Dark Mode Light Mode
MW: Odion Guncang Meta, Nostalgia 2012 Menggema!
ICJR Kecam Penempatan Penembak Jitu untuk Pengamanan Mudik Lebaran: Berlebihan dan Berisiko
Hikaru Utada Lebih Memilih CERN daripada Coachella

ICJR Kecam Penempatan Penembak Jitu untuk Pengamanan Mudik Lebaran: Berlebihan dan Berisiko

Wahai gen Z dan milenial, sudah siap menyambut mudik dengan semangat 45, tapi juga dengan pikiran yang cerdas? Mari kita bedah isu yang lagi hangat, yaitu rencana pengerahan penembak jitu alias sniper untuk mengamankan arus mudik lebaran. Berita ini bikin geleng-geleng kepala, kan? Daripada cuma ngomel di sosmed, yuk, kita telaah lebih dalam.

Rencana ini datang dari para Kapolres di beberapa daerah, seperti Cianjur, Purwakarta, dan Karanganyar. Ide awalnya sih mungkin bagus, yaitu menjaga keamanan para pemudik. Bayangin aja, jalanan macetnya minta ampun, potensi tindak kriminal meningkat, jadi perlu langkah antisipasi yang… "ekstrim." Tapi, apakah benar solusinya tepat sasaran? Mari kita lihat.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) angkat bicara dengan nada cukup keras. Mereka mengkritik habis-habisan rencana ini. Menurut mereka, pengerahan sniper itu berlebihan dan berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM). Sebuah pernyataan yang patut kita renungkan bersama.

ICJR menilai, langkah ini menunjukkan cara pandang yang kurang proporsional dalam menangani masalah keamanan. Jadi, solusi yang ditawarkan justru lebih berbahaya daripada masalahnya sendiri. Ibaratnya, mau nyamuk malah pakai meriam.

Penting untuk diingat, semua tindakan penegakan hukum harus berpegang teguh pada prinsip HAM. Ini bukan cuma jargon, tapi garansi bagi setiap warga negara. Memang, keamanan penting, tapi bukan berarti kita mengorbankan hak-hak dasar individu.

Penggunaan kekuatan oleh aparat keamanan sudah diatur dalam Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 (Perkap 1/2009). Intinya, penggunaan senjata api harus menjadi opsi terakhir, dengan tujuan melumpuhkan, bukan membunuh. Harus ada pertimbangan matang sebelum menembak, ya.

Makanya, ICJR menekankan bahwa setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak mendapatkan peradilan yang adil dan tidak memihak. Hak ini akan hilang jika seseorang ditembak sebelum sempat membela diri di pengadilan. Nah, di sinilah letak masalahnya.

Sniper vs Harmoni Mudik: Antara Keamanan dan Hak Asasi

Rencana pengerahan sniper ini jelas menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah benar-benar diperlukan? Apa dampaknya bagi masyarakat? Dan yang paling penting, apakah sepadan dengan risiko pelanggaran HAM? Ini bukan cuma masalah teknis, tapi juga soal etika dan keadilan.

ICJR berpendapat, pengerahan tim penembak jitu ini, selain berlebihan, juga merupakan pendekatan “represif.” Artinya, lebih berorientasi pada penindasan daripada memberikan rasa aman. Keamanan publik memang penting, tapi bukan berarti bisa dicapai dengan cara mengintimidasi dan melakukan kekerasan.

Bayangkan situasi di jalanan saat mudik. Macet, emosi memuncak, dan kemungkinan terjadi gesekan. Jika ada sniper yang "siaga," bisa jadi tindakan sekecil apapun akan dinilai sebagai ancaman. Siapa yang mau ambil risiko jadi target?

Selain itu, pengerahan sniper juga berpotensi melegitimasi "extrajudicial killing," yaitu pembunuhan di luar proses hukum. Ini sangat berbahaya dan bertentangan dengan prinsip negara hukum. Keadilan harus ditegakkan melalui pengadilan, bukan melalui peluru.

Data menunjukkan bahwa tindakan represif lebih sering menimbulkan efek negatif daripada positif. Justru bisa memicu ketakutan, kecemasan, dan bahkan perlawanan. Jadi, strategi keamanan yang efektif haruslah inklusif dan berbasis pada pendekatan humanis.

Mengapa Pendekatan Humanis Lebih "Mendul"?

Pendekatan berbasis HAM bukan berarti "lunak" terhadap pelaku kejahatan. Justru, dengan menghargai hak asasi, kita menciptakan lingkungan yang lebih aman dan stabil. Masyarakat akan merasa lebih nyaman dan percaya pada aparat penegak hukum.

Alternatif lain selain sniper, misalnya:

  • Peningkatan patroli: Lebih banyak polisi di lapangan untuk mengawasi dan mengamankan situasi.
  • Pengaturan lalu lintas yang lebih baik: Antisipasi kemacetan, dan solusi yang lebih efektif.
  • Peningkatan edukasi: Kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan keamanan dan ketertiban.

Pendekatan yang lebih humanis juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada aparat keamanan. Ini sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif selama mudik. Ini bukan hanya soal keamanan fisik, tetapi juga kesejahteraan dan ketenangan pikiran.

Langkah Selanjutnya: Meminta Pertanggungjawaban

ICJR meminta agar rencana pengerahan sniper ini dibatalkan. Mereka juga mendesak Kapolri untuk mengambil tindakan tegas terhadap para Kapolres yang mengusulkan kebijakan ini. Langkah ini penting untuk memberikan efek jera dan menjaga akuntabilitas.

Kita sebagai masyarakat juga memiliki peran penting. Kita bisa menyuarakan pendapat, memberikan dukungan kepada lembaga yang peduli HAM, dan terus memantau perkembangan kasus ini. Jangan biarkan isu ini berlalu begitu saja.

Jadi, rencana pengerahan sniper ini adalah isu yang rumit dan kompleks. Perlu penanganan yang cermat dan bijaksana untuk menjaga keamanan dan hak asasi manusia. Kita tidak bisa hanya mengandalkan solusi instan yang berpotensi melanggar prinsip-prinsip keadilan.

Intinya, mari kita mudik dengan aman, nyaman, dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ingat, keamanan bukan cuma tanggung jawab aparat, tapi juga tanggung jawab kita bersama.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

MW: Odion Guncang Meta, Nostalgia 2012 Menggema!

Next Post

Hikaru Utada Lebih Memilih CERN daripada Coachella