Dark Mode Light Mode

Ilmuwan Berhasil Hentikan Gejala Long-COVID pada Tikus dengan Senyawa Antivirus Baru

Rasanya baru kemarin kita semua pakai masker ke mana-mana, eh, sekarang sudah berurusan sama aftermath-nya. Bagi sebagian orang, sembuh dari COVID-19 ternyata bukan akhir cerita, tapi justru awal dari babak baru yang nggak kalah challenging: Long COVID. Gejala sisa seperti lelah berkepanjangan, brain fog alias susah mikir, sampai masalah paru dan jantung, jadi teman sehari-hari jutaan orang di dunia. Kondisi ini bikin frustrasi karena obat efektif untuk mencegah atau mengobatinya secara tuntas masih jadi PR besar.

Secara global, lebih dari 77 juta orang dilaporkan mengalami gejala berkepanjangan setelah pulih dari infeksi awal Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Fenomena yang dikenal sebagai Long COVID atau Post-Acute Sequelae of COVID-19 (PASC) ini menghantui kehidupan banyak orang, bahkan mereka yang hanya mengalami infeksi ringan sekalipun. Bayangkan saja, sekitar satu dari tiga pasien non-rawat inap dilaporkan masih berjuang dengan gejala sisa ini.

Virus penyebabnya, Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2), memang sudah menginfeksi ratusan juta orang di seluruh dunia. Dampaknya terasa jauh melampaui fase sakit akut awal. Gejala Long COVID yang paling umum dilaporkan meliputi kelelahan ekstrem yang nggak hilang meski sudah istirahat, kesulitan berkonsentrasi atau "kabut otak", gangguan pernapasan, hingga masalah pada organ vital seperti jantung.

Meskipun vaksin dan obat antivirus yang ada saat ini, seperti Paxlovid, cukup efektif mengurangi risiko penyakit parah dan kematian akibat COVID-19 akut, sayangnya mereka belum terbukti ampuh melindungi kita dari serangan gejala persisten Long COVID. Proteksi terhadap fase akut penting, tapi perjuangan melawan efek jangka panjang ini membutuhkan strategi berbeda. Obat-obatan yang ada sekarang lebih banyak menargetkan enzim utama virus yang disebut Mpro (main protease).

Padahal, virus corona ini punya senjata lain, yaitu enzim papain-like protease (PLpro). Enzim ini nggak cuma krusial untuk replikasi virus itu sendiri, tapi juga lihai dalam menekan respons sistem imun tubuh kita. Ibaratnya, kalau Mpro itu kunci utama mesin virus, PLpro ini semacam sidekick licik yang bantu melumpuhkan pertahanan kita. Anehnya, potensi PLpro sebagai target obat selama ini belum banyak dieksplorasi.

Kondisi ini jelas menimbulkan kebutuhan mendesak akan terapi baru yang lebih spesifik menargetkan mekanisme penyebab Long COVID. Dunia medis terus mencari solusi, berharap menemukan cara untuk memutus rantai masalah kesehatan pasca-infeksi ini. Kabar baiknya, secercah harapan kini muncul dari sebuah studi praklinis terbaru yang mungkin bisa mengubah peta permainan dalam perang melawan Long COVID.

Sebuah tim peneliti di Australia baru-baru ini mempublikasikan temuan mereka di jurnal bergengsi Nature Communications. Mereka menyelidiki sebuah senyawa antivirus baru yang dirancang khusus untuk menargetkan enzim PLpro. Kandidat obat ini berpotensi menjadi pionir dalam pengobatan langsung untuk Long COVID, memberikan harapan baru bagi jutaan penderita yang kualitas hidupnya terganggu.

Mengenal Long COVID Lebih Dekat

Long COVID bukan sekadar rasa lelah biasa setelah sakit. Ini adalah konstelasi gejala kompleks yang bisa bertahan berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan mungkin tahunan setelah infeksi awal SARS-CoV-2 teratasi. Gejalanya sangat bervariasi antar individu, mulai dari yang ringan hingga yang sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Ini bukan lagi soal virusnya, tapi lebih ke respons tubuh yang "kacau" setelah pertempuran melawan infeksi.

Penyebab pasti Long COVID sendiri masih menjadi misteri yang coba dipecahkan para ilmuwan. Beberapa teori yang muncul antara lain adanya sisa-sisa virus atau partikelnya yang membandel di dalam tubuh, respons autoimun di mana sistem kekebalan tubuh malah menyerang sel sehat, hingga peradangan kronis yang terus-menerus terjadi di berbagai organ. Kompleksitas inilah yang membuat pengembangan terapinya menjadi sangat menantang.

WEHI-P8: Kandidat Obat Baru Penjegal Long COVID?

Dalam upaya menemukan senjata baru melawan PLpro, para peneliti memulai dengan menyaring lebih dari 400.000 molekul kecil. Proses screening masif ini menggunakan assay high-throughput yang dirancang khusus untuk mendeteksi aktivitas PLpro. Dari ratusan ribu kandidat, terpilihlah 16 senyawa paling menjanjikan yang kemudian divalidasi lebih lanjut, salah satunya menggunakan teknik surface plasmon resonance untuk menilai ikatan dan selektivitasnya terhadap target.

Kandidat terkuat awal, yang diberi nama WEHI-P1, kemudian "dimodifikasi" secara kimiawi oleh tim peneliti. Tujuannya adalah untuk meningkatkan potensinya. Hasilnya adalah WEHI-P4, yang menunjukkan aktivitas kuat dalam serangkaian tes biokimia, seluler, dan antivirus di laboratorium. Tak berhenti di situ, mereka menggunakan X-ray crystallography untuk memetakan bagaimana senyawa ini berikatan dengan PLpro, dan voila! terungkap bahwa ia menempel pada "kantong" baru di PLpro yang belum pernah disentuh obat lain.

Perbaikan struktural lebih lanjut menghasilkan WEHI-P8, sang bintang dalam studi ini. Senyawa ini menunjukkan karakteristik mirip obat yang sangat baik, termasuk inhibisi PLpro yang poten, bioavailability (kemampuan diserap tubuh) yang baik, dan interaksi minimal dengan enzim manusia lain yang bisa menyebabkan efek samping. WEHI-P8 tampak seperti kandidat ideal untuk melangkah ke pengujian selanjutnya yang lebih kompleks.

Uji Coba pada Tikus: Harapan dari Laboratorium

Tibalah saatnya menguji WEHI-P8 di "medan perang" sesungguhnya, yaitu pada model hewan praklinis COVID-19. Peneliti menggunakan model tikus yang dirancang untuk meniru kondisi penyakit ringan maupun parah, serta model tikus khusus yang gejalanya sangat mirip dengan Long COVID pada manusia. Mereka tidak hanya melihat kondisi fisik, tapi juga melakukan penilaian perilaku untuk mengevaluasi fungsi kognitif dan analisis jaringan untuk melihat patologi spesifik organ setelah pemulihan infeksi.

Hasilnya cukup mencengangkan. Pada tikus yang terinfeksi SARS-CoV-2, pemberian WEHI-P8 secara signifikan menurunkan viral load (jumlah virus dalam tubuh), mencegah penurunan berat badan yang drastis, dan mengurangi peradangan di paru-paru. Ini menunjukkan potensinya tidak hanya untuk Long COVID, tapi juga untuk mengatasi fase akut infeksi COVID-19 itu sendiri, sebuah double combo yang menarik.

Dibandingkan dengan terapi standar mirip Paxlovid, WEHI-P8 terbukti lebih efektif dalam mengurangi infiltrasi sel imun dan produksi sitokin (molekul pemicu peradangan) di paru-paru. Yang lebih keren lagi, WEHI-P8 mencapai hasil ini tanpa perlu obat pendamping seperti ritonavir yang sering digunakan untuk meningkatkan efektivitas Paxlovid. Ini tentu menjadi nilai plus karena mengurangi potensi interaksi obat.

Bukan Sekadar Obat COVID Biasa?

Pada model tikus Long COVID, hewan yang selamat dari infeksi awal menunjukkan masalah jangka panjang yang mirip dengan manusia. Mereka mengalami perdarahan paru yang berkepanjangan, penumpukan sel imun, dan jaringan parut hingga tiga bulan pasca-infeksi. Abnormalitas juga ditemukan pada jantung, usus, dan otak, termasuk peradangan dan penurunan fungsi kognitif yang terdeteksi melalui tes memori. Sounds familiar, kan?

Namun, ketika tikus-tikus ini diobati dengan WEHI-P8, hasilnya sangat menjanjikan. Tikus yang diobati menunjukkan perbaikan signifikan pada jaringan paru, penurunan penanda peradangan di otak, dan kinerja yang lebih baik dalam tes memori. Menariknya, tikus betina, yang dalam model ini menunjukkan gejala lebih parah (mirip pola pada manusia penderita Long COVID), merespons pengobatan dengan sangat baik. Fakta ini menggarisbawahi potensi WEHI-P8 dalam mengatasi aspek perbedaan gender pada Long COVID.

Meskipun temuan praklinis ini membawa angin segar bagi jutaan penderita Long COVID, penting untuk diingat bahwa ini masih bersifat eksperimental dan belum diuji pada manusia. Di sisi lain, senyawa antivirus baru ini juga menunjukkan reaktivitas silang dengan virus corona lain, mengisyaratkan potensi penggunaannya untuk menghadapi wabah coronavirus di masa depan. Namun, beberapa gejala seperti perubahan pada jantung dan usus tidak sepenuhnya pulih pada model tikus, menunjukkan kompleksitas Long COVID yang mungkin memerlukan pendekatan multi-target. Penelitian lebih lanjut, terutama uji klinis pada manusia, sangat diperlukan untuk membuktikan efektivitas dan keamanan WEHI-P8.

Secara keseluruhan, hasil studi ini menunjukkan bahwa inhibitor PLpro baru, WEHI-P8, memiliki potensi besar untuk mengurangi replikasi virus dan mencegah komplikasi jangka panjang COVID-19, setidaknya pada model hewan. Performanya yang lebih unggul dibandingkan beberapa aspek terapi saat ini, tanpa memerlukan obat tambahan, dan risiko interaksi obat yang lebih rendah, menjadikannya kandidat yang sangat menarik. Dengan menargetkan enzim virus yang berbeda, senyawa ini menawarkan strategi praklinis baru untuk mengatasi infeksi SARS-CoV-2 akut sekaligus momok menakutkan bernama Long COVID, memberikan harapan nyata untuk solusi yang selama ini kita nantikan.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Kamitsubaki Studio Luncurkan Game Perjalanan Motor Girls Made Pudding

Next Post

Ghost Ungkap Makna di Balik Peristiwa Papa Emeritus IV