Prabowo Kuat: Ketika Kritik Mendadak Jadi Barang Langka
Baru-baru ini, jagat politik Indonesia dibuat geger oleh pernyataan seorang tokoh sentral. Sebuah pernyataan yang menggelitik sekaligus mengundang senyum kecut. Mantan Presiden Jokowi, dengan gaya khasnya yang to the point, menyatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto adalah sosok yang begitu kuat, hingga tak ada yang berani mengkritiknya. Pernyataan ini jelas bukan sekadar basa-basi, melainkan sebuah statement yang sarat makna dan pertanyaan.
Sebagai generasi yang akrab dengan meme dan dark humor, kita tentu tak asing dengan fenomena "kegagahan" seorang pemimpin. Namun, ketika seorang mantan presiden secara terbuka mengakui kekuatan penerusnya, ada sesuatu yang menarik untuk disimak. Apalagi jika kekuatan yang dimaksud berdampak pada kebebasan berpendapat dan iklim demokrasi. Ini bukan drama Korea, ini Indonesia, tempat di mana realita seringkali lebih menarik daripada fiksi.
Rating Tinggi, Kritik Menghilang?
Pernyataan Jokowi bukan tanpa dasar. Ia mengaitkan kekuatan Prabowo dengan approval rating yang fantastis di 100 hari pertama kepemimpinannya. Angka 80,9 persen, jika dibandingkan dengan pengalaman Jokowi sendiri, memang terbilang luar biasa. Ia bahkan membandingkan pengalaman pribadinya saat awal menjabat. Dulu, Jokowi mengakui bahwa tingkat penerimaannya hanya 62 persen. Bahkan sempat turun ketika harga BBM naik.
Tentu saja, tingginya approval rating bisa jadi merupakan indikasi positif. Namun, pertanyaan yang lebih krusial adalah, apa dampaknya bagi ruang publik? Apakah tingginya dukungan ini juga berarti hilangnya keberanian untuk mengkritik? Apakah suara-suara sumbang, yang seharusnya menjadi penyeimbang, justru memilih untuk diam?
Kekuasaan yang Membuat Semua Jadi Salah Jokowi?
Dalam pernyataannya, Jokowi juga menyelipkan sedikit joke. Ia mengatakan, "Karena kekuatan Presiden Prabowo Subianto, setiap hal kecil adalah kesalahan Jokowi." Kalimat ini, meski dibalut humor, mengandung sindiran yang cukup tajam. Ini bisa jadi adalah ungkapan realistis, atau ledekan halus mengenai bagaimana framing politik bekerja.
Ini mengingatkan kita pada pepatah, "kalau sudah benci, tai kucing rasa cokelat." Ketika seseorang begitu berkuasa, semua hal negatif seolah-olah akan dikaitkan dengan orang lain. Jadi, apakah ini sinyal bahwa orang nomor satu saat ini kebal kritik? Atau, apakah ini justru pembungkam bagi mereka yang mencoba bersuara?
Demokrasi di Persimpangan Jalan
Kita, sebagai generasi yang tumbuh di era digital, tentu sangat peduli dengan kebebasan berekspresi dan hak untuk berpendapat. Jangan sampai kekuatan seorang pemimpin justru menjadi ancaman bagi demokrasi. Jangan biarkan narasi tunggal mendominasi ruang publik. Ingat, kritik adalah vitamin bagi demokrasi. Tanpa kritik, demokrasi bisa menjadi mandul. Kita harus terus mengawal pemerintahan.
Sebagai penutup, mari kita renungkan bersama. Apakah kekuatan seorang pemimpin harus identik dengan hilangnya keberanian untuk mengkritik? Atau justru, kekuatan sejati seorang pemimpin adalah kemampuannya untuk menerima kritik, bahkan dari mereka yang tak sejalan dengannya? Mari kita tunggu dan lihat perkembangan selanjutnya.