Dark Mode Light Mode

Micky Dolenz Ungkap Kegilaan The Monkees: Bukan Boyband!

Micky Dolenz, seorang mantan bintang cilik yang kini berusia 80 tahun, masih aktif berbicara tentang The Monkees, grup musik yang "lahir" dari televisi. Siapa sangka, peran Micky sebagai drummer "wacky" ternyata masih relevan setelah hampir enam dekade? Bagaimana bisa sebuah acara TV tentang empat ‘anak band' yang dibuat-buat justru menjadi fenomena budaya pop yang abadi? Mari kita selami kisah menarik ini!

Awal Mula: "The Monkees" dan Lahirnya Sebuah Fenomena

Semuanya bermula pada tahun 1965. Kala itu, industri hiburan sedang mencari sosok baru, terinspirasi dari kesuksesan The Beatles dan gelombang British Invasion. Produser mulai mencari talenta muda dengan kriteria "band anak muda" untuk acara TV baru. Beberapa proyek gagal terealisasi, namun akhirnya, "The Monkees" lahir.

Micky Dolenz, seorang mahasiswa arsitektur yang juga seorang aktor pendatang baru, mendapatkan peran utama. Ia harus belajar bermain drum, sebuah tantangan baru yang dengan senang hati ia terima. Acara TV "The Monkees" ternyata sukses besar, berhasil menyedot perhatian anak muda dan dompet mereka. Kesuksesan itu terasa begitu cepat, seperti meteor yang melintas di langit malam.

Dalam waktu singkat, popularitas The Monkees meroket. Micky merasakan bagaimana rasanya menjadi pusat perhatian, bahkan di pusat perbelanjaan dekat rumah orang tuanya. Namun, di balik semua itu, ada realita yang cukup unik: mereka adalah aktor yang berpura-pura menjadi band.

Di Balik Layar: Antara Akting dan Musik

Awalnya, hampir semua aspek musik The Monkees, kecuali vokal, dikerjakan oleh musisi sesi profesional. Album pertama mereka, "The Monkees", bahkan belum mereka dengar sebelum muncul di toko-toko. Sebuah situasi yang cukup aneh, bukan?

Dolenz sendiri mengakui ini sebagai pengalaman yang unik. Ia berusaha memisahkan antara persona di televisi dan dirinya sendiri, sebuah strategi penting untuk bertahan. Siapa sangka, Micky, sang drummer kocak di TV, dicintai banyak gadis, bukan Micky Dolenz yang biasa? Mungkin, inilah rahasia panjang umurnya di dunia hiburan.

Ironisnya, acara TV mereka dihentikan pada tahun 1968, hits mereka pun ikut meredup di sekitar waktu yang sama. Namun, The Monkees berhasil bertahan lebih lama dari yang diperkirakan. Tayangan ulang di berbagai saluran TV, konser reuni, dan berbagai proyek lain membuktikan bahwa "The Monkees" memiliki daya tarik tersendiri.

Lebih dari Sekadar Band: Menjelajahi Tema Klasik

Kenapa acara TV ini bisa begitu bertahan? Mungkin karena musiknya sendiri sangat bagus, lagu-lagu seperti "I'm a Believer" dan "Daydream Believer" menjadi contoh keindahan penulisan lagu. Namun, Dolenz memiliki pandangan lain. Menurutnya, tema yang diangkat dalam "The Monkees" adalah tema klasik: perjuangan meraih sukses, impian, dan kegagalan.

Dolenz bahkan tidak setuju jika "The Monkees" hanya dianggap sebagai "boyband buatan". Ia lebih melihatnya sebagai sebuah acara komedi ala Marx Brothers yang dikemas dalam format musikal. Humor dalam acara tersebut tidak bersifat lokal atau satir, sehingga tetap relevan dari waktu ke waktu.

Perjuangan, Kreativitas, dan Warisan

Tentu saja, tidak semua anggota The Monkees merasakan hal yang sama. Mike Nesmith, salah satu anggota, pernah merasa frustrasi karena tidak memiliki kebebasan kreatif dalam bermusik. Ia akhirnya membuat lagu sendiri yang kemudian dipopulerkan oleh penyanyi lain, Linda Ronstadt.

Namun, bagi Dolenz, pengalaman itu justru membawanya ke hal-hal menarik. Ia bergaul dengan The Beatles, sempat diajak Frank Zappa untuk menjadi drummer-nya (namun tidak jadi karena masalah label rekaman!), dan menjelajahi dunia musik dengan caranya sendiri.

Dolenz kemudian menulis lagu-lagu sendiri, seperti lagu hit "Randy Scouse Git", dan menjadi pelopor penggunaan synthesizer Moog. Ia juga merasa sangat bahagia saat merekam album "Headquarters", di mana akhirnya mereka diperbolehkan untuk lebih berkontribusi. Inilah momen saat Pinocchio menjadi manusia sungguhan!

"Head": Film yang Melampaui Zaman

Keputusan untuk mengakhiri acara TV, menurut Dolenz, sudah dari dulu direncanakan. Mereka ingin mencoba sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih artistik. Maka, lahirlah film "Head", dengan naskah yang ditulis oleh Jack Nicholson. Sebuah film yang melampaui pakem Hollywood pada masanya.

Film ini bisa dibilang sebagai sebuah eksperimen seni dengan banyak elemen surealis. Walaupun tidak sukses secara komersial saat itu, "Head" kini menjadi film kultus, dihargai oleh banyak sineas terkenal. Dolenz melihat bahwa film ini adalah tentang kebebasan berekspresi dan mengubah aturan industri hiburan.

Warisan Sepanjang Masa dan Masa Kini

Setelah karier The Monkees meredup, Dolenz beralih menjadi produser dan sutradara di Inggris, sukses menggarap acara anak-anak, "Metal Mickey". Ia juga aktif dalam berbagai reuni The Monkees dan masih sesekali tampil membawakan lagu-lagu mereka.

Dolenz tampaknya sangat nyaman dengan warisan The Monkees. Ia merasa bangga karena mereka menjadi pelopor, sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka adalah sekumpulan anak muda berambut panjang yang tampil di televisi, suatu hal yang cukup revolusioner di era tersebut.

Kesimpulannya, The Monkees lebih dari sekadar band; mereka adalah sebuah fenomena budaya yang kompleks. Kisah mereka adalah perpaduan antara akting, musik, perjuangan, dan kreativitas yang berani. Dalam narasi tersebut, Dolenz adalah saksi hidup, seorang musisi yang berhasil menemukan jati diri di tengah dunia hiburan yang kerap kali membingungkan. Mempertahankan kebenaran diri, sepertinya, adalah kunci keberhasilan.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Gmail forges ahead: 3 billion users now face Indonesian language choice

Next Post

Mahasiswa Indonesia Pimpin Demonstrasi Nasional Tolak UU Kontroversial Militer