Patrick Wolf Kembali: Menjelajahi "Limbo" dan Masa Depan Musik
Patrick Wolf, seorang musisi multitalenta yang telah lama dinantikan, akhirnya kembali dengan karya baru. Sebuah wawancara eksklusif bersama NME mengungkap lebih dalam tentang single terbarunya, "Limbo", serta album yang sudah lama ditunggu, ‘Crying The Neck'. Lagu ini tak hanya sekadar rilisan, melainkan sebuah pernyataan yang berani dan personal.
Album baru ini menandai kembalinya Patrick setelah 13 tahun, di mana ia telah melalui banyak hal. Dalam percakapan yang mendalam, Wolf berbagi bagaimana pengalamannya menghadapi kehilangan dan mencari jati diri telah membentuk karya terbarunya. Musiknya seperti perjalanan, membawa pendengar merasakan gejolak emosi yang begitu nyata.
Menulis Lagu di Tengah Duka: Perjalanan Pribadi dalam Musik
"Limbo", yang digambarkan sebagai "summer gothic road trip of a song", adalah satu-satunya lagu dalam album ‘Crying The Neck" yang membahas hubungan romantis. Namun, Wolf mengungkapkan bahwa fokusnya bergeser ke "antisipasi kehilangan" dan "kesedihan dalam gerakan lambat", mencerminkan pengalaman pribadinya menghadapi diagnosis dan kepergian sang ibu.
Ia menjelaskan bagaimana album sebelumnya, ‘Lupercalia' (2011), adalah dedikasi untuk satu orang, sebuah gelembung romantis yang diciptakan oleh dua orang yang saling terobsesi. Setelah itu, Wolf merasa perlu untuk menjelajahi hal lain, sesuatu yang lebih mendalam dan relevan dengan perjalanan hidupnya.
Kolaborasi dan Inspirasi: Kehidupan Setelah "Lupercalia"
Akhirnya, Wolf mengambil kembali "narasi hubungan interpersonal" yang menjadi benang merah dalam seluruh karyanya, dimulai sejak ia berusia 19 tahun. Ia menggambarkan "Limbo" sebagai respons terhadap apa yang terjadi di akhir ‘Lupercalia', tentang dua kekasih yang kini berada dalam mobil, berdebat, dan membaca jeda dalam percakapan.
Inspirasi Wolf kali ini datang dari lingkungan sekitarnya, khususnya lanskap East Kentish dan cerita rakyatnya. Ia melakukan riset mendalam, mempelajari buku-buku cerita rakyat langka dan pamflet sejarah lokal. Fokusnya adalah menghidupkan kembali cerita yang hampir lenyap, menjadikannya elemen penting dalam lirik-liriknya.
"Limbo": Sebuah Duet yang Tak Terlupakan
Kolaborasi dengan Zola Jesus dalam "Limbo" menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Wolf sejak awal membayangkan lagu ini sebagai duet ala Lee Hazlewood dan Nancy Sinatra, percakapan yang saling menyela dan tak jarang tak terselesaikan.
"Saya membutuhkan seseorang yang bisa menandingi vibrasi dan kedalaman saya,” ujar Wolf. Hubungan mereka dimulai sebagai teman pena internet sebelum akhirnya bertemu. Zola adalah suara yang menemani Wolf dalam proses penyembuhan dan membangun kembali hubungannya dengan menulis, alam, dan kesehatan.
Era Baru: Kehidupan di Luar Sorotan
Selama masa "hiatus" musiknya, Wolf tetap aktif bermain viola untuk band Patti Smith. Meski begitu, ia merasa belum bisa menyelesaikan karya. Titik baliknya terjadi ketika ia berhenti minum alkohol, menjalani terapi, serta memulai hidup baru di luar London.
Perubahan ini termasuk berkebun, berenang di laut setiap hari, dan berlari. Ini juga termasuk belajar mengemudi di usia 40. Wolf menekankan bahwa kesempatan kedua ini memberinya waktu untuk mengejar hal-hal yang mungkin terlewatkan di usia yang lebih muda.
"Crying The Neck": Sebuah Album yang Terstruktur
Album "'Crying The Neck' merupakan bagian pertama dari proyek empat bagian". Wolf ingin menciptakan dunia yang ringkas dan terstruktur, seperti albumnya 'Wind In The Wires' (2005) dan
‘The Magic Position' (2007)`. Setiap album adalah "bio-dome" yang berisi dunianya sendiri.
Kembali ke Akar: Menghidupkan Kembali Masa Lalu
Dengan album ini, Wolf juga menghidupkan kembali materi yang sudah ditulisnya sejak usia 16 tahun, contohnya lagu yang terinspirasi dari ‘The Return Of The Native' karya Thomas Hardy. Ia menemukan benang merah yang indah, dan menggunakannya dalam menciptakan lagu yang menjadi pernyataan tentang perjalanan hidupnya.
Seni dan Craft: Kembali ke Akar Kreativitas
Wolf mengaku sangat menikmati proses pembuatan karya ini, dari membuat pakaian hingga membuat properti dan detail lainnya. Ia merasa kembali ke akar kreativitas membawa kebahagiaan tersendiri baginya.
Pertunjukan yang Penuh Kehidupan: Sebuah Dunia yang Diciptakan
Konser-konser Patrick Wolf akan menjadi pengalaman imersif yang terinspirasi dari cerita rakyat East Kent. Ia berkolaborasi dengan musisi berbakat, termasuk pemain akordion, pemain string, dan bahkan manajer turnya untuk menambahkan elemen ritme.
Memperbarui Karya Lama: Sentuhan Kontemporer
Wolf akan menyertakan lagu-lagu dari album ‘Wind in the Wires' dalam pertunjukannya karena tema bahari dan alamnya. Konsernya kini berdurasi dua jam, dimulai dengan musik rakyat, dan perlahan berubah menjadi pesta elektronik yang futuristik.
Bukan Bagian dari Sebuah "Scene": Keunikan Patrick Wolf
Wolf merasa tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari industri musik atau scene musik tertentu. Ia menyatakan bahwa dirinya merasa lebih nyaman sebagai "orang luar". Meskipun begitu, ia merasa dihargai oleh NME dan karya-karyanya tetap relevan.
Nostalgia: Jauh dari Ingatan "Indie Sleaze"
Wolf sangat menghindari nostalgia, terutama untuk era "indie sleaze" tahun 2000-an. Ia memilih untuk fokus pada masa depan dan melihat ke depan, mendorong semangat yang positif dan progresif.
Aspirasi: Fokus pada Karya, Bukan Ketertarikan Publik
Prioritas utama Wolf saat ini adalah menyelesaikan album berikutnya. Ia tidak terlalu memikirkan popularitas, tetapi lebih fokus pada kualitas karya. Ia berharap karyanya bisa dinikmati oleh audiens yang tepat.
Kesimpulannya, kembalinya Patrick Wolf menandai babak baru yang penuh semangat. Dengan ‘Crying The Neck' dan "Limbo", ia tidak hanya menawarkan musik, tetapi juga pengalaman yang mendalam dan otentik yang mencerminkan perjalanan hidupnya. Sebuah perjalanan yang diisi rasa sakit, kebahagiaan, dan harapan, yang patut kita nikmati bersama.