Dark Mode Light Mode

Indonesia: Mundurnya Diam-diam dari Laut China Selatan

Indonesia: Antara Diplomasi Senyap dan Lautan Cina Selatan

Kita mulai dengan sebuah pengakuan: sepertinya Indonesia sudah mulai nggak peduli dengan Laut Cina Selatan. Dulu, ribut-ribut soal kedaulatan, sekarang malah adem ayem. Apa yang terjadi? Mari kita bedah satu per satu.

Perubahan ini sudah mulai terasa sejak era Presiden Jokowi. Beliau, dengan santainya, selalu menegaskan kalau Indonesia nggak punya sengketa teritorial dengan Cina di Laut Cina Selatan. Mungkin, bagi sebagian orang, ini adalah langkah pragmatis. Tapi, bagi yang lain, bisa jadi ini adalah bentuk "diplomasi senyap" yang sarat makna.

Dulu, kita punya sosok seperti Ibu Susi Pudjiastuti yang garang. Kebijakan "tenggelamkan" kapal asing yang mencuri ikan, misalnya, adalah bentuk ketegasan yang bikin ngeri negara lain. Penamaan "Laut Natuna Utara" juga jadi simbol bahwa kita, sebagai negara berdaulat, nggak main-main dengan wilayah sendiri. Tapi, kenapa sekarang beda?

Hilangnya Sosok Garang

Pergantian Ibu Susi dari kursi menteri menjadi titik balik yang penting. Prioritas kita seolah bergeser dari "ketegasan maritim" menjadi "kerjasama ekonomi." Perbedaan pendapat di dalam kabinet Jokowi, khususnya antara Pak Jusuf Kalla dan Pak Luhut B. Pandjaitan, juga semakin memperjelas arah kebijakan yang baru. Mungkin ada kekhawatiran kalau gaya blak-blakan Ibu Susi malah bikin hubungan kita dengan negara tetangga, termasuk Cina, jadi nggak enak.

Tapi, yang paling bikin penasaran adalah faktor ekonomi. Cina adalah mitra dagang terbesar Indonesia dan juga salah satu investor asing terbesar. Hubungan dagang yang semakin erat, katanya, bikin Indonesia jadi ogah keras-keras ke Cina.

Pragmatisme Ekonomi di Atas Segala-galanya

Presiden Prabowo melanjutkan tren ini. Beliau memilih untuk menyerahkan sengketa Laut Cina Selatan ke pihak yang bersangkutan langsung. Kita juga baru saja melihat pernyataan bersama antara Indonesia dan Cina yang lumayan bikin kening berkerut. Ada klausul tentang kerjasama di wilayah tumpang tindih, yang seolah menggerogoti peran ASEAN.

ASEAN sendiri, sebagai organisasi regional, juga lagi sakit. Dulu, Indonesia selalu menjadi kekuatan pendorong. Sekarang, kita malah nggak peduli. Negara-negara seperti Filipina, yang vokal menentang klaim Cina, sekarang merasa sendirian. Tanpa Indonesia, ASEAN jadi lemah.

Akibatnya? Cina jadi lebih leluasa untuk bernegosiasi secara bilateral dengan negara-negara ASEAN. Ujung-ujungnya, posisi ASEAN jadi makin nggak jelas.

Prioritas Bergeser?

Aktivitas Angkatan Laut kita di Laut Cina Selatan juga mulai kalem. Patroli tetap ada, tapi nggak segarang dulu. Fokus sekarang malah ke kerjasama ekonomi dan infrastruktur, terutama proyek-proyek yang didanai Cina. Ini kayaknya adalah cerminan dari perubahan besar dalam politik luar negeri kita, di mana ekonomi diprioritaskan di atas isu keamanan.

Indonesia juga sedang berusaha menjadi negara middle power global. Kita nggak mau terlalu memihak AS atau Cina. Kita lebih suka main aman, punya hubungan baik dengan keduanya. Tapi, sikap ini juga bikin kita susah untuk ambil sikap tegas soal Laut Cina Selatan.

Dampaknya jelas nggak main-main. Kerangka multilateral ASEAN jadi nggak efektif. Tanpa dukungan Indonesia, kemampuan ASEAN untuk negosiasi Code of Conduct dengan Cina jadi berkurang. Kita juga terlihat lebih mementingkan keuntungan ekonomi jangka pendek daripada kepentingan strategis jangka panjang.

Indonesia seperti sudah menyerah dengan isu Laut Cina Selatan. Kita nggak mau lagi memimpin dan membiarkan negara anggota ASEAN lain berjuang sendiri. Yang terjadi sekarang adalah negosiasi bilateral yang lebih dominan daripada aksi regional bersama. Akhirnya, semua ini membuat kita semakin sulit untuk bisa bersatu.

Kecuali Indonesia mau mengubah haluan, peran ASEAN di Laut Cina Selatan akan terus menyusut. Dan pada akhirnya, kekuatan asing akan semakin menguasai wilayah ini.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Pengalaman Traumatis Masa Kecil Kendrick Lamar: Duka di Usia Lima Tahun - Musik dalam Bahasa Indonesia

Next Post

Kode Zenless Zone Zero [9 Februari 2025]