Rapper yang Dipenjara: Kisah Pablo Hasél dan Perjuangan Kebebasan Berpendapat di Spanyol
Semua orang punya hak buat ngomong, kan? Tapi gimana kalau omonganmu bikin kerajaan Spanyol kebakaran jenggot? Nah, itulah yang dialami Pablo Hasél, seorang rapper asal Spanyol yang punya mulut pedas dan lagu-lagu yang menyentil. Jangan kaget kalau dia sekarang meringkuk di balik jeruji besi gara-gara musiknya.
Ceritanya bermula di tahun 2018. Hasél, si rapper Catalan ini, dengan berani membongkar borok monarki Spanyol lewat lirik-liriknya yang jujur dan lagu yang memberontak. Saking beraninya, dia dijatuhi hukuman penjara dua tahun oleh pengadilan Spanyol. Gak terima, Hasél mengajukan banding, tapi hukumannya malah dipangkas jadi sembilan bulan. Tapi, tetap aja dia ngerasa itu gak adil. Dan banyak juga orang Spanyol yang sepakat.
Lirik Menyentil, Nasib Menyedihkan
Hukuman yang diterima Hasél itu bukan cuma gara-gara satu lagu aja, tapi juga video musik dan 64 cuitan di media sosial. Salah satu dakwaannya adalah "injurias a la Corona", alias menghina dan mencemarkan nama baik kerajaan. Lagu yang bikin dia dipenjara berjudul "Juan Carlos el Bobón" ("Juan Carlos Si Idiot"), sebuah plesetan dari nama mantan raja Spanyol, Juan Carlos de Borbón. "Juan Carlos si idiot, bos mafia yang menjarah kerajaan Spanyol," begitu bunyi penggalan liriknya yang bikin panas kuping istana.
Lagu itu sebenarnya menyinggung insiden di tahun 2012, ketika Juan Carlos, yang waktu itu masih jadi raja, pergi berburu gajah mewah di Botswana saat negaranya lagi krisis ekonomi parah. Gak cuma itu, dia juga kedapatan ngirim uang 65 juta Euro ke rekening pribadi selingkuhannya. Wih, sultan bener! Sementara itu, keluarga kerajaan Spanyol tahun ini dapat jatah anggaran lebih dari 8 juta Euro dari negara.
Hukuman Hasél juga termasuk menghina lembaga negara, seperti polisi, dan "memuliakan terorisme" dalam lirik dan cuitannya. Awalnya, hukuman itu ditangguhkan, asalkan Hasél gak bikin ulah lagi. Tapi, namanya juga seorang rapper, Hasél tetap nge-rap, tetap nyinyir. Akhirnya, pada 28 Januari 2021, dia dikasih waktu 10 hari buat menyerahkan diri. Dia nolak, dan akhirnya… bye-bye, dunia luar.
Gelombang Protes dan Perjuangan Tanpa Henti
Pada 6 Februari 2021, ratusan orang turun ke jalan di Madrid buat menolak hukuman terhadap Hasél. Mereka menyebutnya sebagai bentuk sensor. Enam hari kemudian, Hasél merilis lagu protes berjudul "Ni Felipe VI", yang dibuka dengan cuplikan Raja Felipe VI yang bilang kalau kebebasan berpendapat itu penting banget buat demokrasi.
Empat hari kemudian, demi menghindari penangkapan, Hasél dan sekitar 20 pendukungnya nge-barikade diri di dalam universitas. Mereka nyemprotin alat pemadam kebakaran, bikin suasana jadi kayak di film laga. Akhirnya, pada 16 Februari 2021, polisi yang bersenjata lengkap nangkep Hasél. "Pemerintah fasis ini gak bakal bisa hentikan kami," teriak Hasél ke kamera saat digiring polisi. "Kalian gak bakal bisa menang lawan kami!" timpal para pendukungnya. Selama seminggu penuh, ribuan demonstran turun ke jalan di berbagai kota di Spanyol, menentang penangkapan Hasél dan hukum-hukum yang mengancam kebebasan berpendapat.
Hasél, yang punya nama asli Pablo Rivadulla Duró, lahir di Lleida, wilayah yang terkenal dengan gerakan kemerdekaannya. Fyi, Lleida itu sarangnya ideologi kiri: Marxist, anti-kapitalis, komunis, sampai anarkis. Ketertarikannya pada rap dimulai saat dia nonton film TV umur 10 tahun, beli kaset N.W.A., dan langsung jatuh cinta.
Di usia 16 tahun, dia udah bikin lagu sendiri dan mulai nge-upload di internet. Musiknya pedas, mengkritik korupsi di kerajaan Spanyol, dan menuduh polisi menyiksa dan membunuh demonstran serta migran. Awalnya, gak banyak yang dengerin lagunya, tapi musiknya radikal, dan negara mulai melek.
Saat Hasél ditangkap, terjadi kerusuhan, pembakaran, bahkan pelemparan bom molotov. Sekarang, setelah empat tahun menjalani hukuman enam tahun dua bulan di penjara, hiruk pikuk berita udah mulai mereda. Tapi, para pendukungnya tetap gak berhenti berjuang. Mereka berencana ngadain acara "Song for Freedom" di luar penjara buat memperingati empat tahun penahanan Hasél.
Beberapa orang mungkin mikir, Hasél itu cuma sekadar rapper, tapi sebenarnya dia lebih dari itu. Dia juga seorang aktivis. Banyak yang mendukung kebebasan berpendapatnya, meskipun mungkin gak selalu sependapat dengan pandangan politiknya. Kata Francisco García Tapia, seorang relawan di organisasi yang memperjuangkan kebebasan berpendapat, "Gak peduli kamu suka musiknya atau enggak, kalau kamu percaya pada hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat, kamu harus membela dia."
Suara yang Tak Pernah Padam
Hasél telah menjadi simbol perlawanan bagi banyak orang di Spanyol. Sebelum penangkapannya, lebih dari 200 tokoh seni dan budaya, termasuk aktor Javier Bardem dan sutradara Pedro Almodóvar, menandatangani petisi untuk mendukung Hasél dan mengutuk pembatasan kebebasan berekspresi.
Spanyol ternyata makin naik peringkat sebagai negara yang ‘menghukum' seniman gara-gara karya mereka. Pada tahun 2019, ada 71 seniman yang dipenjara di 16 negara, dan 14 di antaranya ada di Spanyol. Angka itu sih sekarang udah berkurang, karena kampanye untuk membebaskan seniman yang dipenjara ternyata cukup efektif.
Setelah penangkapannya, Hasél udah mengajukan banding sampai ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, tapi permohonannya dinyatakan gak bisa diterima. Amnesty International mengkritik keputusan itu, dan bilang hukum yang terlalu vague alias gak jelas seperti "memuliakan" atau "membenarkan" terorisme mestinya dihapus.
Sementara itu, Hasél tetap bersuara dari balik jeruji besi. Tahun lalu, Say It Loud Records dan Albert Marquès merilis "Open Letter to Pablo Hasél". Lagu dan video musik ini menggabungkan rekaman pernyataan Hasél selama persidangannya. Marquès juga sering nge-rekam panggilan telepon dengan orang-orang yang dipenjara untuk memasukkan suara mereka ke dalam musiknya.
Beberapa hari setelah dirilis, video musik "Open Letter to Pablo Hasél" diputar di festival hak asasi manusia dan budaya di Barcelona, IrídiaFest. Reaksinya campur aduk. Di Spanyol, serangan teroris masih terasa membekas, jadi hukum "memuliakan terorisme" yang menjerat Hasél jadi sensitif. Sementara di AS, di mana kebebasan berpendapat dijunjung tinggi, orang-orang malah suka lagu ini.
Dari penjara, Hasél menjawab pertanyaan yang dikirim Rolling Stone: "Perjuangan ini jauh lebih besar dari sekadar kebebasan saya; ini untuk kebebasan kolektif. Mereka memenjarakan saya untuk menakuti yang lain, sekaligus mencoba membungkam dan mengubah protes saya. Kebebasan berpendapat itu fundamental, dan terkait dengan hak dan kebebasan lainnya. Bahkan gak ada demokrasi minimal di sini jika mereka memenjarakan kita karena membongkar fakta yang terbukti. Apa yang saya jelaskan tentang monarki, penyalahgunaan polisi, tahanan politik, atau lembaga lain, telah terbukti bukan ‘penghinaan', seperti yang mereka katakan."
Jangan Sampai Lupa!
Kondisi yang membuat Spanyol jadi ‘gampang' menghukum orang karena berekspresi sebenarnya udah mulai terbentuk sejak tahun 2000-an. Krisis keuangan Spanyol tahun 2008-2014 ternyata juga memicu krisis politik. Gerakan anti-austeritas tahun 2011-2015 yang menentang pemotongan anggaran, tingginya angka pengangguran, hingga kapitalisme dan korupsi. Lalu, ada juga yang namanya "Ley Mordaza", atau hukum borgol, yang mulai berlaku tahun 2015.
Hukum ini, yang katanya buat ningkatin keamanan publik, ternyata malah bikin aksi unjuk rasa jadi lebih sulit, ngatur soal pengambilan video polisi, dan memberikan denda yang lumayan buat yang melanggar. Fernando Paniagua de Paz bilang, kasus Hasél ini adalah contoh dari "doktrin kejut", di mana negara mencoba menakuti orang lain dengan menghukum seseorang yang dianggap ‘berani'.
Video musik "Open Letter to Pablo Hasél" merujuk pada 14 rapper yang jadi target pengawasan hukum di Spanyol, termasuk Hasél dan Valtònyc yang sekarang ada di pengasingan. Albert Marquès, yang bekerja sama dengan Hasél, punya pandangan bahwa cara terbaik buat ngerasain kebebasan adalah dengan terus berkarya meskipun ada tekanan.
Tanggal 12 Februari nanti akan jadi satu tahun sejak "Open Letter to Pablo Hasél" dirilis, dan 16 Februari adalah empat tahun sejak penangkapan Hasél. Penjara memang jago bikin orang lupa. Tapi lagu ini ada buat mengingatkan kita semua bahwa Hasél masih di sana, berjuang buat kebebasan berpendapat, dan mengenalkan perjuangannya ke dunia internasional.
Hasél menulis, "Kita harus bersatu untuk membela hak dan kebebasan kita, untuk memperluasnya, dan untuk tidak membiarkan hak yang ada diambil."