Kuda Delman: Antara Pesona Klasik, Kemiskinan, dan Jeritan Hati
Bayangkan, di tengah hiruk pikuk Jakarta, ada pemandangan yang mungkin bikin hati miris: kuda-kuda kurus menarik delman, alat transportasi klasik yang kini terpinggirkan. Suara gemerincing loncengnya, seolah beradu dengan bisingnya klakson dan deru mesin kendaraan modern. Ironisnya, di balik pesona nostalgia itu, tersembunyi cerita tentang kondisi yang memprihatinkan.
Mari kita mulai.
Delman, moda transportasi bersejarah yang dulunya begitu ikonik di era kolonial, kini hanya menjadi pemanis yang bergelut dengan perkembangan zaman. Keberadaannya semakin terdesak oleh aplikasi transportasi online yang menawarkan kemudahan dan kecepatan. Tapi, di beberapa sudut kota, delman masih setia mengantar wisatawan, terutama saat akhir pekan atau hari libur.
Derita di Balik Lonceng yang Berdentang
Namun, jangan salah, di balik pesona yang ditawarkan, tersimpan kisah yang menyayat hati. Para aktivis hak asasi hewan mengungkapkan kondisi kuda-kuda delman yang sangat memprihatinkan. Mereka hidup dalam kandang yang jauh dari kata layak, dengan makanan yang tak mencukupi, bahkan ada yang sampai kurang gizi akibat himpitan ekonomi yang makin menggila.
Pendapatan mereka sangat terbatas. Untuk sekali berkeliling Monas sejauh 4,5 kilometer, seorang kusir hanya mendapat Rp 50.000. Penghasilan yang tak seberapa ini memaksa mereka untuk memperkirakan pakan kudanya. Bahkan dengan terpaksa mengurangi pakan kuda. Mungkin mereka berpikir, "Yang penting, perut anak istri kenyang, kuda urusan belakangan."
Pemandangan yang bisa kamu saksikan adalah kandang-kandang yang kumuh, dikelilingi sampah dan limbah. Bayangkan, kuda kesayanganmu harus hidup di lingkungan seperti itu!
Tradisi yang Memilukan
Mirisnya lagi, beberapa pemilik delman masih menggunakan praktik tradisional yang menyakitkan. Contohnya, menusuk otot kuda dengan bambu untuk membersihkan darah mereka. Entah apa yang ada di pikiran mereka, tapi jelas ini bukan cara merawat hewan yang baik.
Bahkan, saat pandemi COVID-19 melanda, beberapa kuda dilaporkan mati kelaparan. Kondisi ini semakin mempertegas urgensi untuk mencari solusi yang lebih baik.
Bisikan Perubahan
Banyak aktivis yang mencari cara untuk mengatasi permasalahan ini. Mereka menawarkan pendidikan dan pengobatan gratis untuk kuda, namun banyak yang menolak karena terbentur tradisi, atau kendala finansial. Para kusir juga kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga, apalagi memikirkan kesejahteraan kuda mereka.
Sebenarnya, ada harapan dari para kusir muda untuk beralih ke pekerjaan lain, seperti menjadi pengemudi ojek online. Namun, kusir yang lebih tua cenderung bertahan karena merasa tak punya pilihan lain. Mereka terpaksa memperjuangkan rezeki, meskipun dampaknya bisa sangat buruk bagi kuda-kuda kesayangan mereka.
Antara Cinta dan Realita
Ada juga kusir yang merasa nyaman dengan pekerjaannya, meski penghasilannya pas-pasan. Mereka merasa sudah terbiasa dan tak mau mencari pekerjaan lain.
Tapi, apakah kenyamanan itu pantas dibayar dengan penderitaan hewan yang menjadi penopang hidup mereka? Pertanyaan ini perlu kita renungkan bersama.
Jalan Keluar?
Pemerintah setempat mengaku berkomitmen terhadap kesejahteraan hewan, tapi mereka juga butuh dukungan. Mungkin ada program untuk membantu perawatan medis gratis, atau memberikan pelatihan keterampilan baru bagi para kusir. Siapa tahu, mereka bisa jadi pengusaha muda yang sukses di bidang lain?
Semoga, di masa depan, kita bisa melihat kuda delman dengan cara pandang yang berbeda. Bukan hanya sebagai objek wisata, tapi juga sebagai makhluk hidup yang berhak mendapatkan perlakuan baik.