Bali Dulu dan Sekarang: Antara Surga yang Hilang dan Neraka Turis
Dulu, Bali sering digambarkan sebagai surga dunia yang memesona. Sekarang, mungkin kamu akan berpikir ulang sebelum merencanakan liburan ke sana. Bayangkan pantai berpasir putih, sawah hijau membentang, dan warisan budaya yang kaya. Sekarang, bayangkan semua itu dijejali hotel mewah, macet parah, dan sampah berserakan. Agak miris, kan?
Dari Sawah Menuju Klub Pantai: Transformasi yang Bikin Geleng-Geleng
Dulu, Bali itu surgawi banget, lho! Pengen tahu buktinya? Cek saja foto-foto jadul yang baru dirilis. Kamu akan melihat pantai-pantai yang clean banget, lahan hijau membentang, dan sawah yang menakjubkan. Bahkan, bangunan aja jarang ada. Bandingkan dengan sekarang yang sudah penuh dengan bangunan dan hiruk pikuk turis. Bisa jadi, kakek nenekmu dulu punya kenangan yang epic banget tentang Bali.
Perubahan besar dimulai saat bandara internasional Bali dibuka tahun 1968. Boom, turis berdatangan, dan semuanya berubah drastis. Populasi Bali juga meningkat pesat, dari 2 juta di tahun 1960-an menjadi 4,4 juta di tahun 2023. Gimana gak macet coba? Pertumbuhan pesat ini sayangnya nggak selalu membawa dampak positif.
Sampah, Kemacetan, dan Turis yang Bikin Geleng-Geleng Kepala
Sekarang, jangan kaget kalau kamu menemukan sampah berserakan di pantai, bau limbah yang nyengat, dan suara bising konstruksi di mana-mana. Indah, ya? Kualitas liburanmu juga nggak akan sama lagi. Reputasi Bali sebagai surga dunia sedikit ternoda oleh overtourism. Tahun 2024 saja, ada 6,3 juta turis yang datang. Banyak, kan?
Masalah lain adalah ulah turis yang nggak tertib–mulai dari melanggar aturan lalu lintas, cari kerja ilegal, sampai kurang menghargai penduduk lokal. Capek, deh! Dengar-dengar, sempat ada wacana larangan turis Rusia dan Ukraina karena ulah mereka yang bikin masalah. Hmm, kayaknya semua orang punya andil dalam mengubah wajah Bali, deh.
Bali Masuk Daftar "Destinasi yang Harus Dihindari": Serius, Nih?
Bahkan, panduan perjalanan ternama, Fodor, memasukkan Bali dalam daftar destinasi tahun 2025 yang nggak direkomendasikan. Serem, kan? Alasan utamanya adalah overtourism, yang merusak lingkungan dan budaya Bali. Gak cuma Bali, sih. Beberapa kota lain seperti Barcelona, Venesia, Koh Samui, dan bahkan Gunung Everest juga masuk daftar. Mirisnya, turis yang datang terus berdatangan.
Seorang turis Australia yang sudah 80 kali ke Bali, Toni Pollard, punya perspektif menarik tentang perubahan Pulau Dewata ini. Dulu, dia bisa keliling Bali naik minibus atau sepeda motor. Bayangin, nggak ada macet! Dulu, nggak ada sampah plastik. Semua belanjaan dibungkus daun pisang atau koran. Peralatan masak juga terbuat dari kayu, bambu, atau kaleng. Jauh banget sama sekarang.
Mencari Surga Tersembunyi di Tengah Keramaian
Toni Pollard mengakui perubahan Bali yang drastis, terutama soal kemacetan dan pembangunan hotel yang nggak terkendali. Dulu, Bali lebih fokus pada budaya Bali dan masyarakat lokal. Sekarang, seolah-olah semuanya didedikasikan untuk turis. Padahal, beberapa tempat di area Bali sudah berubah jadi ramai dan padat.
Meskipun begitu, Toni Pollard tetap merekomendasikan liburan ke Bali. Tapi, dengan catatan, kamu harus mencoba menjauhi tempat-tempat yang sudah terlalu ramai dan mencari "surga" tersembunyi. "Coba deh cari jalan-jalan kecil yang nggak macet. Cari gang-gang kecil untuk melihat sawah," pesannya. Siapa tahu kamu masih bisa menemukan keajaiban Bali yang dulu.
Mungkin memang sudah susah ya, menemukan Bali yang dulu. Tapi, bukan berarti kamu nggak bisa menikmati keindahan alam dan budayanya. Yang penting, selalu jaga sikap dan hargai lingkungan sekitar. Siapa tahu, kamu bisa jadi saksi mata perubahan Bali ke arah yang lebih baik?