Dark Mode Light Mode

Pengguna Power Linux: Distro Ini Menyegarkan Desain OS Anda

Sudah siap buat ngobrolin NixOS, nih? Sistem operasi open-source yang lagi naik daun, menawarkan pengalaman Linux yang beda dari yang lain. Kali ini, kita akan bedah habis-habisan, mulai dari kelebihan sampai tantangan yang mungkin kamu temui. Siap-siap, ya, karena NixOS ini bukan buat semua orang!

Sebelum kita mulai lebih jauh, perlu diingat, kalau kamu belum begitu familiar dengan command line, atau malas "ngoprek" sana-sini buat bikin sesuatu yang seharusnya sudah plug-and-play, NixOS mungkin bukan pilihan terbaik. Tapi, bukan berarti nggak bisa sama sekali, lho. Kalau kamu cuma butuh software open-source, NixOS bisa jadi solusi menarik.

Kalau di sisi lain, kamu butuh aplikasi kayak Chrome, Slack, atau Spotify, bersiaplah menghadapi sedikit drama. Mungkin, kamu akhirnya akan balik ke Ubuntu atau Linux Mint. Nah, sekarang, mari kita bahas apa saja sih yang bikin NixOS ini istimewa.

Nggak semua orang cocok dengan distro kayak Ubuntu atau Linux Mint. Bukan berarti keduanya jelek, ya! Tapi, kadang pengguna Linux pengen yang lebih "kuat" dan punya banyak fleksibilitas. Dari berbagai macam distro yang pernah dicoba, mulai yang paling simpel sampai yang segambreng rumitnya, NixOS ini berhasil bikin penasaran.

NixOS sendiri nggak sesusah Gentoo, tapi juga nggak semudah Ubuntu. Bisa dibilang, posisinya ada di tengah-tengah antara Ubuntu dan Arch Linux. Artinya, kamu bakal punya kontrol lebih banyak, tapi juga perlu usaha lebih buat menyesuaikannya.

Siap-Siap Belajar: Kurva Pembelajaran NixOS yang Menantang

Ada dua versi resmi NixOS yang bisa kamu pilih: satu dengan GNOME, satunya lagi dengan Plasma Desktop. Waktu instalasi, kamu bisa memilih berbagai macam lingkungan desktop. Kalau saya pribadi, milih Deepin Desktop karena tampilannya yang keren. Tapi, kenapa sih NixOS ini dianggap menantang meski ada GUI yang mendukung banyak pilihan lingkungan desktop?

Salah satunya karena nggak adanya app store dengan tampilan visual. Betul, di NixOS, kamu menginstal package lewat command line. Tapi jangan khawatir, NixOS punya alat bantu. Kamu bisa buka web browser, lalu kunjungi search.nix.org. Di sana, kamu bisa cari software yang ingin diinstal, dan dia akan kasih command yang harus kamu ketik. Contohnya, kalau mau cari Slack, command-nya adalah…

Nah, di sinilah kita mulai ketemu sedikit "masalah". Secara default, NixOS diatur supaya nggak menginstal software yang non-free tanpa bantuan. Setelah menjalankan command di atas, kamu bakal lihat ada dua cara buat mengakali hal ini: 1) Memakai environment variable export NIXPKGS_ALLOW_UNFREE=1 buat sementara, atau 2) Mengatur { nixpkgs.config.allowUnfree = true; } di /etc/nixos/configuration.nix.

Konfigurasi, Konfigurasi, dan Konfigurasi Lagi!

Tentu sangat membingungkan kalau opsi allowUnfree sudah diatur di configuration.nix. Kok, masih nggak bisa juga install software yang aku mau? Ternyata, walau opsinya bersifat global, kamu tetap harus bikin file konfigurasi di direktori home kamu, tepatnya di ~/.config/nixpkgs. Lho, tapi direktori nixpkgs nggak ada? Ya, kamu harus bikin dulu!

Mungkin kamu mulai bisa memahami kenapa NixOS bukan pilihan yang cocok buat para pengguna baru. Tapi, buat yang punya pengalaman Linux yang cukup, NixOS ini stabil dan kokoh seperti Debian atau Arch. Kalau kamu cuma mau pakai software open-source (gratis), nggak akan ada masalah berarti, selama kamu nyaman dengan command line.

Di luar masalah instalasi software non-free, seperti apa sih NixOS ini? Jawabannya, sistem operasi yang stabil, efisien, aman, dan sudah dilengkapi hampir semua yang kamu butuhkan (kecuali office suite dan email client). Buat yang butuh office suite, bisa instal LibreOffice dengan:

nix-env -iA nixpkgs.libreoffice

Jika butuh email client, coba ini:

nix-env -iA nixpkgs.thunderbird

Jangan Lupa: Reboot!

Frustrasi terakhir yang sering dialami adalah, walau sudah sukses instal aplikasi, kamu nggak akan menemukannya di menu. Kadang, setelah instal LibreOffice dan logout, LibreOffice seakan menghilang dan harus diinstal lagi. Tapi, setelah reboot, semuanya kembali normal. Yang jadi masalah, kita nggak terbiasa reboot setelah instal aplikasi di Linux.

Frustrasi ini memang bisa bikin kesal. Tapi, semua itu bisa diatasi. Butuh waktu. Butuh usaha. Dan, yang pasti, butuh Google (atau DuckDuckGo). Itulah sebabnya, saya merekomendasikan NixOS kepada pengguna Linux yang sudah punya pemahaman dasar yang kuat.

Kesimpulan: NixOS untuk Siapa?

Umumnya, kalau saya me-review sistem operasi Linux, saya akan instal di mesin virtual (VirtualBox), nyoba-nyoba, dan hapus lagi. Tapi, buat NixOS, saya berencana menyimpannya lebih lama untuk belajar lebih dalam.

Kalau kamu nyaman dengan command line Linux, dan suka tantangan, coba deh NixOS. Begitu selesai instal, NixOS nggak akan mengecewakan!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Ubisoft to Spin Off Major Franchises into Indonesian-Focused Subsidiary, Seeking Investment

Next Post

Iron Maiden Siapkan Dokumenter Resmi untuk Perayaan 50 Tahun, Simbol Legenda Musik