Dark Mode Light Mode

Pelibatan Militer dalam Pemberantasan Narkoba Dikritik Kelompok Sipil: Implikasi Politik

Amandemen UU TNI: Jangan Sampai ‘Perang' Lawan Narkoba Dipasrahkan ke Prajurit

Rancangan Undang-Undang (RUU) Amandemen TNI kembali menjadi sorotan, bukan karena berita promosi film laga terbaru, tapi karena polemik yang lebih serius: keterlibatan militer dalam penanganan drug abuse. Kira-kira, apa sih yang sebenarnya sedang terjadi dan kenapa hal ini ramai diperbincangkan? Jangan khawatir, kita akan bedah bersama, lengkap dengan bumbu-bumbu yang bikin kamu nggak ngantuk.

RUU ini memang ibarat update besar-besaran buat UU TNI yang lama. Tujuannya sih baik, untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, tapi ada beberapa pasal yang bikin banyak pihak, termasuk komunitas sipil, angkat bicara. Salah satunya adalah perubahan dalam peran TNI yang dianggap terlalu luas, bahkan berpotensi mengancam prinsip-prinsip reformasi.

Salah satu yang paling disorot adalah Pasal 7 ayat (2) poin 17 yang memberikan wewenang kepada TNI untuk membantu pemerintah dalam menangani penyalahgunaan narkotika, prekursor, dan zat adiktif lainnya. Yap, benar sekali, ini berarti TNI bisa ikut terjun langsung dalam pemberantasan narkoba.

Keterlibatan TNI dalam pemberantasan narkoba ini sebenarnya bukan ide baru, tapi penekanannya lebih kepada mengoptimalkan koordinasi dan dukungan. Tentu saja, argumennya adalah untuk memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan narkoba di negeri kita. Akan tetapi, apakah ini solusi yang tepat?

UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tidak secara eksplisit menyebutkan peran TNI dalam menangani masalah narkoba. Perubahan ini, secara teknis, adalah perluasan peran yang signifikan. Apakah kita yakin ini akan memberikan efek positif? Atau malah menimbulkan masalah baru?

Pro-kontra mengenai usulan ini sangatlah beragam. Beberapa pihak menyambut baik, dengan alasan TNI memiliki sumber daya dan kemampuan yang mumpuni. Sementara itu, pihak lain merasa khawatir bahwa keterlibatan militer dalam ranah sipil bisa menimbulkan dampak negatif yang lebih besar.

Bukan Film Laga: Urgensi Pendekatan Kesehatan dalam Penanganan Narkoba

Ma'ruf Bajammal, seorang pengacara publik di Institut Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), berpendapat tegas bahwa penanganan narkoba seharusnya lebih mengedepankan pendekatan kesehatan berbasis ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, penanganan narkoba itu urusannya dokter dan psikolog, bukan prajurit.

Jadi, daripada mengerahkan kekuatan militer, lebih baik fokus pada program rehabilitasi, edukasi, dan pencegahan yang efektif. Logikanya, mengatasi akar masalah lebih penting daripada hanya menangkap para pengedar dan pecandu. Bayangkan, jika sumber masalah tidak ditangani, perang ini tidak akan pernah selesai!

Dalam penanganan narkoba, pendekatan kesehatan akan lebih fokus pada pemulihan. Tujuan utamanya adalah membantu pecandu pulih dari ketergantungan, bukan hanya menghukum mereka. Ini adalah pendekatan yang lebih manusiawi dan sangat krusial.

Penting untuk diingat bahwa pecandu narkoba seringkali merupakan korban, bukan hanya pelaku kejahatan. Mereka membutuhkan bantuan medis dan dukungan sosial untuk bisa sembuh. Menggunakan pendekatan kesehatan akan membuat mereka lebih mudah untuk mengakses bantuan yang diperlukan.

Ditambah, pendekatan kesehatan ini sesuai dengan prinsip hak asasi manusia. Negara berkewajiban untuk melindungi dan membantu warganya, termasuk mereka yang mengalami masalah penyalahgunaan NAPZA.

Ancaman Dual Fungsi: Mengapa Keterlibatan TNI Dipertanyakan?

Muhammad Isnur, Ketua YLBHI, punya kekhawatiran yang cukup beralasan. Beliau mengingatkan bahwa keterlibatan TNI dalam pemberantasan narkoba berpotensi menghidupkan kembali isu dwifungsi ABRI. Ngeri, kan?

Dwifungsi ABRI adalah konsep di mana militer memiliki peran ganda baik di bidang pertahanan maupun dalam urusan politik dan sosial. Kita semua tahu, dampak negatifnya sangat besar terhadap demokrasi dan hak asasi manusia.

Jika TNI terlalu banyak terlibat dalam urusan sipil, ada risiko terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM. Jangan sampai kita kembali ke masa lalu, di mana militer memiliki wewenang yang sangat besar dalam segala aspek kehidupan bernegara. Siapa sih yang mau masa orde baru balikan?

Kehadiran militer yang kuat dalam penegakan hukum juga bisa mengganggu proses peradilan yang independen. Jika militer ikut campur dalam proses hukum, ada potensi terjadinya intervensi dan ketidakadilan. Pada akhirnya, keadilan harus ditegakkan secara independen dan imparsial, bukan oleh militer.

Untuk menghindari potensi buruk ini, sangat penting untuk membatasi peran TNI hanya pada fungsi utamanya, yaitu pertahanan negara. Penegakan hukum, termasuk pemberantasan narkoba, seharusnya menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum sipil.

Solusi Alternatif: Memperkuat Lembaga yang Sudah Ada

Alih-alih melibatkan TNI, ada baiknya kita fokus pada penguatan lembaga-lembaga yang sudah ada, seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Mereka ini yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan narkoba.

BNN dan Polri sudah memiliki sumber daya, pengalaman, dan jejaring yang cukup dalam menangani masalah narkoba. Yang perlu dilakukan adalah memberikan mereka dukungan penuh, baik dalam bentuk anggaran, personel, maupun peralatan.

Pemerintah juga bisa meningkatkan koordinasi dan sinergi antar lembaga penegak hukum. Mungkin juga perlu dilakukan inovasi pendekatan untuk dapat memaksimalkan kinerja semua pihak.

Selain itu, perlu ada peningkatan kapasitas bagi petugas BNN dan Polri. Mereka perlu mendapatkan pelatihan yang lebih intensif, terutama dalam hal penanganan kasus narkoba yang kompleks dan berjejaring.

Terakhir, meningkatkan kerjasama internasional dalam pemberantasan narkoba juga sangat penting. Kasus narkoba seringkali melibatkan jaringan transnasional. Dengan memperkuat kerjasama internasional, kita bisa lebih efektif dalam memberantas kejahatan narkoba secara global.

Singkat kata, penanganan narkoba bukanlah tentang siapa yang paling kuat, tetapi tentang siapa yang paling tepat.

Kesimpulannya, RUU Amandemen TNI memang punya banyak poin yang perlu kita cermati. Keterlibatan militer dalam pemberantasan narkoba, khususnya, perlu dikaji ulang secara mendalam. Daripada menambah beban TNI, yang lebih krusial adalah memperkuat pendekatan kesehatan, menghindari potensi ancaman dual fungsi, dan memaksimalkan peran lembaga yang memang sudah memiliki tugas pokok dan fungsi untuk menangani masalah narkoba. Ingat, perang melawan narkoba bukan hanya butuh otot, tapi juga otak. Jangan sampai langkah kita malah memperburuk keadaan.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Kerberos - Rasul bagi Kejahatan: Sebuah Ulasan Pedas

Next Post

Daigo Umehara: Lemparan Mungkin Perlu Ditingkatkan Lagi, Tapi Ia Tak Suka Throw Loop di Street Fighter 6