Gelapnya Indonesia: Ketika Penghematan Jadi Ironi, Influencer Jadi Menteri
Gelap. Kata itu sepertinya sedang menjadi buzzword baru di kalangan anak muda Indonesia. Bukan karena mati lampu, tapi karena demonstrasi yang mengkritik kebijakan pemerintahan baru. Kalau kucing kesayangan Pak Prabowo bisa bicara, mungkin dia juga sudah ikut turun ke jalan, bawa spanduk bertuliskan "Kucing Juga Punya Hati!"
Bayangkan, di tengah hiruk pikuk rencana penghematan anggaran hingga triliunan rupiah, ratusan mahasiswa dan aktivis turun ke jalan. Mereka, yang katanya generasi penerus bangsa, menyuarakan aspirasi. Mereka, yang dituntut kreatif dan inovatif, kini justru merasa tergelapkan oleh kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil. Demonstrasi ini menjadi simbol kekecewaan atas kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat.
Potong Gaji Demi Nasi Gratis?
Kebijakan penghematan yang dimaksud terkesan begitu kontras, ya? Di satu sisi, pemerintah berencana memangkas anggaran hingga Rp 306,7 triliun. Alasannya? Untuk efisiensi dan, yang lebih penting, untuk mendanai program-program pro-rakyat seperti makan siang gratis dan dana abadi baru. Seolah-olah, kemiskinan bisa diatasi hanya dengan perut kenyang. Tapi bagaimana dengan generasi penerus yang kurang perhatian?
Di sisi lain, ada pengangkatan Deddy Corbuzier sebagai staf khusus Menteri Pertahanan. Sebuah langkah yang, bagi sebagian orang, cukup membingungkan. Bukankah ini seperti pepatah "hemat pangkal kaya"? Tapi kok, anggaran untuk fasilitas lain dipangkas, sementara influencer justru mendapatkan posisi strategis? Sebuah ironi yang menggelitik, bukan?
Kebijakan yang diambil terkesan angin lalu, tidak memprioritaskan kepentingan rakyat, dan terkesan seperti pencitraan belaka. Padahal, di tengah kegelapan ekonomi, pengeluaran seperti itu justru bisa membuat api semangat rakyat semakin padam.
Mahasiswa: Korban Kebijakan?
Yang paling merasakan dampak dari kebijakan ini adalah mahasiswa. Mereka adalah stakeholder utama yang akan merasakan langsung dampaknya. Anggaran untuk beasiswa dipangkas, biaya kuliah dikhawatirkan akan naik. Mimpi-mimpi menjadi sarjana berkualitas terancam pudar karena masalah finansial.
Mahasiswa bukan hanya sekadar calon intelektual. Mereka adalah agent of change, para penggerak perubahan. Ketika mereka merasa tidak didengar dan hak-haknya terampas, wajar jika mereka turun ke jalan. Siapa lagi yang akan menyuarakan suara rakyat kalau bukan mereka?
Mereka bersatu, menyuarakan aspirasi. Mereka melakukan aksi damai, sebagai bentuk protes atas kebijakan pemerintah yang terasa begitu berat sebelah.
Ketika Demonstrasi Jadi Unjuk Rasa
Protes ini bukan hanya terjadi di Jakarta. Di Surabaya, Yogyakarta, bahkan di berbagai kota besar lainnya, #IndonesiaGelap menjadi tagar yang populer. Mahasiswa, aktivis, dan masyarakat sipil lainnya bersatu menyuarakan pendapat mereka. Mereka membawa spanduk dengan tulisan-tulisan yang menyentil, menyindir, dan menggugah kesadaran publik.
Pemerintah berjanji akan membahas tuntutan para demonstran. Namun, janji tinggal janji. Sementara itu, mahasiswa tetap berjuang untuk masa depan yang lebih baik. Ini bukan hanya tentang uang dan anggaran. Ini tentang keadilan, kesetaraan, dan masa depan bangsa. Apakah pemerintah akan mendengarkan?
Yang jelas, kegelapan ini bukan hanya soal penghematan anggaran. Membangun negeri ini butuh lebih dari sekadar pemangkasan biaya dan janji manis.
Kita berharap, semoga langkah strategis yang diambil oleh pemerintah dapat menciptakan perubahan positif bagi masyarakat Indonesia, bukan justru semakin memperburuk keadaan.