Kamu pernah dengar istilah “netizen maha benar”? Nah, kisah ini sepertinya bakal bikin kita berpikir dua kali soal kekuatan dan kekacauan yang bisa dihasilkan internet. Baru-baru ini, nama Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), masuk nominasi “Tokoh Terkorup 2024” oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Tapi tunggu dulu, sebelum buru-buru pasang status di medsos, OCCRP sudah memberikan klarifikasi.
Klarifikasinya begini: mereka tidak memasukkan nama Jokowi secara langsung, melainkan menerima usulan dari netizen yang dikirim lewat email. Total ada lebih dari 55.000 kiriman, mencakup berbagai nama, mulai dari politisi terkenal hingga individu yang “belum terlalu terkenal”. Jokowi kebetulan termasuk di antara usulan tersebut, mungkin karena kritik terhadap kebijakannya selama dua periode.
OCCRP juga menambahkan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan Jokowi terlibat korupsi untuk keuntungan pribadi selama masa jabatannya. Namun, ada kelompok masyarakat sipil dan pakar yang mengkritik pemerintahannya karena dianggap melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan merusak institusi demokrasi. Mereka menyebut langkah-langkah ini dilakukan demi mendukung ambisi politik putranya, yang kini menjabat sebagai wakil presiden dalam pemerintahan Prabowo Subianto.
Apa yang bikin tambah panas? Meski nama Jokowi masuk nominasi, pemenang penghargaan Person of the Year malah jatuh pada Bashar al-Assad, presiden Suriah yang sama sekali tidak dinominasikan oleh netizen. Menurut OCCRP, al-Assad dipilih oleh enam juri mereka karena perannya dalam destabilisasi kawasan, korupsi besar-besaran, pelanggaran HAM serius, hingga pembunuhan massal.
Nah, balik ke Jokowi. Meski sudah diklarifikasi bahwa tidak ada tuduhan korupsi personal, masuknya nama beliau ke daftar ini tetap mengundang berbagai respons. Ada yang marah karena merasa ini penghinaan terhadap kepala negara. Ada juga yang justru melihat ini sebagai refleksi dari kritik masyarakat terhadap arah kebijakan Jokowi, terutama terkait isu hukum dan demokrasi.
Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari drama ini? Internet itu seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, dia bisa memberi ruang untuk partisipasi publik. Tapi di sisi lain, informasi bisa dengan mudah menjadi alat politik atau sekadar clickbait. Dalam kasus Jokowi, jelas bahwa ini bukan soal korupsi pribadi, tetapi lebih ke kritik atas kebijakan dan arah pemerintahan yang dianggap kontroversial.
Kesimpulannya? Sebelum heboh di Twitter atau bikin status panjang di Facebook, mari belajar membaca klarifikasi dan memahami konteks. OCCRP sudah menjelaskan posisinya, dan ini adalah momen untuk refleksi, bukan untuk menambah kekacauan.