Dark Mode Light Mode

Penembakan di Tangerang: Saat “Benar” dan “Baik” Jadi Dua Hal Berbeda

Penembakan di Tangerang buka diskusi soal dilema hukum: apakah harus selalu benar menurut prosedur, ataukah baik menurut moral?

Pagi yang tenang berubah mencekam di Rest Area KM. 45 Tol Tangerang-Merak. Kamis dini hari (2/1), sebuah kejadian tragis terjadi: seorang pengusaha rental mobil tewas ditembak, sementara dua lainnya terluka. Insiden ini berawal dari upaya pemilik mobil mengejar kendaraannya yang diduga digelapkan oleh penyewa.

Bagaimana kronologinya?

Menurut keterangan anak korban, IAR (korban tewas) awalnya menerima notifikasi bahwa GPS mobil rental miliknya, Honda Brio, telah dicabut. Bersama dua anaknya, IAR mengejar mobil tersebut ke Pandeglang, hanya untuk menemukan mobil sudah dikemudikan orang lain, bukan oleh penyewa berinisial AS.

Titik balik terjadi di Rest Area.

Setelah berjam-jam membuntuti, mereka berhasil menemukan mobilnya. Namun, saat hendak mengambil kendaraan, dari mobil lain keluarlah pelaku yang membawa senjata api dan langsung menembak. Tragisnya, IAR yang berusaha mempertahankan haknya malah meregang nyawa.

Yang bikin miris? Sebelum insiden, keluarga korban sempat meminta bantuan pendampingan polisi dari Polsek Cinangka. Tapi permintaan itu ditolak. Polisi disebut menolak dengan alasan prosedural, mempertanyakan bukti bahwa mobil tersebut benar-benar digelapkan.

Baik atau benar? Kasus ini kembali mengangkat dilema lama: apakah suatu tindakan harus selalu benar menurut hukum, ataukah harus baik menurut etika? Dalam konteks ini, tindakan polisi menolak pendampingan mungkin benar secara prosedur, tetapi apakah itu baik?

Di luar negeri, seperti di AS dengan sistem 911, petugas biasanya langsung merespons laporan tanpa meminta bukti konkret terlebih dahulu. Reaksi cepat inilah yang sering dianggap baik karena langsung melindungi pelapor, sambil membiarkan investigasi mengungkap fakta sesungguhnya.

Bahaya di balik sikap pasif.

Saat aparat hukum gagal hadir di momen genting, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan. Hal ini berpotensi memicu fenomena vigilante atau main hakim sendiri, di mana masyarakat mengambil hukum di tangan mereka sendiri. Meskipun vigilante tidak dibenarkan, dalam konteks sosial, sering kali dianggap sebagai respons yang “baik” oleh masyarakat.

Sebagai contoh, dalam beberapa kasus klitih di Yogyakarta, masyarakat yang memukuli pelaku kejahatan jalanan sering mendapatkan simpati. Padahal tindakan main hakim sendiri ini jelas melanggar hukum.

Apa pelajaran dari kasus ini?

  1. Hukum harus hadir dengan itikad baik. Polisi, sebagai pelindung masyarakat, harus mampu menjembatani antara hukum dan moralitas. SOP memang penting, tetapi ada saatnya fleksibilitas diperlukan untuk menjaga nyawa dan ketertiban.
  2. Kecepatan respons adalah kunci. Penolakan untuk mendampingi, meskipun prosedural, menciptakan ruang bagi tragedi terjadi. Respons cepat, seperti di kasus ini, mungkin saja menyelamatkan nyawa korban.
  3. Masyarakat butuh kepastian hukum. Ketika hukum dianggap lamban atau absen, vigilante menjadi alternatif berbahaya.

Harapan untuk ke depan. Dalam dunia yang kompleks ini, aparat penegak hukum diharapkan tidak hanya benar menurut aturan, tetapi juga baik menurut moral. Ketika “benar” dan “baik” bisa berjalan beriringan, hukum tidak hanya akan dihormati, tetapi juga dipercaya.

Tapi, bagaimana menurut kamu? Apakah tindakan polisi di kasus ini sudah sesuai, atau justru perlu dievaluasi?

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Tutup 2024, Jawa Tengah Bikin Doa Lintas Agama: Siap Move On ke 2025!

Next Post

"In Damkar We Trust": Ketika Layanan Darurat Menjadi Simbol Kepercayaan Publik