Dark Mode Light Mode

Penambangan Nikel di Pulau Gebe: Abaikan Penolakan Adat dan Hukum di Indonesia

Pulau Gebe: Nikel, Nasib Masyarakat, dan Mimpi Buruk Ekstraksi Sumber Daya

Pernahkah kamu membayangkan, sebuah pulau kecil yang dulunya surga, kini berjuang keras melawan kerusakan lingkungan dan ancaman terhadap kehidupan masyarakatnya? Itulah yang terjadi di Pulau Gebe, sebuah pulau eksotis di Indonesia Timur yang kini menjadi saksi bisu eksploitasi tambang nikel. Para penambang meratakan bukit, merusak lahan pertanian, dan mengancam ekosistem laut yang kaya. Sungguh ironis, kan?

Permasalahan Lahan dan Hak Masyarakat Adat

Pulau Gebe, dengan tujuh konsesi tambang nikel aktif, menghadapi dampak serius akibat aktivitas pertambangan. Masyarakat adat setempat merasakan dampaknya langsung, mulai dari kerusakan tanaman, berkurangnya hasil tangkapan ikan, hingga sumber air yang mengering. Padahal, pulau ini sesuai Undang-Undang tentang pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir (PWP3K) tahun 2007, yang dirancang untuk melindungi ekosistem yang rapuh dari kerusakan skala besar. Namun, ironisnya, hukum ini seringkali diabaikan.

Penelitian LSM seperti Forest Watch Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari seperempat konsesi lahan di pulau-pulau kecil Indonesia digunakan untuk pertambangan. Hal ini mengungkap ketidakharmonisan antara investasi dan praktik penambangan dengan lingkungan lokal. Selain itu, kasus-kasus korupsi dalam perizinan tambang juga semakin memperburuk masalah, seperti yang terungkap dalam beberapa penyelidikan oleh pihak berwenang.

Praktik-praktik yang merugikan ini seringkali terjadi tanpa melibatkan masyarakat adat secara memadai. Padahal, hak "free, prior, and informed consent" (FPIC) atau persetujuan bebas, didahulukan, dan terinformasi seharusnya menjadi prioritas. Namun, di Gebe, banyak masyarakat adat yang seakan tak memiliki suara dalam perubahan besar yang terjadi di tanah leluhur mereka.

Dampak Buruk bagi Kehidupan Masyarakat Lokal

Kehidupan di Pulau Gebe perlahan berubah akibat aktivitas tambang. Sumber daya air mengering, lahan pertanian rusak, dan hasil tangkapan ikan semakin berkurang. Masyarakat adat merasa terancam ketahanan pangan mereka. Bahkan, kawasan tempat kerajaan adat dan tempat suci dipindahkan atau dirusak untuk kepentingan tambang.

Para petani dan nelayan Gebe merasa khawatir karena lahan dan laut yang menjadi sumber kehidupan mereka telah tercemar. Lumpur tambang menggenangi lahan sagu, tanaman pokok yang sangat penting bagi budaya dan ketahanan pangan masyarakat setempat. Para nelayan pun terpaksa mencari ikan lebih jauh ke lautan, bahkan hingga ke wilayah lain, akibat kerusakan terumbu karang dan hilangnya ikan di sekitar pulau.

Industri Nikel dan Konsekuensi Ekonomi

Indonesia, sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, memiliki peran strategis dalam transisi energi global. Ekspor bijih nikel telah menghasilkan pendapatan yang sangat besar. Sayangnya, peningkatan pendapatan ini belum berdampak positif bagi peningkatan standar hidup masyarakat lokal. Kesenjangan ekonomi justru semakin melebar.

Tambang nikel pertama di Gebe dimulai pada tahun 1960-an, dan setelah Antam selesai mengoperasikan tambang pada tahun 2004, pelayanan air dan listrik yang sebelumnya dinikmati masyarakat setempat dihentikan sejak saat itu. Tujuh konsesi tambang nikel beroperasi di pulau ini, termasuk blok Kaf seluas 915 hektar.

Meskipun industri nikel berkontribusi besar terhadap pendapatan negara, banyak laporan yang menunjukkan bahwa masyarakat lokal tidak merasakan peningkatan kesejahteraan yang signifikan. Sebaliknya, mereka justru menghadapi berbagai masalah lingkungan dan sosial yang serius.

Ancaman Terhadap Ekosistem dan Biodiversitas

Kerusakan lingkungan di Pulau Gebe sangat nyata. Air laut berubah warna menjadi kecokelatan, terumbu karang rusak, dan ikan menghilang. Ekosistem laut menjadi sangat terpengaruh akibat sedimentasi dan polusi dari aktivitas tambang. Hal ini akan berdampak besar pada kehidupan nelayan yang menggantungkan hidup pada hasil laut.

Hasil studi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada tahun 2018 menemukan kerusakan parah pada terumbu karang dan hutan di sekitar Gebe. Kerusakan ini menyebabkan mangrove di Tanjung Oeboelie tidak tumbuh subur karena tertutup sedimen lumpur dari lokasi tambang dan penambangan nikel.

Perburuan ikan telah memaksa nelayan-nelayan harus mencari daerah penangkapan ikan yang lebih jauh. Perubahan iklim semakin mempersulit keadaan ini. Masyarakat adat sangat bergantung pada alam sebagai sumber kehidupan, sehingga masalah lingkungan yang disebabkan oleh pertambangan sangat memprihatinkan.

Nasib Akhir: Apa yang Akan Terjadi?

Bijih nikel yang diekstraksi dari Gebe diangkut ke Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera daratan untuk diolah. Proses peleburan nikel menggunakan High Pressure Acid Leaching (HPAL), menghasilkan limbah berbahaya yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Perusakan hutan dan lahan semakin tak terkendali.

Penghancuran yang tak terencana bahkan berdampak bagi kumbang marsupial endemik Pulau Gebe – Gebe cuscus. Spesies tersebut adalah satu-satunya di dunia yang ada di pulau itu, kini bahkan nyaris tak terlihat lagi. Setelah nikel habis, perusahaan tambang akan pergi, meninggalkan pulau yang mungkin tidak dapat dikenali lagi oleh masyarakat setempat.

Pada akhirnya, kisah Pulau Gebe adalah cerminan dari perjuangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Kita bisa ambil pelajaran, bagaimana kita menjaga keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan lingkungan, serta bagaimana kita bisa memastikan masyarakat adat dan lingkungan tempat tinggal mereka mendapatkan hak yang pantas.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Celine Dion Peringatkan Penggemar Indonesia Soal Musik AI Palsu yang Meniru Suara & Penampilannya

Next Post

Mainkan Game Indie Ini: Rasakan Pengalaman Menggunakan Ponsel