Pernah bertanya-tanya kenapa konten sensual begitu mudah viral? Buka TikTok atau media sosial lainnya, dan tidak sulit menemukan konten yang sengaja menonjolkan sisi sensualitas. Penonton melimpah, komentar ramai (meski jarang edukatif), dan angka pengikut melonjak drastis. Tapi, fenomena ini bukan sekadar tren, melainkan cerminan dari dinamika sosial, budaya, hingga kapitalisme di era digital.
Media Sosial dan Otak Kita yang Lapar Dopamin
Gini, ya. Otak kita tuh makhluk visual. Daya tarik fisik selalu punya tempat khusus dalam sejarah manusia. Dari dulu, tampilan fisik sering dianggap simbol kesehatan dan kelangsungan hidup. Nah, media sosial cuma “meng-upgrade” konsep ini ke level baru.
Konten sensual itu singkat, mudah dicerna, dan bikin otak kita bahagia seketika. Dopamin langsung mengalir deras, bikin kita ketagihan. Dan TikTok tahu ini! Algoritmanya dirancang untuk mempromosikan konten dengan interaksi tinggi. Kalau sudah viral, algoritma makin memaksa konten serupa terus muncul di layar kita.
Kenapa Banyak Perempuan Bikin Konten Sensual?
Jawabannya nggak sesederhana “biar terkenal.” Ada banyak alasan kenapa perempuan memilih menampilkan sisi sensual di media sosial:
- Ekspresi Diri: Banyak yang merasa percaya diri dengan tubuh mereka dan ingin merayakannya.
- Peluang Populer dan Finansial: Mari realistis, konten sensual lebih cepat mendatangkan pengikut. Followers banyak? Endorse-an pun berdatangan.
- Kendali atas Citra Diri: Di dunia patriarki, tubuh perempuan sering dijadikan objek. Tapi lewat media sosial, perempuan bisa mengambil kendali dan menentukan bagaimana mereka ingin dilihat.
Namun, ini bukan tanpa risiko. Popularitas bisa membawa tekanan untuk terus menampilkan sesuatu yang lebih provokatif demi relevansi.
TikTok, Budaya Pop, dan Kapitalisme
Konten sensual di TikTok bukan muncul begitu saja. Ini bagian dari budaya pop dan kapitalisme yang menyatakan “seks selalu laku.”
Lihat saja iklan, musik, atau film. Figur dengan daya tarik seksual selalu dielu-elukan. TikTok cuma memperpanjang tren ini dengan format video pendek yang memudahkan kreator untuk ikut arus. Dan, ya, kapitalisme senang dengan konten seperti ini karena… lebih banyak penonton = lebih banyak uang.
Bahaya untuk Anak-anak
Sayangnya, TikTok itu platform yang isinya nggak cuma orang dewasa. Anak-anak pun ikut menonton (atau bahkan bikin konten sensual sendiri). Data dari Kemenkes di tahun 2017 menunjukkan, 94% siswa pernah mengakses konten pornografi, dan sebagian besar melalui media sosial. Dampaknya? Banyak yang belum dewasa secara emosional, tapi sudah terpapar konten dewasa.
Kok Konten Sensual Mudah Viral?
Ini karena gabungan dari beberapa faktor:
- Psikologi Adaptasi: Otak kita suka sesuatu yang cepat dan instan. Konten sensual memenuhi kebutuhan itu.
- Fear of Missing Out (FOMO): Konten sensual sering dikaitkan dengan tren. Orang merasa harus ikut menonton biar nggak ketinggalan.
- Algoritma Media Sosial: Algoritma TikTok secara otomatis memprioritaskan konten yang memicu interaksi tinggi, dan konten sensual biasanya juaranya.
Standar Ganda dan Isu Gender
Tapi ada satu hal yang bikin fenomena ini agak bikin kesel: standar ganda. Perempuan yang bikin konten sensual sering dapat stigma lebih besar dibanding laki-laki. Di TikTok, perempuan lebih sering dikomentari soal penampilan fisik mereka daripada isi kontennya.
Menurut teori male gaze (pandangan laki-laki) dari Laura Mulvey, media sering menggambarkan perempuan sebagai objek untuk dilihat, bukan aktor utama. Ini juga terasa di TikTok, di mana komentar soal tubuh perempuan lebih dominan daripada apresiasi atas karya mereka.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Fenomena ini nggak akan hilang dalam waktu dekat. Selama ada permintaan, konten sensual akan terus ada. Tapi, kita bisa mulai dari diri sendiri: lebih kritis terhadap apa yang kita konsumsi dan bagikan. Media sosial seharusnya jadi tempat berekspresi, bukan jebakan algoritma yang bikin kita terpaksa ikut tren demi relevansi.
Dan ingat, meskipun tren ini punya sisi negatif, penting juga untuk tidak menghakimi kreator yang memilih jalannya sendiri. Karena di balik video berdurasi pendek itu, ada dinamika sosial, ekonomi, dan psikologis yang rumit.