Rap di Libya: Ketika Rima Beradu dengan Realita
Dulu, kayaknya rap di Libya itu lagi on fire, apalagi pas tahun 2023 dan 2024. Negara lagi nggak stabil politiknya, ekonomi juga susah, konflik di mana-mana, korupsi merajalela, belum lagi banjir yang parah di Derna. Harapan buat punya pemerintahan yang solid juga kayaknya tipis. Nah, semua itu, kan, bahan mentah yang nggak ada habisnya buat bikin lagu.
Tapi yang bikin menarik, sih, kayaknya pemerintahannya juga terkesan santai banget, jadi para rapper bisa berkarya dengan bebas. Contohnya, tahun lalu, pemerintahan di bagian timur yang dipimpin Jenderal Khalifa Hiftar kasih lampu hijau buat Festival Benghazi Sommer pertama dalam 15 tahun! Buat rapper kelahiran Benghazi, MC Mansour Unknown, itu kesempatan pertama dia buat manggung di kampung halamannya sendiri.
Sejak saat itu, konser dan acara rap makin banyak, dan penontonnya juga makin ramai. Minggu lalu, MC Mansour Unknown manggung bareng rapper terkenal Libya, KA7LA, di Derna, dan konsernya sold out! Tapi, bisa jadi itu adalah konser terakhir mereka. Minggu ini, pemerintah di timur dan barat kompak menjegal musik rap. Katanya, lagu-lagu rap itu, ada yang liriknya vulgar dan nggak sesuai sama nilai-nilai moral masyarakat Muslim Libya.
Sensorship Ala Libya
Mulai sekarang, rapper di wilayah timur harus minta izin ke Kementerian Dalam Negeri yang ada di Benghazi, sementara yang di barat harus urus izin ke Kementerian Kebudayaan di Tripoli. Nah, kedua kementerian ini yang bakal ngecek, tuh, apakah liriknya mengandung unsur kejahatan, seksualitas, bunuh diri, atau pemberontakan terhadap keluarga atau masyarakat. Kalau nggak punya izin, jangan harap bisa manggung di seluruh Libya.
Aturan yang sama juga berlaku buat pertunjukan teater, akting, musikal, tari, atau nyanyi, nggak peduli dilakukan di mana atau lewat media apa. Menurut Kementerian Dalam Negeri di timur, aturan baru ini udah sesuai sama konstitusi negara, yang bilang kalau kebebasan berekspresi itu ada batasnya, terutama kalau udah melanggar moral publik dan bertentangan sama agama Islam.
“Pihak berwenang di timur merangka ini sebagai aturan sosial," kata seorang profesor yang pakar tentang Libya. "Ini dilakukan dengan sangat cerdas dan memastikan masyarakat mendukung mereka." Tapi, dia juga menambahkan kalau kebijakan itu mengesampingkan orang-orang yang pengin berekspresi dengan cara lain, entah lewat seni, musik, atau bahkan politik.
Rap Sebagai Pelampiasan Politik
Dulu, di masa pemerintahan diktator Moammar Ghadafi (1969-2011) musik rap itu haram hukumnya. Cuma ada di kalangan bawah tanah dan di kalangan diaspora Libya aja. Tapi, menjelang kejatuhan Ghadafi tahun 2011, para rapper lokal kayak Youssef Ramadan Said, atau yang lebih dikenal dengan MC Swat, pake lagu-lagu rap mereka buat ngajakin anak muda buat bangkit melawan rezim.
Tahun 2011, MC Swat rilis lagu "Hadhee Thowra" ("Ini Revolusi") yang isinya ajakan buat masyarakat turun ke jalan dan memberontak. Lagu ini jadi semacam lagu kebangsaan gerakan pemberontakan Libya dan jadi awal dari masa keemasan rap Libya. Waktu itu, MC Swat yang baru 23 tahun bilang kalau lagunya itu ngegambarin gimana rasanya "menyentuh kebebasan."
Mundurnya Kebebasan, Majunya Otoritarianisme
Sayangnya, pemberontakan itu malah berujung pada Perang Saudara Libya Pertama dari Februari sampai Oktober 2011, antara pasukan yang setia sama Ghadafi dan kelompok pemberontak. Akhirnya, Ghadafi meninggal dunia pada Desember 2011. Masyarakat Libya dan para rapper yang mati-matian nyuarain demokrasi dan kebebasan, akhirnya balik lagi ke titik nol.
Desember 2011, MC Swat rilis lagu "Freedom of Speech" yang isinya kritik soal revolusi yang dianggap gagal karena korupsi. Setelah lagu itu rilis, hidupnya jadi makin susah. Dia bahkan kabur dari Libya. Kelompok militan nggak suka dia terus-terusan bikin lagu rap yang nyerang kekejaman, kekerasan, dan korupsi di kalangan pendukung Jenderal Khalifa Hiftar.
Lagu "Benghazistan" (2013) yang isinya kritik soal pembunuhan dan pengeboman di Benghazi bikin penguasa makin kesel. Tahun 2014, situasi politik Libya makin parah. Sejak saat itu, Libya terbagi jadi dua pemerintahan yang saling bersaing. Bagian timur masih dikuasai Jenderal Khalifa dan Parlemen di Benghazi, sementara bagian barat dikuasai Pemerintah Persatuan Nasional (GNU) yang diakui PBB di Tripoli.
Tahun 2017, MC Swat rilis lagu "Exploitation" yang isinya sorotan soal penderitaan rakyat yang terus-terusan diekspoitasi. Itulah lagu terakhir yang dia tulis di Libya. Sekarang dia tinggal di Italia dan bilang kalau dia kangen banget sama kampung halamannya. "Saya berharap setiap hari semuanya berakhir di Libya dan saya bisa pulang dan tinggal bersama ibu dan ayah saya," katanya waktu itu.
Mengapa Hal Ini Bisa Terjadi?
Organisasi pengawas hak asasi manusia dan pengamat nggak yakin kalau mimpi MC Swat bisa jadi kenyataan dalam waktu dekat. "Larangan terhadap rap ini bukan kebetulan, ini bagian dari tren yang lebih luas di seluruh Libya," kata seorang profesor. "Kedua pusat kekuasaan di timur dan barat telah meningkatkan tindakan keras mereka tidak hanya pada kebebasan pribadi tetapi juga pada wacana apa pun yang dapat ditafsirkan sebagai ancaman bagi kendali mereka," tambahnya.
Menurut dia, tren ini makin meningkat karena kedua penguasa politik makin bergantung pada badan keamanan yang sangat dipengaruhi oleh ideologi Salafi, yang mengikuti pembacaan Islam yang radikal dan sangat konservatif. Buat para rapper Libya, kemungkinan besar mereka nggak akan bisa lagi naik panggung dan berekspresi secara terbuka. Tapi, untungnya sih, perkembangan teknologi kayak Instagram, Tiktok, dan Facebook bikin mereka lebih gampang nyebarin lagu-lagu ke penggemar Libya sejak era Ghadafi.
Mungkin, buat para rapper, kebebasan memang cuma ada di dunia maya, ya?