Dark Mode Light Mode

Laser Mini di Chip Silikon Siap Merevolusi Dunia Komputasi

Sejak kemunculannya, chip silikon memang sudah mengubah peta permainan komunikasi global, menjadi fondasi utama teknologi yang kita nikmati sehari-hari untuk memindahkan informasi keliling dunia. Namun, seperti tren fashion yang terus berganti, cara kerja chip ini juga mengalami evolusi signifikan, tidak lagi melulu soal elektron yang berlarian kesana-kemari.

Awalnya, para ahli fokus memoles perangkat kerasnya agar bisa bekerja seefisien mungkin, ibarat upgrade mesin mobil biar makin ngacir. Chip menjadi lebih kecil, lebih cepat, dan lebih hemat daya. Inovasi demi inovasi membuat perangkat elektronik kita semakin canggih, dari komputer mainframe sebesar lemari hingga smartphone yang muat di saku celana.

Namun belakangan ini, arah angin mulai berubah. Para peneliti mulai melirik kandidat baru untuk menggantikan peran elektron sebagai pembawa informasi: foton, alias partikel cahaya itu sendiri. Yup, cahaya kini tidak hanya untuk menerangi ruangan gelap atau jadi background foto estetik, tapi juga menjadi inti dari teknologi chip generasi berikutnya.

Konsep inilah yang melahirkan silikon fotonik, sebuah bidang teknologi yang menggabungkan keunggulan fabrikasi silikon dengan kecepatan dan efisiensi cahaya. Bayangkan saja, informasi melesat secepat kilat di dalam chip menggunakan jalur cahaya, bukan lagi arus listrik yang kadang suka ngos-ngosan.

Popularitas silikon fotonik meroket karena menawarkan banyak keunggulan dibandingkan chip semikonduktor tradisional berbasis elektron. Foton membawa informasi lebih cepat, memiliki kapasitas data lebih besar, dan mengalami kehilangan energi yang lebih rendah selama perjalanan. Ibaratnya, beralih dari sepeda ke mobil sport untuk urusan pengiriman data.

Teknologi ini memiliki aplikasi bernilai tinggi, terutama di pusat data (data center) yang butuh transfer data super cepat dan efisien energi, serta dalam pengembangan sensor-sensor canggih. Potensinya bahkan merambah hingga ke ranah komputasi kuantum, membuka pintu menuju era komputasi yang jauh lebih powerful.

Meskipun begitu, menggunakan foton bukannya tanpa tantangan. Memakai foton ibarat punya mobil super cepat, tapi kita masih bingung bagaimana cara menyalakan mesinnya dengan efisien di dalam platform yang sudah ada. Mengintegrasikan sumber cahaya, yaitu laser, ke dalam chip silikon menjadi PR besar bagi para ilmuwan dan insinyur.

Tantangan Terbesar: Menyatukan Laser dan Silikon

Saat ini, solusi paling umum adalah dengan "menempelkan" sumber laser eksternal ke chip silikon. Metode ini, meskipun berfungsi, ibarat kawin paksa; perangkat yang dihasilkan bekerja lebih lambat karena adanya ketidakcocokan kecil akibat proses manufaktur yang terpisah. Selain itu, memproduksi dan menempelkan laser secara terpisah jelas membuat biaya produksi membengkak.

Ketidakcocokan ini muncul karena material pembuat laser (biasanya bukan silikon) dan silikon punya "bahasa" atom yang berbeda. Ketika dipaksa bersatu, sering terjadi miss komunikasi di level atomik yang mengurangi performa keseluruhan. Inilah mengapa para peneliti terus mencari cara agar laser bisa "lahir" langsung di atas chip silikon.

Baru-baru ini, secercah harapan muncul dari sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Nature. Tim ilmuwan dari Amerika Serikat dan Eropa melaporkan bahwa mereka berhasil menciptakan laser mini pertama yang dibuat langsung di atas wafer silikon. Ini bukan sekadar upgrade kecil, tapi lompatan besar dalam dunia silikon fotonik.

Mereka berhasil "menumbuhkan" laser langsung di atas chip silikon menggunakan proses yang lebih skalabel dan kompatibel dengan lini manufaktur Complementary Metal-Oxide-Semiconductor (CMOS) standar industri. Artinya, teknik baru ini berpotensi diadopsi industri tanpa perlu merombak total fasilitas produksi yang sudah ada. Good news!

Mengapa Silikon Malas Bikin Cahaya?

Untuk memahami signifikansi penemuan ini, mari kita bedah sedikit cara kerja chip fotonik dan laser. Secara umum, chip fotonik punya empat komponen utama: sumber cahaya (laser), waveguides (jalur foton), modulator (pengkode informasi ke cahaya), dan fotodetektor (pengubah cahaya jadi sinyal listrik). Bagian tersulit adalah membuat sumber lasernya menyatu dengan silikon.

Laser, singkatan dari Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation, pada dasarnya bekerja dengan memperkuat cahaya melalui proses emisi terstimulasi. Sederhananya, elektron "ditendang" oleh foton untuk turun level energi, lalu melepaskan foton lain yang identik. Proses berulang ini menghasilkan berkas cahaya koheren yang kita kenal sebagai laser.

Masalahnya, silikon murni itu payah dalam memancarkan cahaya karena memiliki indirect bandgap. Artinya, elektron di silikon butuh "bantuan" partikel lain untuk bisa turun level energi sambil melepas foton, membuatnya tidak efisien sebagai sumber cahaya. Itulah mengapa kebanyakan laser menggunakan material semikonduktor lain seperti Gallium Arsenide (GaAs) yang punya direct bandgap, memungkinkan elektron langsung melepas foton dengan efisien.

Namun, mengintegrasikan Gallium Arsenide ke silikon itu tricky. Perbedaan susunan atom antara kedua material ini seperti mencoba menyatukan dua potongan puzzle dari set yang berbeda. Saat GaAs ditumbuhkan di atas silikon, ketidakcocokan struktur kristal ini menyebabkan cacat (defect) yang mengganggu aliran elektron, membuatnya malah menghasilkan panas alih-alih cahaya, sehingga laser jadi kurang efisien.

‘Parit Ajaib' sebagai Solusi Cerdas

Di sinilah kecerdasan para peneliti berperan. Mengacu pada ide dari studi tahun 2007, mereka menemukan bahwa jika Gallium Arsenide didepositkan di dasar "parit" sempit dan dalam yang dikelilingi material isolator (seperti silikon dioksida), cacat kristal tersebut bisa "terjebak" di dasar parit. Cacat ini jadi tidak bisa mengganggu pembentukan kristal GaAs berkualitas tinggi di atasnya. Smart, right?

Tim peneliti mengukir parit-parit berukuran nanometer pada wafer silikon standar industri (diameter 300 mm), melapisinya dengan silikon dioksida, lalu menumbuhkan kristal Gallium Arsenide bebas cacat di atasnya. Di atas lapisan GaAs ini, mereka menambahkan lapisan tipis Indium Gallium Arsenide (InGaAs) – material yang dioptimalkan untuk emisi cahaya – yang berfungsi sebagai jantung lasernya. Seluruh struktur ini kemudian dilindungi lapisan Indium Gallium Phosphide.

Hasilnya? Mereka berhasil menanamkan 300 laser fungsional pada satu wafer silikon 300 mm. Ukuran wafer 300 mm ini penting karena merupakan standar industri, memudahkan integrasi ke proses manufaktur yang ada. Laser ini menghasilkan cahaya dengan panjang gelombang 1.020 nm, cocok untuk transmisi jarak pendek antar chip komputer, dan hanya butuh arus sekitar 5 mA untuk menyala – setara LED pada mouse komputer!

Masa Depan Komputasi: Lebih Ngebut, Lebih Hemat?

Laser ini mampu beroperasi terus menerus selama 500 jam pada suhu ruangan (25°C), sebuah pencapaian yang menjanjikan. Meskipun efisiensinya menurun pada suhu 55°C dan masih ada tantangan untuk mencapai stabilitas suhu tinggi seperti riset lain (yang mencapai 120°C), ini adalah langkah signifikan. Chip fotonik ini adalah demonstrasi pertama laser dioda monolitik (menyatu sepenuhnya) pada wafer silikon sebesar ini.

Penemuan ini membuka jalan untuk peningkatan substansial dalam kinerja komputasi dan pengurangan konsumsi energi, terutama di data center yang rakus daya. Dengan proses yang lebih skalabel dan berpotensi lebih murah, teknologi chip fotonik dengan laser terintegrasi siap membawa kita ke era komputasi yang lebih cepat, lebih efisien, dan mungkin… sedikit lebih keren karena pakai cahaya. Ini adalah bukti nyata bahwa inovasi terus mendorong batas kemungkinan teknologi.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Disney Illusion Island - Trailer Preorder Resmi untuk PS5, Xbox, dan PC

Next Post

Di Balik Penghormatan Luar Angkasa Katy Perry untuk Daisy