TikTok di ujung tanduk, dan kita harus ngomongin Mark Zuckerberg yang (kemungkinan) jadi aktor utama di balik layar ini. Jika TikTok ikutan hilang dari dunia maya, kayak yang terjadi di AS. Apa langkah kamu? Kalau saya, gampang. Instagram bakal langsung saya hapus.
Mark Zuckerberg dan TikTok: Duel Para Raksasa Digital
TikTok bukan hanya platform joget-joget. Aplikasi ini secara perlahan menggerus dominasi banyak raksasa teknologi. Dari Meta hingga Netflix, Disney, bahkan saluran televisi tradisional seperti ABC dan NBC—semua harus rela kehilangan perhatian audiens ke TikTok.
Kamu tahu siapa yang paling panik soal TikTok? Bukan orang tua yang nggak ngerti FYP, tapi Mark Zuckerberg. Kenapa? Karena TikTok itu musuh bebuyutan aplikasi-aplikasi Meta. Karena platform ini bikin orang lebih betah scrolling, lebih banyak belajar, lebih nyambung sama komunitas, dan, yang paling fatal buat raksasa lain, bikin uang iklan pindah ke kantong TikTok. Bagi para bos teknologi, perhatian kita itu emas, dan TikTok punya alat yang pas buat mencuri perhatian itu.
Dampaknya? Dari Facebook, Instagram, hingga Threads, semua mulai kehilangan pamor. Bahkan, aplikasi-aplikasi lama ini sekarang terkesan kayak toko kelontong yang mati gaya di tengah mall besar bernama TikTok.
Bahkan, kabarnya Zuck ngelobi pemerintah buat ngeblok TikTok. Lho, kok kayak lagi main Monopoli terus lawannya dibilang curang, sih? Yah, namanya juga bisnis. Kalau TikTok menang terus, meta apps kayak Facebook, Instagram, Threads bisa makin terancam.
Kalau TikTok Hilang, Kita Kembali ke Era Instagram?
Blokir TikTok sebenarnya nggak cuma soal keamanan data seperti yang sering jadi alasan pemerintah. Ini lebih ke perebutan narasi dan dominasi. TikTok memberikan suara ke banyak orang, bahkan yang nggak punya platform sebelumnya. Di sana, diskusi tentang kelas pekerja, oligarki, sampai gerakan sosial berkembang pesat.
Tapi kalau TikTok benar-benar dihapus, apakah kita balik lagi ke Instagram? Buat saya, Instagram itu kayak restoran fast food yang udah kehilangan rasa. Banyak menu, tapi rasanya itu-itu aja.
Kita tahu Instagram mati-matian mencoba meniru TikTok lewat Reels, tapi hasilnya? Ya, kayak anak SMA bikin tiruan film Hollywood—niat, tapi nggak sampai. Jadi, kalau TikTok benar-benar lenyap, Instagram bukan solusi.
Apakah Ini Prohibition Era Baru?
Blokir TikTok tidak bisa dilepaskan dari sejarah. Lihat saja apa yang terjadi pada 1920-an setelah pandemi flu Spanyol. Pemerintah AS saat itu melarang alkohol melalui kebijakan Prohibition, dengan dalih untuk mengatur moral masyarakat. Sekarang, TikTok seolah menjadi target modern: aplikasi ini dianggap terlalu berpengaruh, terlalu sulit dikendalikan.
Tapi mari kita bicara lebih dalam: TikTok adalah salah satu circus terakhir yang dimiliki masyarakat. Dalam istilah politik, “bread and circuses” adalah cara penguasa menjaga kestabilan—beri rakyat makanan dan hiburan, dan mereka tidak akan protes.
Sekarang, TikTok adalah circus-nya. Orang bikin konten, nemu komunitas, dan ya, belajar banyak. Kalau ini diambil, apa yang tersisa? Kemarahan yang terorganisir. Serem? Tergantung siapa yang ditanya.
Kenapa Saya Mau Hapus Instagram Kalau TikTok Diblokir?
Simple: solidaritas. Kalau TikTok, yang jadi platform untuk suara-suara kecil, diblokir gara-gara lobi-lobi penguasa digital, kenapa saya harus tetap ngasih atensi ke Instagram, yang dimiliki oleh salah satu penggerak di balik ini semua?
Ini bukan sekadar protes, tapi pernyataan. Kenapa? Karena kita perlu lebih dari sekadar aplikasi yang hanya ngikut-ngikut tren. TikTok memberikan ruang buat belajar, berdiskusi, dan menemukan komunitas. Instagram? Ya, bagus juga, tapi kayaknya makin lama makin kehilangan relevansi.
Kita ambil contoh dari kejadian di Amerika Serikat, banyak yang berpikir kalau pengguna akan balik lagi ke Instagram. Ternyata? Tidak sama sekali. Alih-alih pakai Instagram atau Threads, orang-orang US justru mencari alternatif seperti Lemon8 dan Rednote—yang ironisnya, juga buatan Tiongkok.
Hal ini menunjukkan kalau masalahnya bukan di mana aplikasi itu dibuat, tapi apa yang aplikasi itu tawarkan.
Ini bukan berarti saya anti-Meta. Tapi kalau mereka benar-benar di balik pelarangan TikTok, mungkin sudah waktunya kita refleksi: siapa yang sebenarnya punya kuasa atas waktu dan perhatian kita di dunia maya?