17 Februari 2025: Akhirnya, Medsos Bakal Ada KTP-nya?
Bayangin, lagi asyik scroll TikTok, tiba-tiba muncul notifikasi: "Verifikasi usia, KTP diperlukan." Kebayang kan, betapa absurdnya? Tapi, itulah yang mungkin terjadi di Indonesia. Sebuah survei terbaru mengungkap fakta menarik: mayoritas orang tua di Indonesia mendukung rencana pemerintah untuk membatasi usia pengguna media sosial.
"Mama Papa, Aku Gak Bisa Update Status!"
Survei yang dilakukan oleh perusahaan data global itu menunjukkan angka yang cukup fantastis. Sebanyak 84% orang tua dengan anak di bawah 18 tahun menyetujui ide ini. Wow, persentase yang bikin geleng-geleng kepala. Ternyata, ibu-ibu lebih antusias lagi, dengan 88% mendukung kebijakan ini, sementara bapak-bapak sedikit lebih kalem dengan 81%. Mungkin para ibu lebih sering "memata-matai" aktivitas anak-anaknya di dunia maya, ya?
Survei ini melibatkan 892 orang dewasa di atas 18 tahun yang punya anak. Mereka ditanya soal rencana pemerintah yang sedang mempertimbangkan aturan batasan usia pengguna media sosial, mirip dengan yang sudah diterapkan di Australia. Alasan utama dukungan ini cukup beragam namun ada benang merahnya, mulai dari paparan konten yang tidak pantas, kecanduan screen time, dampak buruk bagi kesehatan mental, hingga penyebaran informasi yang salah.
Namun, ada satu hal yang menarik. Meskipun mayoritas mendukung, hanya sekitar separuh responden yang yakin bahwa aturan ini akan efektif. Mungkin mereka mikir, "Ah, paling bocah-bocah pintar bikin akun palsu." Ditambah lagi, soal usia ideal untuk mulai bermedsos juga jadi perdebatan. Mayoritas (81%) sepakat usia 15-17 tahun, sementara sisanya (12%) memilih 12-14 tahun.
Konten Anak: Antara "Gemoy" dan "Ngeri-ngeri Sedap"
Pemerintah sepertinya serius menangani masalah ini. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, bahkan sudah membahas rencana ini dengan Presiden Prabowo Subianto. Mereka sedang menyusun regulasi yang akan menjadi dasar hukum perlindungan anak di dunia maya. Wah, sepertinya kita akan segera melihat "era baru" media sosial.
Keputusan ini muncul di tengah kekhawatiran tentang penyebaran hoax dan upaya pemerintah untuk memberantas judi online. Rencana ini juga mendapat dukungan dari para anggota parlemen dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kayaknya, semua orang sepakat, anak-anak perlu dilindungi dari bahaya dunia maya.
Tetapi, ada juga suara yang mengingatkan agar pemerintah tidak kebablasan. Komnas HAM mengingatkan agar hak anak atas informasi tetap terjaga. Sementara itu, KPAI menyarankan agar pemerintah juga meningkatkan literasi digital bagi anak-anak dan orang tua. Benar juga, sih. Jangan sampai aturan ini justru bikin anak-anak jadi gaptek.
"Digital Detox" Buat Generasi Micin?
Organisasi masyarakat sipil seperti SAFEnet bahkan meminta pemerintah untuk mengkaji rencana ini secara cermat. Mereka khawatir kebijakan ini justru bisa menimbulkan masalah baru. Namanya juga aturan, pasti ada pro dan kontranya. Mungkin tujuan awalnya baik, tapi dampaknya bisa jadi justru sebaliknya.
Jadi, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah kita akan melihat media sosial dengan pembatasan usia yang ketat? Atau, justru kita akan melihat generasi muda yang lebih "melek" digital dan mampu memfilter informasi dengan lebih baik? Mari kita tunggu dan lihat, ya. Yang jelas, perubahan ini akan berdampak besar, terutama bagi generasi Z dan milenial yang hidupnya sudah nyaris tak terpisahkan dari media sosial.
Bisa jadi, ini adalah langkah awal untuk "digital detox" massal, membimbing anak-anak ke dunia maya yang lebih aman, atau bahkan, mungkin saja, membuka peluang bisnis baru bagi para influencer yang "berani" membidik segmen usia yang lebih dewasa. Yang jelas, dunia digital kita akan segera berubah, dan kita semua harus siap menghadapinya. Siap-siap, ya!