Baik, mari kita mulai artikelnya! Tidak perlu basa-basi lagi.
Saat ini, perebutan sumber daya alam strategis seperti mineral mulai memanas. Bukan hanya sekadar cerita di koran, tapi ini adalah game geopolitik yang menentukan arah dunia. Ini bukan cuma soal bisnis, tapi juga tentang kekuasaan, teknologi, dan bagaimana nasib kita semua sebagai penduduk bumi ini. Jadi, siapkan kopi atau teh, karena kita akan menyelami lebih dalam tentang Mineral Security Partnership (MSP) yang sedang hangat diperbincangkan.
MSP: Bukan Sekadar Inisiatif Biasa
Mineral Security Partnership (MSP) diluncurkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada 2022. Inisiatif ini menggandeng sejumlah negara, seperti Australia, Kanada, Jepang, Jerman, dan Uni Eropa. Tujuannya sederhana, untuk mempercepat investasi publik dan swasta dalam rantai pasokan mineral global yang bertanggung jawab. Bayangkan seperti klub eksklusif pemain mineral dunia, dengan aturan main yang sudah disepakati.
Namun, jangan kaget kalau ada nama-nama besar yang absen di sini. Negara-negara produsen mineral raksasa seperti China, Rusia, Argentina, Chile, dan Malaysia tidak termasuk dalam keanggotaan MSP. India, meski diklaim sebagai anggota, seringkali menyuarakan kritik yang mewakili kepentingan negara berkembang. Ini seperti menyaksikan drama di panggung internasional, di mana setiap negara punya peran dan kepentingannya masing-masing.
MSP bekerja melalui berbagai kelompok kerja yang berfokus pada proyek-proyek. Mereka akan mengevaluasi proyek, melihat apakah sesuai dengan standar ESG (Environmental, Social, and Governance) dan tujuan strategis MSP, lalu menentukan bentuk dukungan apa yang bisa diberikan. Negara-negara mitra MSP berkoordinasi antara banyak departemen, mulai dari urusan luar negeri, ekonomi, energi, perdagangan, hingga keuangan pembangunan.
Saat ini, MSP sedang meninjau lebih dari selusin proyek mineral di seluruh dunia, mencakup berbagai komoditas dan tahapan nilai, termasuk inisiatif pengolahan dan daur ulang. Dukungan yang diberikan bisa bermacam-macam, mulai dari bantuan keuangan, diplomasi, hingga dukungan lainnya. Ini bukan sekadar uang, tapi juga pengaruh dan akses ke teknologi.
Fokus Utama MSP: Hijau dan Berkelanjutan
Fokus utama MSP adalah memastikan bahwa proyek-proyek energi berbasis mineral dan logam dikelola dengan teknologi bersih. Ini mencakup semua tahapan, dari penambangan, ekstraksi, pembersihan, pengolahan, pemurnian, hingga daur ulang. Komoditas yang menjadi perhatian utama mereka adalah lithium, kobalt, nikel, mangan, grafit, rare earth elements (REE), dan tembaga — bahan mentah kunci untuk teknologi masa depan.
MSP hanya mendukung proyek yang memenuhi standar lingkungan global, meningkatkan nilai lokal, dan memajukan kehidupan masyarakat setempat. Mereka sangat serius soal sustainability. Transisi energi bersih global hanya akan terwujud jika kita melakukannya dengan cara yang benar. Jika tidak, siap-siap saja tersingkir dari "klub" ini.
Bayangkan, negara yang tidak memenuhi standar bisa jadi sulit mendapatkan pendanaan, transfer teknologi, atau bahkan akses pasar. Seperti ujian masuk kampus bergengsi, persyaratannya ketat, dan hanya yang terbaik yang akan diterima. Tentu, kita semua menginginkan dunia yang lebih bersih dan berkelanjutan, kan?
Kekuatan Data: Siapa Pemain Kuncinya?
Berdasarkan data dari International Energy Agency (IEA) Critical Minerals Market Review 2023, tiga negara pengolah mineral kritis terbesar di dunia adalah China, Indonesia, dan Chile. China mendominasi di banyak bidang, sedangkan Indonesia memiliki posisi penting di beberapa komoditas.
- Lithium: China menguasai 65% produksi dan pengolahan, disusul oleh Chile (29%) dan Argentina (5%).
- Nikel: Indonesia memimpin dengan 43%, diikuti China (17%) dan Rusia (5%).
- Tembaga: China memegang 42%, kemudian Chile (9%) dan Jepang (6%).
- Kobalt: China menguasai 74%, lalu Finlandia (10%) dan Kanada (5%).
- Rare Earth Elements: China memproduksi dan mengolah 90%, diikuti Malaysia (9%) dan Estonia (1%).
- Grafit: 100% dikuasai oleh China.
Dari data di atas, terlihat jelas bahwa China memegang kendali yang sangat besar. Ini juga menjelaskan, mengapa MSP begitu fokus untuk berupaya menyeimbangkan kekuatan di rantai pasokan mineral global.
Geopolitik dan Peran Indonesia
Inisiatif MSP dari Amerika Serikat dan negara maju lainnya dapat dilihat sebagai bagian dari kebijakan penyeimbangan untuk menekan negara-negara produsen. Melindungi lingkungan, memastikan keterlibatan masyarakat lokal, dan mengendalikan pasar serta teknologi adalah senjata geopolitik yang sangat ampuh. Ini adalah permainan yang sah-sah saja dalam dunia realpolitik.
Jose Fernandez sebagai Wakil Menteri Luar Negeri AS bidang Pertumbuhan Ekonomi, Energi, dan Lingkungan, pernah berkunjung ke Indonesia pada pertengahan Juli 2024. Kunjungan ini membahas soal mineral kritis. Beberapa hal yang menjadi perhatian adalah praktik lingkungan Indonesia, keterlibatan masyarakat lokal, dan dominasi perusahaan China di Indonesia. Tentu saja, mereka juga menawarkan potensi investasi.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan harapan agar kemudahan kerja sama, seperti yang terjadi antara AS dan Jepang, juga berlaku untuk Indonesia. Pemerintah Indonesia dan pemerintah AS sepakat untuk mengembangkan mineral kritis bahkan berencana membentuk Mineral Forum sebagai platform rantai pasok.
Indonesia memiliki posisi tawar yang kuat dengan sumber daya mineralnya. Namun, penting untuk mempertimbangkan lingkungan dan hukum, seperti adanya AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan keterlibatan masyarakat yang sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009). Sementara itu, aspek pertambangan, seperti praktik pertambangan yang baik, perlindungan lingkungan, reklamasi, dan kegiatan pasca-tambang, sudah diatur sesuai prinsip Environmental Social Governance (ESG) dalam UU No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Indonesia tentu sudah cukup berpengalaman dalam hal ini, meski memang masih terus berbenah. Indonesia juga berkomitmen pada tata kelola pemerintahan yang baik dan transparansi melalui upaya anti-korupsi. Indonesia adalah anggota EITI (Extractive Industries Transparency Initiative), yang mendorong pertambangan yang bertanggung jawab. Indonesia juga melakukan penilaian risiko lingkungan dan sosial pada proyek pertambangan sebelum semuanya dimulai.
Negara maju, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, juga diundang untuk berinvestasi langsung di sektor mineral dan pertambangan di Indonesia. Value addition, alias peningkatan nilai tambah, juga merupakan bagian dari tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Pengolahan downstream, atau hilirisasi, menjadi cara untuk mempercepat hal ini, memberikan keseimbangan dan keadilan bagi negara dan masyarakat tuan rumah dengan negara investor.
Sebagai negara dengan posisi politik yang independen dan aktif, presiden terpilih Prabowo Subianto telah mengunjungi berbagai negara. Ini adalah sinyal positif yang seharusnya dimanfaatkan oleh pemerintah AS, siapapun presidennya nanti.
MSP, seperti namanya, adalah Kemitraan. Kemitraan menghormati kesetaraan, keseimbangan, diskusi, dan kesediaan untuk mendengar dan didengar. Kemitraan bukanlah pemaksaan syarat atau ketentuan sepihak. Inilah esensi dari negara dan masyarakat yang beradab dan berdaulat. Indonesia, Amerika Serikat, dan negara lain hidup dan berkolaborasi dalam semangat ini.
Kesimpulannya, MSP adalah salah satu gerbang bagi Indonesia untuk bisa masuk ke dalam rantai pasok global yang lebih bertanggung jawab, sambil tetap menjaga kedaulatan dan kepentingan nasional. Jangan sampai missing the point dan akhirnya hanya jadi penonton di panggung dunia, ya!