Kamu pasti pernah dengar ungkapan kalau jurnalisme itu pilar keempat demokrasi, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tapi, pernah nggak kamu mikir, kenapa bisa begitu? Apa karena wartawan suka nongkrong di coffe shop sambil ngetik berita, bikin mereka otomatis jadi “pilar” juga? Dari mana konsep ini muncul? Dan yang lebih penting, di era digital yang serba instant ini, apakah media kita masih layak menyandang gelar mulia itu?
Pilar Keempat Itu Penting, Tapi Kok Kayaknya Nggak Seheboh Tiga Pilar Lainnya?
Kita bisa membayangkan demokrasi sebagai rumah megah bertingkat. Ada tiang utama—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—yang menopang bangunan. Nah, jurnalisme ini semacam pengawas rumah. Dia nggak cuma ngecek kalau tiang-tiang itu berdiri kokoh, tapi juga memastikan nggak ada tikus-tikus yang iseng menggerogoti fondasi.
Jurnalisme disebut pilar keempat demokrasi karena perannya yang krusial: mengawasi, melaporkan, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Wartawan adalah semacam detektif sipil yang bekerja untuk masyarakat. Mereka memastikan kalau pejabat nggak sembarangan “ngabisin anggaran buat beli tas mewah,” atau bikin kebijakan yang cuma menguntungkan segelintir orang dan golongan.
Dari Mana Asalnya Istilah Ini?
Konsep pilar keempat demokrasi sebenarnya bukan barang baru. Pada abad ke-18, tokoh-tokoh seperti Edmund Burke di Inggris menciptakan istilah ini untuk menunjukkan pentingnya peran pers dalam mengawasi kekuasaan. Di era itu, pers sudah diakui sebagai medium untuk memperjuangkan transparansi.
Lalu, istilah ini menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Setelah reformasi 1998, kebebasan pers dianggap jadi salah satu tonggak kunci demokrasi modern kita. Media jadi alat untuk mengungkap kasus korupsi, pelanggaran HAM, dan berbagai drama politik lainnya. Ya, seperti episode sinetron panjang, tapi ini real.
Apa yang Membuat Jurnalisme Layak Disebut Pilar?
- Fungsi Pengawasan (Watchdog)
Media yang independen bertugas mengawasi pemerintah dan lembaga negara lainnya. Kalau ada yang salah, media bakal blow up biar publik tahu. Misalnya, kasus penyalahgunaan dana bansos atau proyek mangkrak yang bikin masyarakat geram. - Penyedia Informasi
Demokrasi butuh warga negara yang melek informasi. Wartawanlah yang menyediakan fakta-fakta penting biar masyarakat bisa bikin keputusan yang cerdas, dari memilih presiden hingga milih kepala RW yang nggak ngibul. - Forum Diskusi Publik
Media juga jadi tempat debat sehat (atau kadang nggak sehat, tergantung netizen). Dari berita sampai opini, semuanya dirancang untuk memicu diskusi dan menguatkan budaya demokrasi. - Penyeimbang Kekuasaan
Pers bisa mengontrol ego pemerintah. Kalau eksekutif mulai lupa diri, media hadir buat mengingatkan, “Hey, kamu kerja buat rakyat, bukan buat diri sendiri!”
Tapi, Ada Juga Tantangannya
Meski disebut pilar, bukan berarti media bebas dari masalah. Di era digital, banyak media terjebak dalam lingkaran clickbait. Bukannya menginformasikan, malah bikin berita yang bikin heboh tanpa esensi. Belum lagi fenomena buzzer politik yang bikin informasi simpang siur. Kalau udah begini, fungsi jurnalisme sebagai pilar keempat bisa goyah.
Dan jangan lupakan soal kebebasan pers yang sering kali dibatasi oleh ancaman kekerasan atau undang-undang yang mengekang. Wartawan, apalagi yang investigatif, sering dianggap musuh oleh pihak yang merasa dirugikan. Padahal, mereka cuma bekerja untuk publik, bukan buat seru-seruan.
Jadi, Haruskah Kita Percaya Sepenuhnya pada Media?
Sebagai pilar keempat demokrasi, jurnalisme punya tanggung jawab moral besar. Tapi, kita sebagai pembaca juga harus kritis. Jangan telan mentah-mentah semua berita. Cek sumber, pahami konteks, dan hindari hoaks. Karena bagaimanapun, demokrasi itu kerja bareng. Pers butuh dukungan dari masyarakat untuk terus independen.
Akhirnya, meski kadang bikin jengkel dengan judul berita yang kelewat sensasional, kita nggak bisa hidup tanpa jurnalisme. Dia adalah mata dan telinga kita dalam memahami dunia. Jadi, nggak ada salahnya kok menghargai kerja keras wartawan.