Dark Mode Light Mode
Mudik Lebaran Lebih Aman, Angka Kecelakaan Turun 12 Persen Kata Kapolri
Implikasi Menarik Pembatasan Dua Periode Jabatan Perdana Menteri

Implikasi Menarik Pembatasan Dua Periode Jabatan Perdana Menteri

Jagad media sosial Malaysia baru-baru ini diramaikan oleh perbincangan hangat seputar pembatasan masa jabatan perdana menteri. Topik ini kembali mencuat setelah Kongres Nasional Partai Aksi Demokratik (DAP) pada 16 Maret lalu, di mana sang sekretaris jenderal, Anthony Loke, menegaskan dukungan partai terhadap kepemimpinan Anwar Ibrahim, namun juga mendorong amandemen Konstitusi untuk membatasi masa jabatan PM maksimal sepuluh tahun. Isu lama yang bersemi kembali ini sontak memantik diskusi, mengingat dinamika politik Malaysia yang selalu penuh kejutan.

Kenapa Sih PM Malaysia Nggak Ada Batas Jabatan?

Sebenarnya, dalam sistem parlementer Westminster yang dianut Malaysia, tidak ada batasan berapa lama seseorang bisa menjabat sebagai perdana menteri. Namun, gagasan pembatasan ini punya alasan kuat: untuk mencegah konsentrasi kekuasaan berlebihan pada satu individu dan membuka jalan bagi kepemimpinan serta perspektif baru. Argumen ini bukanlah hal baru; sudah disuarakan secara periodik oleh pihak oposisi selama tiga dekade terakhir, terutama oleh koalisi Pakatan Harapan (PH) menjelang pemilihan umum 2018 yang bersejarah.

Upaya konkret pernah dilakukan ketika PH merancang RUU parlemen terkait pembatasan masa jabatan ini pada tahun 2019. Sayangnya, momentum reformasi tersebut terhenti oleh manuver politik yang dikenal sebagai "Langkah Sheraton" di awal tahun 2020, yang merombak lanskap politik Malaysia secara drastis. Kegagalan ini menjadi catatan kaki pahit dalam sejarah upaya reformasi struktural di Negeri Jiran, menunjukkan betapa rumitnya mengubah aturan main yang sudah mapan.

Perdana Menteri ke-10 Malaysia, Anwar Ibrahim, ternyata menyambut baik ide pembatasan masa jabatan ini. Mengingat usianya yang sudah menginjak 77 tahun, Anwar secara terbuka menyatakan merasa lelah setelah hanya dua tahun menjabat dan menegaskan bahwa ia tidak berniat menjabat lebih dari sepuluh tahun. Pernyataan ini cukup mengejutkan sekaligus menyegarkan, datang dari seorang politisi veteran yang perjalanannya menuju kursi PM begitu panjang dan berliku.

Anwar Ibrahim: Cukup 10 Tahun Saja?

Anwar bahkan berpendapat bahwa masa jabatan yang terlalu panjang, seperti 22 tahun, telah "merusak negara" (rosak negara). Sindiran ini, tentu saja, secara implisit ditujukan kepada mentor sekaligus rival politiknya, Mahathir Mohamad. Anwar menekankan bahwa reformasi ini memerlukan negosiasi yang cermat dan harus disahkan oleh mayoritas dua pertiga di parlemen, sebuah tantangan politik yang tidak ringan. Kabinetnya pun telah ditugaskan untuk mengkaji ide ini secara mendalam.

Kritik Anwar terhadap periode 22 tahun jelas mengarah pada era pertama Mahathir Mohamad. Meskipun masa jabatan Mahathir tak dipungkiri memiliki pencapaian, periode tersebut juga ditandai dengan konsolidasi kekuasaan yang signifikan di sekitar lembaga eksekutif. Sejarah mencatat berbagai langkah sentralisasi di bawah pengawasannya, termasuk perluasan Kantor Perdana Menteri yang bahkan menyerap dinas sipil parlemen, yang mengurangi independensi legislatif.

Tak hanya itu, era Mahathir juga diwarnai oleh dugaan intervensi terhadap lembaga peradilan, pembatasan hak prerogatif monarki, penyerapan tanggung jawab yang awalnya berada di tangan pemerintah negara bagian, hingga pemilihan langsung pengusaha oleh negara untuk mendapatkan dukungan. Ditambah lagi dengan modifikasi sistem pemilihan internal di partainya saat itu, UMNO, posisi ganda sebagai presiden UMNO dan perdana menteri membuat sang pemegang jabatan nyaris tak tergoyahkan. Membuat benteng kekuasaan sepertinya jadi agenda sampingan saat itu.

Mahathir Mohamad: Dulu Setuju, Sekarang Beda Lagi?

Ironisnya, Mahathir sendiri pernah mendukung pembatasan masa jabatan pada tahun 2018. Dukungan itu muncul setelah upaya monumental yang ia dan para pemimpin oposisi lainnya lakukan untuk menggulingkan Najib Razak di tengah skandal 1MDB. Salah satu faktor yang membuat tugas itu begitu sulit adalah cengkeraman Najib pada aparat perdana menteri yang justru dibangun oleh Mahathir sendiri. Kesulitan inilah, ditambah usianya saat kembali menjabat, yang mendorong Mahathir mendukung pembatasan, dengan alasan ia tak mungkin diharapkan memimpin hingga usia 100 tahun.

Namun, dalam perdebatan terbaru ini, Mahathir justru menyatakan bahwa satu dekade tidaklah cukup waktu untuk mencapai kemajuan yang memadai. Perubahan sikap ini menambah bumbu menarik dalam diskursus politik Malaysia, menunjukkan betapa pandangan bisa berubah tergantung pada posisi dan konteks politik saat itu. Konsistensi politisi memang kadang sefleksibel karet gelang, ya?

Diskusi mengenai pembatasan masa jabatan ini datang pada waktu yang menarik bagi Anwar Ibrahim. Momentum untuk reformasi sistemik di bawah pemerintahannya terasa agak lambat, yang mungkin sedikit mengecewakan bagi para pemilih perkotaan yang mendambakan perubahan cepat. Sebagian alasannya bersifat finansial, karena Malaysia perlu menyeimbangkan neraca keuangannya dan mengurangi ketergantungan pada pendapatan minyak bumi.

Pemerintah saat ini perlu lebih fokus pada pengurangan daripada penambahan ‘gula-gula politik’ kepada para pemilih. Tantangan lain adalah mengelola komponen-komponen yang beragam dalam Pemerintahan Persatuan agar bergerak ke arah yang sama. Memang sudah ada beberapa capaian, seperti amandemen Konstitusi terkait kewarganegaraan dan pemulihan Akta Layanan Parlemen (yang membatalkan salah satu langkah sentralisasi Mahathir), namun belum ada pencapaian besar yang benar-benar menonjol.

Reformasi Ini Bisa Jadi Kartu As Anwar?

Mendorong pembatasan dua periode untuk jabatan puncak ini memiliki keuntungan signifikan bagi Anwar. Reformasi ini tidak memerlukan komitmen finansial yang besar. Begitu dukungan parlemen terkonsolidasi, implementasinya tidak akan serumit atau selama reformasi lainnya. Potensinya untuk mendapatkan dukungan luas, baik dari dalam maupun luar koalisi, juga cukup besar karena, logikanya, ini meningkatkan peluang lebih banyak anggota parlemen untuk bisa ‘mencicipi’ kursi PM.

Selain dukungan luas di dalam PH, beberapa pemimpin dari UMNO pun telah menyatakan dukungannya terhadap gagasan ini. Ini menunjukkan adanya potensi konsensus lintas partai yang bisa memperlancar jalan reformasi konstitusional tersebut. Dengan kata lain, ini bisa menjadi political move yang cerdas dari Anwar untuk menggalang dukungan dan mencetak poin politik tanpa menguras kas negara.

Namun, ide ini tentu saja menuai beragam reaksi dari pihak oposisi. Pemimpin PAS, Hadi Awang, menyebut langkah ini "bertentangan dengan kehendak Tuhan". Sementara itu, anggota parlemen PAS lainnya, Syahir Suleiman, menuntut agar setiap amandemen Konstitusi juga menetapkan syarat bahwa perdana menteri harus seorang Muslim. Sikap defensif ini kemungkinan besar muncul karena pengakuan bahwa reformasi semacam ini bisa memberi angin segar bagi popularitas Anwar.

Posisi PAS saat ini menjadi sedikit canggung karena fakta menunjukkan bahwa mereka pernah mendukung reformasi yang sama persis ini dalam beberapa kesempatan di masa lalu. Inkonsistensi ini tentu saja menjadi celah yang bisa dimanfaatkan oleh para pendukung reformasi untuk mempertanyakan motif sebenarnya di balik penolakan PAS kali ini. Sepertinya memori politik bisa sangat selektif, tergantung musim.

Reformasi pembatasan masa jabatan ini sangat mungkin bermetamorfosis menjadi sebuah kemenangan strategis bagi Anwar Ibrahim. Mengingat rentetan masa jabatan perdana menteri Malaysia yang ‘patah’ belakangan ini, serta perjalanan panjang Anwar sendiri menuju kursi PM, rasanya tak ada yang akan mempersoalkan jika ia mencalonkan diri untuk periode kedua. Jika Anwar berhasil mengawal perubahan aturan ini hingga tuntas dan kemudian memenangkan pemilu berikutnya, ini bisa menjadi warisan nyata yang secara jelas membedakannya dari Mahathir – sebuah graceful exit, penutup karir yang elegan.

Pada akhirnya, usulan pembatasan masa jabatan Perdana Menteri Malaysia ini lebih dari sekadar perubahan aturan main. Ini adalah diskursus tentang pencegahan pemusatan kekuasaan, upaya mendorong regenerasi kepemimpinan yang sehat, dan potensi pembentukan warisan politik bagi Anwar Ibrahim di tengah panggung politik Malaysia yang selalu dinamis. Perdebatan ini bukan hanya tentang angka 10 tahun, tetapi tentang arah masa depan demokrasi dan stabilitas politik di Negeri Jiran.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Mudik Lebaran Lebih Aman, Angka Kecelakaan Turun 12 Persen Kata Kapolri