Ketika Cinta Dipukuli: Catatan dari Banda Aceh, 2025
Bayangkan ini: Tahun 2025, kamu lagi scroll media sosial, ngelihat meme lucu, atau mungkin debat soal outfit yang lagi hype. Tiba-tiba, muncul berita soal dua orang pria di Aceh yang dicambuk di depan umum karena "berbuat salah". Feels like a bad joke, right?
Di sebuah taman kota di Banda Aceh, dua pria berusia 24 dan 18 tahun menerima hukuman cambuk karena dianggap melakukan hubungan sesama jenis. Peristiwa ini terjadi setelah mereka ditangkap di kamar sewa mereka, di mana warga menemukan mereka dalam keadaan berpelukan. Hukum syariah diterapkan di provinsi tersebut, dan hukuman seperti ini bukanlah hal baru. Savage sih.
Tradisi vs. Modern: Menemukan Titik Temu yang Hilang
Aceh, provinsi yang memiliki otonomi khusus untuk menerapkan hukum syariah, memang punya cerita panjang soal penerapan hukum yang kadang bikin geleng-geleng kepala. Hukum ini diterapkan sebagai bagian dari kesepakatan damai untuk mengakhiri pemberontakan separatis yang sudah berlangsung lama. Politik emang selalu punya cara buat bikin drama.
Kedua pria ini dihukum cambuk berulang kali oleh sekelompok algojo yang mengenakan jubah dan penutup kepala. Kayak di film-film kolosal gitu. Mereka bahkan diberi jeda untuk minum dan mengobati luka setelah beberapa kali cambukan. Sementara itu, dua orang lainnya juga mendapatkan hukuman karena berjudi. Dunia emang gak adil.
Ketika "Moralitas" Jadi Senjata:
Hukuman cambuk di Aceh bukan cuma buat kasus LGBT. Pelanggaran lain seperti berjudi, minum alkohol, wanita berpakaian ketat, dan pria yang tidak ikut salat Jumat juga bisa kena hukuman. Daftar dosanya panjang bener. Hukum ini semakin diperluas pada tahun 2015, bahkan untuk mereka yang disebut "non-Muslim". Gimana ceritanya ini?
Yang bikin miris, hukuman cambuk ini dilakukan di depan umum. Seolah-olah, tujuannya bukan hanya menghukum, tapi juga untuk mempermalukan dan memberikan pelajaran bagi masyarakat. Apalagi kalo bukan buat pencitraan. Kita semua tahu efeknya di media sosial, bikin heboh, dan jadi bahan perdebatan tanpa ujung. Ironisnya, hukum ini juga banyak dikritik oleh kelompok HAM karena dinilai melanggar hak asasi manusia.
Bebas Tapi Terjajah: Antara Otonomi dan Kontroversi
Pemerintah pusat Indonesia sendiri sebenarnya tidak punya wewenang untuk mengubah hukum syariah di Aceh. Powerless banget. Tapi, pernah ada upaya untuk menghentikan hukuman mati karena perzinahan karena tekanan dari pemerintah pusat. Cuma beda tipis.
Sebenarnya, apa sih yang "salah" dari cinta? Apakah cinta harus dibatasi oleh aturan-aturan tertentu? Pertanyaan klasik, ya kan? Apalagi kalau kita ngomongin hak asasi manusia, termasuk hak untuk mencintai siapa saja.
Soal hukum syariah dan bagaimana penerapannya di Aceh, memang selalu jadi perdebatan yang complicated. Di satu sisi, ada keinginan untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional dan agama. Di sisi lain, ada tuntutan untuk menghormati hak asasi manusia dan menjunjung tinggi keadilan.
Ini bukan soal benar atau salah, tapi lebih ke bagaimana kita sebagai manusia bisa saling menghargai perbedaan. Bagaimana caranya supaya nilai-nilai agama bisa sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, tanpa harus ada yang tersakiti. Butuh lebih dari sekadar debat di Twitter.
Mungkin, sudah saatnya kita lebih terbuka untuk berdiskusi, mencari solusi yang win-win, dan yang paling penting, berhenti menghakimi. Karena pada akhirnya, cinta itu seharusnya mempererat, bukan malah memecah belah. Mari kita berharap ada lebih banyak ruang bagi cinta, toleransi, dan kebebasan.