Privasi Anak: Antara Iklan, Driver's License, dan Pertanyaan "Kamu Umur Berapa?"
Pernahkah kamu merasa dunia internet semakin cerewet soal data pribadi? Seolah-olah, setiap klik dan gesekan jari direkam, dianalisis, dan dijual ke penawar tertinggi. Kabar baiknya, ada sedikit angin segar untuk para orang tua dan anak-anak yang mulai gelisah dengan hal ini. Pemerintah Amerika Serikat baru saja memperbarui aturan tentang privasi anak-anak di dunia maya. Tapi, apakah ini cukup? Atau malah akan menjadi mimpi buruk baru bagi para orang tua?
Aturan baru yang dikembangkan oleh U.S. Federal Trade Commission ini, yang mengubah Children’s Online Privacy Protection Act (COPPA), sebenarnya berita besar. Tapi, jujur saja, di tengah hiruk pikuk berita selebriti dan drama politik, berita ini seperti ditelan bumi. Aturan ini mewajibkan perusahaan untuk mendapatkan persetujuan orang tua sebelum menargetkan iklan pada anak-anak. Kelihatannya sederhana, kan? Tapi, tunggu sampai kamu tahu detailnya.
Bayangkan, kamu yang punya anak kecil hobi main game online. Tiba-tiba, untuk bisa main, game tersebut meminta kamu mengunggah foto KTP atau SIM? Atau malah, mereka meminta kamu memberikan video singkat yang membuktikan bahwa kamu adalah orang tua dari anak tersebut. Kedengarannya berlebihan? Mungkin. Tapi, itulah yang mungkin terjadi. Tentu saja hal ini bisa menimbulkan pertanyaan soal keamanan data. Apakah kamu percaya perusahaan-perusahaan ini akan menjaga data pribadimu dengan baik?
Are Age Gates Sufficient?
Perusahaan media sosial dan platform game sekarang mencoba berbagai cara untuk memverifikasi usia penggunanya. Beberapa pakai "age gate" atau gerbang usia. Artinya, sebelum masuk, kamu harus mengaku berapa umurmu. Masalahnya, anak-anak kan pintar. Mereka bisa saja mengakali sistem ini. Mereka bisa saja memberikan data yang salah. Lagipula, data yang diberikan bisa saja dianalisis oleh sistem, jadi kamu bisa saja tetap ketahuan umurmu.
Sistem ini juga punya batasan. Pengumpulan data tentang seseorang itu tidak sesederhana memasang "age gate". Begitu data pribadi masuk, akan ada banyak hal tentang umur pengguna yang bisa muncul dengan sendirinya. Sistem bisa menganalisis kebiasaan, konten yang disukai, dan banyak lagi. Jadi, walaupun mengaku sudah cukup umur, tetap saja ada kemungkinan data anak-anak bisa terekspos.
The Issue with Face-Based Age Verification
Ada juga beberapa perusahaan mencoba verifikasi usia berbasis wajah alias facial recognition. Misalnya, Instagram meminta pengguna mengirimkan foto selfie untuk membuktikan usia mereka. Tapi, jangan salah, cara ini juga punya kekurangan. Anak-anak usia 13-18 tahun itu seringkali sulit dibedakan usianya. Apalagi kalau pakai filter.
Ditambah lagi, teknologi pengenalan wajah belum sepenuhnya akurat. Ada potensi kesalahan, dan hasil yang salah bisa berakibat fatal. Misalnya, anak yang sebenarnya sudah cukup umur malah dianggap belum cukup umur. Atau sebaliknya, anak yang belum cukup umur malah bisa mengakses konten yang tidak seharusnya.
Kids’ Privacy Gains International Attention
Jangan salah, isu privasi anak ini bukan cuma masalah di Amerika Serikat. Negara-negara lain, termasuk anggota Five Eyes (aliansi intelijen yang terdiri dari AS, Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Inggris), juga mulai serius memperhatikan masalah ini. Mereka menyadari betapa rentannya anak-anak di dunia maya. Negara-negara ini mulai melakukan pengetatan terhadap regulasi yang mengatur privasi anak.
Ada kecenderungan regulasi baru ini akan semakin gencar di masa depan. Jika perusahaan media sosial ingin beroperasi di banyak negara, mereka harus mematuhi aturan-aturan internasional ini. Tentu saja, ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi mereka.
The Potential for More Stringent Kids’ Privacy Restrictions
Australia, misalnya, sudah membuat gebrakan dengan melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial. Keputusan ini membuat banyak perusahaan game dan media sosial kelabakan. Mereka khawatir negara lain, termasuk AS dan Inggris, akan melakukan hal serupa. Jika hal itu terjadi, bisnis mereka akan sangat terpengaruh.
Peraturan-peraturan baru ini, walau tujuannya baik, berpotensi menimbulkan masalah baru. Bisnis media dan game akan berusaha mencari cara untuk tetap mengeruk keuntungan dari anak-anak. Kalau sudah begitu, kita sebagai orang tua harus semakin waspada. Kita harus lebih cerdas dalam melindungi anak-anak kita dari bahaya dunia maya. Kita harus lebih selektif memilih platform dan aplikasi yang mereka gunakan.
Perlindungan privasi anak di dunia maya memang rumit. Tidak ada solusi yang sempurna. Tapi, setidaknya, ada usaha untuk membuat dunia digital lebih aman bagi generasi penerus. Tugas kita, sebagai orang tua dan generasi yang lebih paham teknologi, adalah untuk selalu mencari informasi terbaru dan mengambil langkah-langkah yang tepat. Kita tidak bisa lagi membiarkan anak-anak kita berenang sendirian di lautan data pribadi yang berbahaya.