Dark Mode Light Mode

Kelompok Sipil Indonesia Kecam Keterlibatan Militer dalam Pemberantasan Narkoba

Penyesuaian Undang-Undang TNI: Antara Pemberantasan Narkoba dan Kekhawatiran Sipil

Tanggal 17 Maret 2025, berita mengenai amandemen Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) terus menjadi perbincangan hangat. Perdebatan ini bukan hanya soal teknis legal, tetapi juga menyentuh isu fundamental mengenai peran militer dalam masyarakat sipil. Berbagai kelompok masyarakat sipil (CSO) memberikan sorotan tajam, mengungkapkan keprihatinan bahwa draf amandemen ini potensial keluar dari semangat reformasi yang telah diperjuangkan.

Sorotan utama tertuju pada rencana keterlibatan TNI dalam penanganan penyalahgunaan narkoba. Usulan ini tertuang dalam Pasal 7, Ayat 2, Poin 17, yang secara eksplisit memberikan legitimasi bagi TNI untuk membantu pemerintah dalam memberantas narkotika, prekursor, dan zat adiktif lainnya. Ini merupakan perubahan signifikan karena ketentuan serupa tidak terdapat dalam Undang-Undang (UU) No. 34/2004 tentang TNI.

Diskusi mengenai keterlibatan TNI dalam pemberantasan narkoba sendiri sebenarnya sudah bergulir sejak September 2023. Kala itu, Presiden Joko "Jokowi" Widodo menyoroti tingginya jumlah pengguna narkoba, mencapai 3,6 juta orang, yang berujung pada kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan (lapas). Usulan penggunaan fasilitas Resimen Induk Komando Daerah Militer (Rindam) sebagai pusat rehabilitasi juga sempat mencuat.

Namun, usulan tersebut memicu perdebatan serius, terutama dari kalangan ahli hukum dan organisasi masyarakat sipil. Mereka khawatir kebijakan ini justru akan menimbulkan dampak negatif, terutama pada prinsip negara hukum dan supremasi sipil. Kekhawatiran ini juga didukung oleh argumen bahwa pendekatan terhadap masalah narkoba sebaiknya berbasis pada pendekatan kesehatan dan pencegahan, bukan pendekatan militeristik.

Penting untuk dipahami, isu narkoba adalah masalah kompleks yang memerlukan solusi multidimensional. Pendekatan militer, meskipun bertujuan baik, berpotensi mengabaikan aspek sosial, ekonomi, dan kesehatan yang menjadi akar permasalahan. Upaya penegakan hukum seharusnya berjalan seiring dengan program rehabilitasi dan edukasi yang komprehensif.

Lebih lanjut, keterlibatan TNI dalam penanganan narkoba dapat membuka peluang bagi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pengalaman kelam di masa lalu, di mana militer terlibat dalam urusan sipil, seharusnya menjadi pelajaran berharga. Kita perlu memastikan bahwa penegakan hukum tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan HAM.

Ancaman Dwifungsi Militer: Benarkah Kembali?

Keterlibatan TNI dalam pemberantasan narkoba dikhawatirkan akan mengarah pada kembalinya isu dwifungsi militer. Beberapa pihak bahkan melihat ini sebagai ancaman terhadap demokrasi. Dwifungsi militer, yang pernah menjadi ciri khas rezim Orde Baru, memberikan peran ganda bagi militer, baik dalam bidang pertahanan maupun politik.

Ketua YLBHI Muhammad Isnur menyampaikan kekhawatiran yang mendalam terkait hal ini. Ia menegaskan bahwa keterlibatan militer dalam urusan sipil, seperti penegakan hukum narkoba, merupakan langkah mundur yang berpotensi menggerogoti prinsip supremasi sipil. Jadi, dengan melibatkan TNI, justru berpotensi mengurangi profesionalisme anggota TNI.

Penerapan dwifungsi militer pada dasarnya bertentangan dengan semangat reformasi yang menghendaki pemisahan peran militer dan sipil. Hal ini menjadi penting untuk menjaga stabilitas negara dan mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan. Penguatan lembaga sipil, termasuk kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN), justru menjadi kunci dalam mengatasi permasalahan narkoba.

Keterbatasan Profesionalisme: Melayani atau Memerintah?

Usulan untuk menempatkan personel militer pada jabatan-jabatan sipil tambahan juga menjadi sorotan. Selain pemberantasan narkoba, amandemen ini berpotensi memperluas ruang lingkup penugasan personel militer di lembaga-lembaga negara lainnya. Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengungkapkan, amandemen ini akan memberikan peluang bagi anggota TNI untuk mengisi posisi di 15 lembaga negara.

Sebagai perbandingan, UU TNI yang berlaku saat ini hanya mengatur 10 lembaga negara tempat personel militer dapat ditugaskan tanpa harus melepaskan status kemiliterannya. Lembaga-lembaga tersebut meliputi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Pertahanan; Sekretariat Militer Presiden; Badan Intelijen Negara (BIN); Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg); Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas); Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas); Badan SAR Nasional (Basarnas); Badan Narkotika Nasional (BNN); dan Mahkamah Agung.

Namun, amandemen ini berpotensi menambah daftar lembaga negara, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kejaksaan Agung (Kejagung), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Badan Keamanan Laut (Bakamla). Ini akan berdampak pada berkurangnya profesionalisme personel militer. Tugas utama TNI adalah menjaga kedaulatan negara dan keamanan dari ancaman eksternal, bukan terlibat dalam urusan birokrasi sipil.

Memaksakan personel militer untuk menjalankan tugas sipil akan mengganggu kinerja mereka di bidang pertahanan. Hal ini juga dapat merusak sistem meritokrasi dan jenjang karier pegawai sipil. Kita tidak ingin melihat militer kehilangan fokusnya, hanya demi memenuhi kepentingan politik tertentu.

Penegakan Hukum Berbasis Sains: Alternatif yang Lebih Baik

Sebagai alternatif, para ahli hukum dan aktivis HAM mendorong pemerintah untuk mengedepankan pendekatan berbasis sains dan kesehatan dalam mengatasi permasalahan narkoba. Mereka berpendapat bahwa kebijakan narkoba harus didasarkan pada bukti empiris dan pendekatan yang komprehensif.

Pendekatan berbasis sains menekankan pada program rehabilitasi, edukasi, dan pencegahan yang efektif. Ini termasuk penyediaan layanan kesehatan yang berkualitas bagi pecandu narkoba, serta upaya untuk mengatasi akar permasalahan yang mendorong terjadinya penyalahgunaan narkoba, seperti kemiskinan, pengangguran, dan masalah sosial lainnya.

Upaya rehabilitasi harus menjadi fokus utama, bukan hanya sekadar penangkapan dan penahanan. Pemerintah perlu memperluas akses terhadap layanan rehabilitasi yang komprehensif dan berkualitas. Dukungan keluarga dan masyarakat juga sangat penting dalam proses pemulihan pecandu narkoba.

Edukasi tentang bahaya narkoba harus dilakukan secara berkelanjutan, mulai dari usia dini hingga dewasa. Kampanye penyuluhan yang efektif dan menarik dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang risiko penyalahgunaan narkoba. Penegakan hukum juga harus dilakukan secara imparsial dan profesional.

Penting untuk diingat, solusi terhadap permasalahan narkoba bukanlah solusi tunggal. Dibutuhkan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pihak terkait lainnya. Melalui pendekatan yang berbasis sains, komprehensif, dan partisipatif, diharapkan kita dapat menemukan solusi terbaik yang sejalan dengan prinsip negara hukum dan HAM.

Pada akhirnya, amandemen Undang-Undang TNI ini merupakan momentum penting untuk merefleksikan kembali arah pembangunan pertahanan negara. Kita perlu memastikan bahwa kebijakan yang diambil sejalan dengan semangat reformasi dan tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Keterlibatan militer dalam urusan sipil harus dibatasi secara ketat, dan penegakan hukum harus dilakukan secara profesional dan berkeadilan. Perdebatan ini adalah ujian bagi kita semua untuk menjaga demokrasi dan supremasi sipil. Mari kita pastikan, reformasi TNI berjalan sesuai koridornya.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

I-LAND 2's izna Teases Indonesian-Language Comeback

Next Post

Kreator Invincible Sebut Game Terbaru Paling Seru di Antara Semua Proyek Invincible Lainnya