Ratusan Dievakuasi Akibat Banjir Bandang Akibat Hujan Deras di Ibu Kota Indonesia

Jakarta Tenggelam Lagi: Apakah Kita Belajar dari Banjir?

Jakarta kembali basah kuyup. Ratusan warga dievakuasi, rumah-rumah terendam, dan kota berhenti sejenak. Sepertinya, siklus ini sudah seperti rutinitas tahunan. Tapi, apakah kita benar-benar belajar dari pengalaman banjir yang terjadi berulang kali? Atau, cuma sibuk mengunggah foto-foto banjir di media sosial?

"Hujan Itu Anugerah" dan Realita Banjir

Hujan, seringkali disebut anugerah, kini datang membawa petaka. Curah hujan ekstrem mengguyur Jakarta dan sekitarnya, membuat sungai-sungai meluap, dan air masuk ke dalam rumah. Pemerintah dan badan terkait sigap melakukan evakuasi, menyalurkan bantuan, dan mendirikan posko-posko darurat. Tapi, apakah ini cukup?

Banjir kali ini, mengingatkan kita pada tragedi serupa di masa lalu. Tahun 2020, banjir dan tanah longsor menewaskan puluhan jiwa, memaksa ribuan orang mengungsi. Kita berduka, berjanji akan berbenah, lalu… lupa begitu musim hujan berikutnya datang.

Manusia, Lingkungan, dan Politik Air

Masalah banjir Jakarta bukan hanya soal intensitas hujan yang tinggi. Ada banyak faktor yang berkontribusi, mulai dari tata ruang yang buruk, minimnya ruang terbuka hijau, hingga pengelolaan sampah yang jauh dari kata ideal. Jangan lupakan juga, "permainan" politik anggaran yang kadang lebih fokus pada proyek jangka pendek daripada solusi berkelanjutan.

Di beberapa tempat, terlihat jelas bagaimana rumah tangga mulai naik ke atap rumah, meminta bantuan. Sementara itu, ada juga beberapa orang yang melihat kesempatan untuk meraih keuntungan dari situasi darurat. Seolah, kemanusiaan hanyalah komoditas yang bisa diperjualbelikan.

Namun, di tengah semua itu, ada juga sisi positif. Ada relawan yang tanpa pamrih membantu korban banjir, ada warga yang saling bahu-membahu, dan ada semangat gotong royong yang masih membara. Ini adalah secercah harapan di tengah kegelapan.

Banjir: Cermin Kegagalan Kita Bersama?

Banjir adalah cermin dari kegagalan kolektif. Kegagalan pemerintah dalam merencanakan dan mengelola kota, kegagalan masyarakat dalam menjaga lingkungan, dan kegagalan kita semua dalam belajar dari sejarah. Bukannya introspeksi, kita malah sibuk mencari kambing hitam.

Coba kita merenung sejenak. Berapa banyak dari kita yang peduli dengan isu lingkungan? Berapa banyak yang membuang sampah pada tempatnya? Berapa banyak yang ikut serta dalam kegiatan penghijauan? Mungkin, jawabannya akan membuat kita tersadar.

Solusi banjir bukan cuma membangun waduk atau normalisasi sungai. Solusi yang paling mendasar adalah perubahan pola pikir dan perilaku. Kita harus lebih peduli terhadap lingkungan, lebih bertanggung jawab terhadap sampah yang kita hasilkan, dan lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah.

Selain gotong royong, pemerintah juga berupaya memberikan pertolongan. Berbagai bantuan mulai dari makanan siap saji, selimut, dan terpal disalurkan kepada korban banjir. Perahu karet juga sudah dikerahkan untuk mengevakuasi warga yang terjebak. "Jika ada kekurangan, masyarakat bisa meminta lebih banyak. Kami siap membantu," kata pejabat terkait.

Investasi Masa Depan, Bukan Cuma Proyek Mangkrak

Membangun infrastruktur yang tahan banjir memang penting, tapi lebih penting lagi adalah investasi pada sumber daya manusia. Pendidikan tentang lingkungan, kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan, dan partisipasi aktif dalam kegiatan sosial adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik. Bukan proyek mercusuar yang akhirnya mangkrak di tengah jalan.

Kita perlu mulai berpikir jangka panjang. Jangan hanya fokus pada solusi instan yang hanya menyelesaikan masalah sesaat. Kita harus berani mengambil langkah-langkah berani, bahkan jika itu berarti mengubah tatanan yang sudah ada.

Perubahan memang tidak mudah. Tapi, jika kita tidak mulai sekarang, kapan lagi?

Saatnya Berubah Sebelum Terlambat!

Bencana banjir adalah pengingat bahwa kita hidup di dunia yang rapuh. Perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam, dan gaya hidup yang tidak berkelanjutan telah membuat bumi semakin rentan. Apakah kita akan terus membiarkan hal ini terjadi, ataukah kita akan bangkit dan melakukan perubahan? Keputusan ada di tangan kita.

Jakarta, kota yang kita cintai, butuh tindakan nyata. Bukan hanya kata-kata manis, janji-janji kosong, atau debat kusir di media sosial. Ini adalah panggilan untuk bertindak, untuk berubah, dan untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Mari kita mulai dari diri sendiri, dari hal-hal kecil, tapi berdampak besar. Kalo bukan kita yang mulai, siapa lagi?

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Rapt Merenungkan Berbagai Akhir dalam Hidup Lewat ‘Until the Light Takes Us’

Next Post

Kesalahan Awam di Jam-Jam Awal Two Point Museum yang Menghambat Kemajuan