Sering nggak sih kita dengar berita soal kekerasan seksual dan perundungan yang makin marak di sekolah-sekolah? Dari mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi, kasus-kasus ini seolah nggak pernah ada habisnya. Tapi di tengah gelombang berita yang bikin merinding ini, ada secercah harapan. Tim dari Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) datang membawa inovasi yang mungkin bisa jadi solusi untuk masalah yang terus menggerogoti dunia pendidikan ini.
Melalui program Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM), mereka nggak cuma sekadar ngasih ceramah di depan kelas, tapi juga bawa teknologi yang bisa jadi tameng buat para siswa. Tim yang dipimpin oleh Senowarsito, bersama Yuli Kurniati Werdiningsih dan Bambang Agus Herlambang, sudah melakukan sosialisasi tentang bagaimana teknologi bisa digunakan untuk mencegah perundungan dan kekerasan seksual. Wah, teknologi jadi tameng, bukannya ancaman? Ini baru menarik!
Bayangin, lewat aplikasi yang mereka kembangkan, sekolah bisa lebih sigap dan aktif memantau kasus-kasus bullying yang kadang terjadi di bawah radar. Menurut Pak Seno, kekerasan seksual dan perundungan itu udah jadi masalah dari bangku sekolah dini, bahkan sampai perguruan tinggi. Makanya, kesadaran soal ini nggak bisa setengah-setengah, apalagi dari pihak orang tua.
Nah, di sinilah pentingnya “penyamaan persepsi” antara orang tua, wali, dan sekolah. Bisa kebayang nggak sih, kalau orang tua nggak tahu apa-apa soal bentuk-bentuk bullying yang sekarang makin beragam? Yang klasik seperti perundungan fisik mungkin gampang terlihat, tapi cyberbullying atau kekerasan psikologis? Ini yang perlu disadari bareng-bareng, dan aplikasinya diharapkan bisa memfasilitasi itu.
Pak Seno menambahkan, pelibatan orang tua itu kunci sukses pencegahan bullying dan kekerasan. Nggak cukup hanya guru dan sekolah yang sadar, tapi perlu juga komitmen dari orang tua untuk turut terlibat. Soalnya, ya, tanpa dukungan dari orang tua, pencegahan ini bakalan pincang. Kalau semua pihak ikut nyambung, bisa deh sekolah jadi tempat yang nyaman buat belajar, bukan medan perang mental.
Yang lebih keren lagi, program ini didanai oleh DRTPM Kemenristekdikti. Jadi, ini bukan proyek yang cuma angin-anginan atau semacam kerja bakti musiman. Ada pelatihan dan pendampingan lanjut buat guru, tenaga pendidik, dan siswa biar aplikasi yang udah disosialisasikan ini nggak cuma jadi formalitas doang. Pelatihan ini juga bertujuan untuk memastikan bahwa semua pihak, dari siswa sampai guru, paham bagaimana menggunakan teknologi ini sebagai alat proteksi, bukan cuma buat nge-cek media sosial.
Sekarang, tinggal kita lihat, apakah pendekatan teknologi ini benar-benar bisa menjadikan SMP PGRI 1 Semarang sebagai contoh sekolah ramah anak yang ideal. Siapa tahu, kalau sukses, bakal banyak sekolah lain yang ikut-ikutan bikin inovasi serupa. Jadi, gimana menurut kamu? Apakah teknologi benar-benar bisa jadi penyelamat di tengah perundungan yang makin kompleks ini?