Beberapa waktu lalu, media sosial X lumayan ramai dengan perdebatan klasik: Apakah menikah dan punya anak bisa dianggap sebagai pencapaian hidup? Sebagian setuju, sebagian lagi nggak. Seperti biasa, diskusi online nggak pernah berakhir simpel, selalu ada argumen yang bikin pusing. Tapi, justru di situ serunya!
Nah, sebelum lanjut, biar kita nggak salah kaprah, mari kita bahas dulu apa arti “pencapaian.” Pencapaian itu bisa diartikan sebagai hasil dari usaha keras dan perjuangan yang nggak main-main untuk mencapai sesuatu. Setuju, kan? Soalnya, kalau definisi ini aja udah beda, ya bakal susah ngerti diskusi setelah ini. Jadi, yuk samakan dulu pandangannya.
Ada satu kalimat yang sering muncul di diskusi ini: “Orang sering keliru, mengira harapan sebagai pencapaian.”
Oke, ini memang ada benarnya, tapi nggak sepenuhnya tepat. Harapan dan pencapaian itu sebenarnya saling berkaitan. Coba bayangin, kamu kerja keras setiap hari, lembur, ngerjain banyak proyek, dan semua itu kamu lakukan karena berharap dapat gaji atau bonus yang sesuai. Kalau nggak ada ekspektasi atau reward yang jelas di ujungnya, apa mungkin kamu bakal punya motivasi buat usaha sekeras itu? Nggak, kan? Jadi, pencapaian itu lahir dari harapan yang kemudian ditunjang dengan usaha. Harapan tanpa usaha adalah angan-angan, tapi usaha tanpa harapan juga nggak akan ada hasilnya.
“Menikah atau punya anak bukan pencapaian karena nggak ada yang dikalahkan.”
Argumen ini juga sering banget muncul. Ya, bener sih, menikah atau punya anak memang bukan kompetisi. Nggak ada yang harus dikalahkan dalam proses ini. Nggak ada yang lebih hebat hanya karena menikah duluan atau punya anak lebih cepat daripada yang lain. Pernah ngalamin nggak, digodain temen yang udah nikah duluan atau dapat sindiran dari keluarga gara-gara belum kasih cucu? Pasti bikin nggak nyaman, deh.
Tapi, menikah atau punya anak itu bukan perlombaan. Yang lebih cepat menikah atau lebih dulu punya anak nggak otomatis lebih sukses atau bahagia. Dan nggak ada salahnya kalau seseorang melihat pernikahan atau punya anak sebagai pencapaian pribadi. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, pencapaian itu tentang usaha dan reward, bukan soal siapa yang lebih cepat sampai di tujuan. Nggak ada pemenang di sini.
“Menikah atau punya anak itu cuma fase hidup.”
Nah, ini nih bagian yang agak subjektif. Buat sebagian orang, menikah atau punya anak mungkin cuma fase yang otomatis akan terjadi. Tapi, gimana dengan orang yang sudah bertahun-tahun berusaha menikah atau punya anak tapi masih belum berhasil? Apa yang buat sebagian orang terlihat mudah bisa jadi perjuangan hidup mati buat yang lain.
Ambil contoh, ada pasangan yang sudah menikah 10 tahun tapi belum juga dikaruniai anak meski sudah menjalani berbagai program kehamilan. Buat mereka, punya anak jelas adalah sebuah pencapaian besar. Hal yang dianggap fase hidup biasa oleh satu orang, bisa jadi perjuangan luar biasa bagi orang lain.
Ini mirip dengan analogi sederhana soal kerja keras. Bayangkan seorang pekerja yang tiap hari lembur dan bekerja keras demi mendapatkan bonus. Buat dia, bonus tersebut adalah pencapaian atas jerih payahnya. Tapi bagi orang yang mungkin mendapatkan bonus secara rutin tanpa usaha yang berarti, bonus itu hanya sekadar hal biasa. Poinnya? Pencapaian itu sangat personal, tergantung dari seberapa besar usaha dan nilai yang diberikan pada sesuatu.
“Punya anak bukan pencapaian, tapi membesarkan anak yang baik adalah pencapaian.”
Setuju banget! Membesarkan anak jadi orang baik itu jelas pencapaian besar. Tapi, kenapa harus memisahkan dua hal ini? Kita bisa punya banyak pencapaian dalam hidup. Setelah punya anak, tantangan berikutnya adalah membesarkan anak itu dengan penuh cinta dan tanggung jawab. Setiap tahap punya level pencapaian tersendiri, kan?
“Pencapaian hidup itu nggak objektif.”
Nah, ini dia poin pentingnya. Pencapaian itu subjektif banget. Apa yang jadi pencapaian besar buat satu orang mungkin nggak dianggap penting oleh orang lain. Misalnya, ada orang yang merasa karir adalah pencapaian paling berharga, sementara orang lain merasa pernikahan atau punya anak lebih bermakna. Nggak ada yang salah di situ.
Karena setiap orang punya cara pandang yang berbeda-beda, usaha yang dikeluarkan buat mencapai sesuatu juga berbeda. Inilah kenapa pencapaian nggak bisa diukur dengan standar yang sama. Uang bisa dihitung, tapi hal-hal kayak pernikahan atau punya anak? Itu tergantung dari bagaimana seseorang menilai hal tersebut.
Makanya, nggak bijak untuk menyepelekan orang yang melihat pernikahan atau punya anak sebagai pencapaian hidup mereka. Setiap orang punya ekspektasi, tantangan, dan jalan hidupnya masing-masing. Pencapaian bukan tentang siapa yang paling cepat sampai atau siapa yang lebih dulu berhasil, tapi soal bagaimana seseorang menilai dan menghargai usahanya sendiri. Yang penting adalah kita bisa tetap menghargai usaha dan pencapaian orang lain, tanpa harus membanding-bandingkan dengan diri sendiri.
Akhirnya, apa yang dianggap pencapaian oleh seseorang mungkin nggak penting buat orang lain, tapi itu nggak mengurangi nilainya sama sekali. Setiap perjuangan itu berarti. Jadi, apapun yang kita anggap sebagai pencapaian, tetaplah menghargai proses dan jangan lupa juga untuk menghormati pencapaian orang lain. Toh, hidup ini bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, tapi soal perjalanan dan pelajaran yang kita dapat sepanjang jalan.