Gelar Doktor Kontroversial: UI, Politik, dan Ironi Akademik
Berita tentang gelar doktor yang diraih oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, dari Universitas Indonesia (UI) ini, rasanya seperti drama Korea yang tak kunjung selesai. Plot twist terus bermunculan, membuat kita, sebagai penonton setia, merasa seperti sedang menyaksikan sinetron politik dengan bumbu akademik yang cukup pedas. Bagaimana tidak? Di tengah hiruk pikuk dunia politik yang seringkali penuh intrik, muncul isu pelanggaran standar akademik yang dilakukan oleh seorang pejabat tinggi negara. Ini bukan hanya soal gelar, tapi juga soal integritas, kredibilitas, dan tentu saja, citra universitas itu sendiri.
UI, sebagai lembaga pendidikan tinggi yang dihormati, kini sedang menghadapi dilema. Di satu sisi, mereka harus menegakkan aturan dan menjaga reputasi. Di sisi lain, mereka harus mempertimbangkan konsekuensi politik dari keputusan yang diambil. Ini seperti memilih antara menyelamatkan muka atau membela kebenaran, dan pilihan itu tidak selalu mudah. Kita semua tahu, di dunia politik, segalanya bisa menjadi abu-abu.
Doctor Shopping ala Menteri?
Mari kita mulai dengan fakta-fakta yang sudah terungkap. Dewan Guru Besar (DGB) UI, setelah melakukan penyelidikan sejak Oktober tahun lalu, menemukan bahwa Bahlil diduga melanggar beberapa standar akademik. Mulai dari penggunaan data tanpa izin hingga penyelesaian studi yang kurang dari empat semester – sesuatu yang sepertinya sudah menjadi rahasia umum di kalangan mahasiswa pascasarjana. Agak miris, ya, sekelas menteri pun masih kejar-kejaran dengan waktu.
Gelar doktor yang diperoleh Bahlil sebenarnya cukup cepat, yaitu kurang dari dua tahun. Sementara itu, banyak mahasiswa lain yang berjuang bertahun-tahun untuk menyelesaikan studi mereka. Hal tersebut bisa dibilang sebagai bentuk "keistimewaan" yang hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil orang. Mungkin ada yang berpikir: "Wah, hebat sekali, ya, bisa membagi waktu antara mengurus negara dan meraih gelar doktor." Tapi, benarkah cara instan selalu membawa hasil yang baik?"
Nah, dengan temuan-temuan ini, DGB pun merekomendasikan agar disertasi Bahlil dibatalkan. Namun, surprise, surprise, keputusan akhir tidak hanya berada di tangan DGB. Ada beberapa badan lain yang ikut campur dalam menentukan nasib gelar doktor ini. Ini seperti kompetisi sepak bola, di mana wasit hanya satu dari sekian banyak pihak yang memiliki suara.
UI: Antara Etika Akademik dan Politik
Persoalan ini juga diperparah dengan adanya campur tangan dari berbagai pihak. MWA, Senat Akademik, dan Rektorat – semua memiliki suara dalam menentukan keputusan akhir. Pertemuan demi pertemuan digelar, namun belum ada kesimpulan yang konkret. Kita bisa menebak, pasti ada negosiasi dan lobi-lobi di balik layar. Politik memang selalu punya cara untuk masuk ke dalam setiap aspek kehidupan, bahkan di dunia pendidikan sekalipun.
Ketua MWA yang juga menjabat sebagai Ketua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), bahkan sempat absen dalam salah satu pertemuan penting. Tentunya menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ada kepentingan lain yang sedang dipertimbangkan? Apakah ada tekanan dari pihak-pihak tertentu? Kita hanya bisa berspekulasi, sambil menunggu keputusan akhir dari UI.
Standar Ganda dalam Dunia Akademik?
Kasus ini juga membuka mata kita tentang kemungkinan adanya standar ganda dalam dunia akademik. Apakah standar yang sama berlaku untuk semua orang, tanpa memandang jabatan atau status sosial? Atau, apakah ada "perlakuan khusus" bagi mereka yang memiliki pengaruh dan kekuasaan? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja menggelitik rasa keadilan kita.
Tentu saja, kita tidak boleh menuduh tanpa bukti. Namun, fakta bahwa kasus ini muncul dan menjadi sorotan publik adalah tanda bahwa ada hal yang perlu diperbaiki dalam sistem pendidikan kita. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi landasan utama dalam setiap proses akademik.
Akhir yang Belum Pasti
Sampai saat ini, nasib gelar doktor Bahlil masih belum jelas. UI masih terus melakukan pertemuan dan konsultasi. Namun, satu hal yang pasti, kasus ini telah memberikan dampak yang signifikan terhadap citra universitas dan kepercayaan publik. Semoga UI bisa mengambil keputusan yang bijak dan berani, demi menjaga marwah pendidikan tinggi di Indonesia.
Kita tunggu saja akhir dari drama akademik ini. Semoga keputusan yang diambil nanti bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa integritas dan kejujuran adalah hal yang paling utama dalam segala hal.