Ketika Mahasiswa Turun Gunung: Mengapa Kebijakan ‘Irritasi' Pemerintah Jadi Pemicu?
Mungkin kamu pernah dengar, atau bahkan ikut, aksi unjuk rasa mahasiswa yang lagi ramai belakangan ini. Mereka, para pejuang kampus yang (katanya) punya idealisme tinggi, turun ke jalan bukan cuma buat cari keringet atau nebeng eksis di medsos. Ada sesuatu yang bikin mereka gregetan sampai harus rela berpanas-panasan di bawah terik matahari. Pemicunya? Beberapa kebijakan pemerintah yang dianggap ‘too much' dan bikin kantong mahasiswa makin tipis.
Aksi yang diberi nama "Indonesia Gelap" ini bukan cuma iseng-iseng berhadiah. Mereka punya tuntutan jelas, bukan sekadar ngoceh tanpa arah. Salah satunya, pencabutan keputusan presiden yang mewajibkan pemotongan anggaran hingga ratusan triliun rupiah. Uang sebanyak itu rencananya mau dialihkan untuk program makan siang gratis dan pembentukan dana kekayaan negara. Kedengarannya sih bagus, tapi apakah ini solusi paling tepat?
Potong Anggaran: Solusi Cerdas atau Ujung-ujungnya Nombok?
Pemerintah beralasan, pemotongan anggaran ini adalah langkah efisiensi untuk mengelola keuangan negara. Tapi, benarkah demikian? Atau, jangan-jangan, ini cuma cara pintas untuk menambal lubang anggaran yang makin menganga? Pertanyaan ini wajar muncul, mengingat track record pengelolaan keuangan negara yang seringkali bikin geleng-geleng kepala.
Pemotongan anggaran memang bisa terdengar bagus di atas kertas. Tapi, dampaknya bisa luas dan tidak selalu positif. Bisa jadi, anggaran untuk pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur terpaksa dikurangi. Ujung-ujungnya, yang kena getahnya adalah rakyat kecil, termasuk mahasiswa yang (katanya) calon pemimpin bangsa.
Selain pemotongan anggaran, para mahasiswa juga menuntut evaluasi terhadap program makan siang gratis. Mereka mempertanyakan efektivitas dan transparansi program tersebut. Jangan sampai, program yang niatnya baik ini justru menjadi ajang ‘cuci tangan' dan memperkaya segelintir orang. Miris, tapi itulah realitanya.
Militer Masuk Area Sipil: Ketika Kekuasaan Terlalu Berlebihan?
Tuntutan lain yang disuarakan mahasiswa adalah pengurangan keterlibatan militer dalam urusan sipil. Ini isu yang cukup sensitif. Ketika militer terlalu sering ikut campur dalam ranah yang bukan kewenangannya, ada potensi penyalahgunaan kekuasaan dan hilangnya kebebasan sipil. Ingat, demokrasi bukan cuma soal memilih pemimpin, tapi juga soal menjaga keseimbangan kekuasaan.
Mahasiswa juga menyuarakan oposisi terhadap pengaruh mantan presiden dalam pemerintahan saat ini. Ini adalah bentuk kritik terhadap praktik politik yang dianggap kurang sehat dan mengancam prinsip demokrasi. Mereka ingin memastikan bahwa kebijakan pemerintah dibuat berdasarkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan segelintir elite politik.
‘Drama' Demo: Antara Aspirasi dan Bentrokan
Unjuk rasa seringkali diwarnai dengan dinamika yang unik. Ada yang berjalan damai, ada pula yang berakhir ricuh. Di beberapa daerah, aksi demonstrasi malah berubah jadi ajang pelemparan batu dan bom molotov. Polisi pun tak tinggal diam, gas air mata dan water cannon jadi senjata andalan untuk membubarkan massa. Ironisnya, kekerasan seringkali jadi bahasa yang paling mudah dipahami.
Kericuhan ini tentu saja harus dihindari. Aspirasi mahasiswa harus didengar, bukan dibungkam dengan kekerasan. Pemerintah dan aparat keamanan harus lebih bijak dalam menghadapi demonstrasi. Jangan sampai, niat baik mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi justru berujung pada tindakan represif.
Masa Depan di Tangan Mahasiswa?
Gerakan mahasiswa kali ini adalah cerminan dari ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah. Mereka menyuarakan harapan dan cita-cita tentang masa depan bangsa yang lebih baik. Suara-suara ini penting untuk didengar dan diperhatikan, karena merekalah calon pemimpin yang akan menentukan arah bangsa ini.
Demo mahasiswa bukan cuma sekadar aksi, tapi juga bentuk pendidikan politik yang sangat berharga. Mereka belajar menyampaikan pendapat, berorganisasi, dan memperjuangkan apa yang mereka yakini. Pengalaman ini akan membentuk mereka menjadi warga negara yang kritis dan bertanggung jawab.
Pemerintah harus melihat aksi ini sebagai alarm peringatan, bukan sebagai ancaman. Mereka harus membuka diri terhadap kritik dan masukan dari mahasiswa. Dialog yang konstruktif adalah kunci untuk menemukan solusi yang tepat dan menjaga stabilitas negara.
Mahasiswa, jangan pernah berhenti menyuarakan kebenaran, menyampaikan aspirasi, dan berjuang untuk masa depan yang lebih baik. Ingat, kalian adalah agen perubahan.