Dark Mode Light Mode

Implikasi Peran Eva dalam Church of the Sea

Pernah kepikiran nggak sih, kalau Hawa (atau Eve, biar keren dikit), pasangan Adam itu, sering banget dapet cap jelek dalam sejarah? Gara-gara tergoda ular licik, dia jadi yang pertama nyicip buah terlarang, terus ngajak Adam ikutan. Konsekuensinya? Diusir dari Taman Eden, plus Hawa divonis menanggung sakitnya melahirkan. Sebuah narasi yang menempatkannya sebagai pendosa pertama, sebuah stigma yang menempel ribuan tahun lamanya dan mungkin sudah saatnya dipertanyakan kembali kebenarannya.

Kisah klasik ini, yang seringkali hanya dilihat dari satu sudut pandang, kini coba dibongkar ulang oleh sebuah trio doomgaze asal Yunani. Dibentuk pada tahun 2017, Church of the Sea hadir membawa perspektif baru yang segar. Mereka tidak melihat Hawa sebagai sosok lemah yang mudah tergoda, melainkan sebagai simbol pemberontakan dan keberanian dalam memilih jalan sendiri. Perspektif ini menjadi ruh utama dalam karya terbaru mereka.

Setelah debut dengan album Odalisque pada tahun 2022, band yang digawangi Vangelis (gitar), Alex (synth), dan Irene (vokal) ini kembali dengan album kedua mereka. Bekerja sama dengan label These Hands Melt, album bertajuk Eva ini dirilis untuk merayakan pembangkangan Hawa. Mereka mencoba melukiskan Hawa bukan sebagai pendosa, tapi sebagai pemberontak sejati yang dengan sadar merengkuh apa yang dianggap ‘terlarang’ oleh otoritas saat itu.

Konsep ini saja sudah cukup bikin penasaran, bukan? Tentu saja, banyak yang bertanya-tanya bagaimana Church of the Sea akan menerjemahkan narasi ulang Hawa ini ke dalam format doomgaze mereka. Apakah alunan musik mereka akan berhasil mengajak pendengar ikut merasakan semangat pemberontakan Hawa yang direkonstruksi, atau justru terjebak dalam interpretasi yang monoton dan membosankan.

Bagi yang belum familiar dengan doomgaze, genre ini adalah perpaduan unik antara elemen doom metal yang berat dan lambat dengan shoegaze yang atmosferik dan penuh reverb. Bayangkan lanskap suara yang kelam, melankolis, namun juga bisa terasa megah dan menghanyutkan. Eksplorasi sonik seperti inilah yang menjadi fondasi Church of the Sea dalam membangun dunia Eva.

Menariknya, tanpa ekspektasi berlebih tentang bagaimana seharusnya doomgaze terdengar, Church of the Sea berhasil menciptakan atmosfer yang sangat memikat di album Eva. Mereka tidak terpaku pada formula baku, melainkan berani meramu elemen-elemen berbeda untuk menghasilkan sound yang khas dan sesuai dengan tema yang diusung. Hasilnya adalah sebuah pengalaman mendengar yang cukup mengejutkan.

Menggugat Narasi Klasik: Hawa Versi Church of the Sea

Vangelis menyumbangkan elemen doom melalui permainan gitarnya yang cenderung minimalis, kadang terdengar rapuh, namun di saat lain bisa menebarkan aura spooky yang kental. Sementara itu, Alex melengkapi sisi gaze-nya dengan sentuhan synth-driven darkwave yang subtil namun efektif membangun suasana. Kombinasi keduanya menghasilkan melodi yang bergelombang seperti lautan hitam di bawah langit kelabu pekat.

Dinamika ini membawa kita terombang-ambing dalam perairan musik yang mengingatkan pada band-band seperti Darkher atau REZN, mencari secercah harapan dalam kegelapan sonik yang diciptakan. Pengaruh Trent Reznor (Nine Inch Nails) pun terasa pada beat synth yang menyambut kita di trek pembuka sesungguhnya, "The Siren’s Choice". Lagu ini langsung memberi gambaran kekuatan musik Church of the Sea.

Ketika not-not gitar yang seperti jaring laba-laba dan vokal Irene yang sensual, lembut seperti beludru—gabungan antara Shirley Manson (Garbage) dan Sara Bianchin (Messa)—masuk, kita bisa merasakan betapa kuatnya elemen doom dalam palet suara mereka. Kekuatan ini menjadi tak terbantahkan saat chord gitar fuzzy berpadu dengan synth terdistorsi, memberikan aksentuasi berat di sepanjang durasi tiga puluh menit album Eva.

Doomgaze yang Menghipnotis: Lanskap Suara Eva

Church of the Sea berhasil menciptakan pengalaman mendengar yang hipnotis, berkabut, mirip drone, namun tetap terasa berat dan doomy. Setiap nada dalam Eva seolah dirancang untuk memuaskan gelombang alfa di otak dan tubuh, mirip efek menenangkan dari nada 432 Hz. Mereka tidak terburu-buru, membiarkan setiap elemen musik berkembang secara organik dan meresap ke dalam pikiran pendengar.

Elemen-elemen musik ini dirangkai dengan sangat baik, menciptakan sebuah perjalanan sonik yang kohesif. Mulai dari nuansa tribalisme ala Dead Can Dance bertemu Vermilia di trek berjudul sama dengan albumnya, "Eva", di mana vokal Irene dalam bahasa Yunani asli memberikan irama folk yang kuat, hingga penutup yang dominan elektronika, "How to Build a Universe, pt. II".

Album Eva dipenuhi oleh momen-momen puncak yang mengesankan. Tidak ada yang lebih kentara daripada kombinasi tiga lagu berturut-turut yang dimulai dengan "Widow". Lagu ini sangat terinspirasi oleh Darkher, membawa vibe mirip lagu "Lowly Weep", sebelum kemudian beralih ke nuansa spooky ala Bloody Hammers di "Garden of Eden". Di sini, pendengar seolah bisa merasakan kehadiran sang ular yang merayap mendekati sang pahlawan wanita pemberontak.

Menyelami Trek Pilihan: Sorotan Album Eva

Puncak dari trilogi naratif ini baru terungkap saat alunan penuh takdir dari "Churchyard" mulai terdengar. Trek ini menampilkan pasang surut emosi yang dikemas dalam ketegangan, penuh dengan beat penuh harapan, vokal etereal, dan nada doom yang menghantam keras. Lagu ini menggambarkan Hawa yang dengan berani menerima perannya sebagai ‘ibu dari semua yang hidup’ dan merengkuh pengetahuan barunya, sebuah penutup yang kuat untuk penceritaan ulang ini.

Namun, perlu dicatat bahwa musik Church of the Sea memang diciptakan untuk mood tertentu, dan Eva bukanlah pengecualian. Album ini lebih bersifat meninabobokkan daripada memompa adrenalin. Atmosfernya yang berkabut dan drone-like berhasil karena band ini tetap setia pada visi mereka dan tidak pernah mencoba keluar jalur. Ini adalah musik untuk kontemplasi, bukan untuk moshing.

Lagu-lagunya berjalan lambat, merangkak, dan dengan hati-hati meraba jalan mereka melalui taman Eva ciptaan Church of the Sea dengan kelincahan seekor arakhnida. Meski eksekusinya brilian, pendekatan ini mungkin membatasi aksesibilitas bagi sebagian pendengar. Album ini lebih cocok dinikmati saat ingin menyelami lapisan-lapisan pemikiran diri atau sekadar bermalas-malasan dalam atmosfer yang effortless.

Sebuah Perjalanan Singkat Namun Memikat

Di era di mana kita sering mengkritik album yang terlalu panjang dan bertele-tele, keluhan terbesar terhadap Eva justru sebaliknya: album ini terasa kurang panjang. Jika tidak menghitung intro berdurasi dua menit, Eva hanya berdurasi sekitar dua puluh delapan menit. Meskipun dorongan untuk menekan tombol replay sangat kuat, tetap saja ada rasa ingin mendengar lebih banyak lagi dari apa yang ditawarkan Church of the Sea.

Meskipun singkat secara durasi, Eva adalah album yang padat kualitas. Vokal Irene benar-benar memesona, mampu menghipnotis pendengar dengan kelembutan dan kekuatannya. Kombinasi gitar-synth juga menghasilkan bobot yang mengejutkan, lebih berat dari yang mungkin dibayangkan dari deskripsi awalnya. Ini adalah bukti kepiawaian Church of the Sea dalam meramu suara mereka.

Secara keseluruhan, Church of the Sea dengan album Eva mereka telah berhasil menghadirkan sebuah karya doomgaze yang atmosferik, konseptual, dan penuh karakter. Mereka tidak hanya menyajikan musik yang indah secara sonik, tetapi juga menawarkan reinterpretasi naratif yang menarik dan relevan. Album ini sangat direkomendasikan bagi pencinta musik kelam, atmosferik, dan mereka yang mencari perspektif baru dalam cerita lama. Eva adalah bukti bahwa pemberontakan bisa hadir dalam bentuk yang paling subtil sekalipun.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Sinyal Tantangan Demokrasi: Tempo Diserang DDoS, Prabowo Lirik Trump

Next Post

Supercar Ford yang Seharusnya Dibuat 20 Tahun Lalu