“Waduh, Jadi Beneran Balik ke Orde Baru?" Analisis Singkat Isu Otoritarianisme di Era Sekarang
Pernah gak sih, lagi asik scroll sosmed, eh tiba-tiba muncul pembahasan soal otoritarianisme? Rasanya kayak lagi nonton film horor, tapi setting-nya Indonesia. Menteri HAM kita, Bapak Natalius Pigai, baru-baru ini bikin pernyataan yang cukup… menarik. Beliau menepis kekhawatiran publik tentang kemungkinan kembalinya gaya pemerintahan ala Orde Baru. Katanya sih, semua itu cuma "khayalan" dan "tuduhan tak berdasar". Eits, tapi beneran gak sih? Mari kita bedah!
Mungkin banyak yang ngerasa, kok, isu ini tiba-tiba mencuat lagi? Ya, namanya juga sejarah, kadang suka berulang, tapi dengan versi yang sedikit berbeda. Isu ini muncul di tengah maraknya demonstrasi publik belakangan ini, yang kedua kalinya dalam beberapa bulan pemerintahan Prabowo. Demonstrasi ini sendiri dipicu oleh berbagai hal mulai soal ekonomi, bahkan rencana perluasan peran militer dalam kehidupan sipil.
Pemerintah sendiri menganggap kekhawatiran ini sebagai sesuatu yang berlebihan dan hanya berdasarkan pada "memoria passionis," alias fiksasi psikologis pada penderitaan masa lalu. Mungkin maksudnya, kita terlalu fokus sama trauma sejarah, jadi gampang curigaan. Media dan analisis pun ikut-ikutan dituduh melebih-lebihkan suasana, menciptakan gambaran suram tentang pemerintah yang semakin mirip militer.
Pak Menteri juga dengan tegas membantah anggapan bahwa pemerintahan sekarang mirip dengan rezim Soeharto. Malah, beliau bilang Indonesia lagi mengalami "kelebihan demokrasi." Wah, ini sih kayak lagi dengerin argumen dari dua orang yang beda planet, ya? Padahal, kalau kita lihat, ada banyak isu yang bikin masyarakat khawatir. Kenaikan harga kebutuhan pokok, pengangguran, dan kasus korupsi yang gak kelar-kelar.
Kalau kata Bapak Menteri, bukti "kelebihan demokrasi" ini bisa dilihat dari kemenangan oposisi di beberapa Pilkada, termasuk di Jakarta. Beliau juga mengklaim pemerintah mau berdialog dengan demonstran, bahkan pada demo "Indonesia Gelap". Tapi, ada satu hal yang kayaknya sengaja dilewatkan: rencana Menteri Pertahanan untuk memperbanyak posisi di pemerintahan yang boleh diisi oleh personel militer aktif. Hmm…
Sebelum jadi menteri, Bapak Pigai ini katanya pernah digadang-gadang sebagai sosok yang "sering dipanggil" Presiden Prabowo. Mungkin karena rekam jejaknya sebagai aktivis HAM dari Papua, ya? Beliau juga membela Presiden Prabowo ketika ada mantan menteri yang bilang Prabowo "alergi" terhadap demonstrasi. Politik emang gitu, ya, serba dinamis.
Tapi, nih, kinerja awal Bapak Pigai sebagai menteri juga gak luput dari kritik. Bahkan, ada anggota dewan yang bilang kinerjanya "kurang greget," apalagi kalau dibandingkan dengan tuntutannya untuk anggaran yang lebih besar. Mungkin, dana yang besar belum tentu bisa menjamin kinerja yang optimal, ya. Jangan-jangan, ini juga yang bikin publik makin curiga.
Demonstrasi: Cermin Keraguan Publik
Demo yang terjadi belakangan ini bukan cuma soal keresahan masyarakat aja, tapi juga bentuk kekhawatiran pada berbagai kebijakan. Ada yang protes soal kenaikan harga kebutuhan pokok, ada yang khawatir soal pengangguran, dan ada juga yang gelisah karena isu korupsi yang seakan gak ada habisnya. Semua ini jadi pemicu utama yang membuat masyarakat turun ke jalan menyampaikan aspirasinya. Apakah pemerintah benar-benar mendengarkan?
Amnesty International, melalui sekretaris jenderalnya, Agnes Callamard, bahkan sampai bilang kalau pemerintah kita ini "gampang tersinggung" dan "tidak memahami batasan kekuasaan eksekutif". Serem, sih, dengernya. Menurut beliau, otoritarianisme di Indonesia sekarang ini lebih fokus pada "peningkatan militerisasi" dan "penargetan komunitas adat" di sekitaran proyek tambang yang menggiurkan.
Selama kunjungannya ke Indonesia, Ibu Callamard juga sudah bertemu dengan pejabat eksekutif dan yudikatif. Mengangkat isu terkait penanganan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum selesai, yang menurutnya, "meracuni masa kini". Ini jelas menunjukkan kalau masalah HAM itu gak cuma cerita masa lalu, tapi juga punya dampak langsung ke masa sekarang.
Militarisme: Ancaman atau Peluang?
Rencana untuk memperluas peran militer dalam kehidupan sipil ini yang paling bikin khawatir. Kalau personel militer aktif semakin banyak masuk ke ranah pemerintahan, apa bedanya sama Orde Baru, ya? Dulu, kan, militer juga punya peran besar dalam pemerintahan. Apakah ini cuma kekhawatiran berlebihan atau memang ada sesuatu yang perlu kita waspadai? Pertanyaan yang sulit dijawab.
Namun, pihak pemerintah berpendapat bahwa hal ini wajar demi menjaga stabilitas dan keamanan negara. Katanya, personel militer punya disiplin dan kemampuan yang dibutuhkan untuk mengisi beberapa posisi penting di pemerintahan. Tapi, apa iya segampang itu?
Tentu saja, pandangan ini menimbulkan pro dan kontra. Beberapa pihak mendukung, karena merasa militer bisa lebih efektif dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Sementara pihak lain khawatir, karena khawatir akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan pelemahan demokrasi. Pusing, kan, pilihannya?
HAM: Antara Janji dan Kenyataan
Isu HAM ini memang jadi salah satu perhatian utama dalam diskusi soal otoritarianisme. Kalau pemerintah makin otoriter, biasanya HAM jadi korban pertama. Kebebasan berpendapat dibatasi, demonstrasi dilarang, dan tindakan represif terhadap masyarakat sipil jadi lebih sering terjadi. Jangan sampai hal ini terjadi di negara kita.
Di sisi lain, pemerintah juga sering menekankan komitmennya terhadap HAM. Tapi, janji tinggal janji kalau kenyataannya berbeda. Kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum terselesaikan, perlakuan terhadap masyarakat adat, dan kriminalisasi terhadap aktivis HAM adalah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa perjuangan HAM di Indonesia masih panjang.
Kesimpulan: Waspada Bukan Berarti Paranoid
Jadi, gimana dong, kita harus menyikapi isu ini? Ya, tetap waspada, tapi jangan paranoid. Kita perlu mengkritisi kebijakan pemerintah, mengawal proses demokrasi, dan terus menyuarakan aspirasi kita. Jangan sampai sejarah kelam Orde Baru terulang kembali. Kita kan udah pernah merasakan, gak enak, cuy!
Pada intinya, demokrasi itu bukan cuma soal pemilihan umum, tapi juga soal bagaimana pemerintah memperlakukan rakyatnya, soal bagaimana hak-hak kita dilindungi, dan bagaimana kita bisa berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Tetap kritis, tetap peduli, dan jangan pernah berhenti menyuarakan kebenaran. Merdeka!