Waktu adalah uang, dan di era sekarang, kecepatan adalah segalanya, termasuk dalam dunia Aparatur Sipil Negara (ASN). Pernyataan keras dari Presiden Prabowo mengenai perlunya efisiensi dan penghapusan budaya kerja yang lambat menjadi sinyal jelas bahwa reformasi birokrasi tidak bisa lagi berjalan di tempat. Mari kita bedah lebih jauh, kenapa sih, kinerja ASN masih sering dikeluhkan, dan apa solusinya yang lebih relevan di zaman now?
Di tengah gempuran teknologi dan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi, ASN memang dituntut untuk terus beradaptasi. Berbagai regulasi dan sistem telah disusun, mulai dari manajemen ASN yang komprehensif hingga penggunaan teknologi dalam berbagai aspek pekerjaan. Kita sudah punya berbagai tools dan instrumen yang seharusnya membuat pekerjaan lebih efektif dan efisien. Tapi, kenapa ya, masih sering terdengar keluhan mengenai lambatnya pelayanan?
Sejak beberapa dekade, kita memang fokus membangun fondasi. Dikeluarkannya berbagai regulasi, standar operasional prosedur, penilaian kinerja, serta penerapan teknologi dalam berbagai bidang, adalah bukti kemajuan yang patut diapresiasi. Data juga menunjukkan peningkatan signifikan. Peringkat Indonesia dalam Worldwide Governance Indicators membaik, begitu pula Government Effectiveness dan Global Innovation Index. Bahkan, dalam Electronic Government Development Index (EGDI), kita menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan.
Namun, peningkatan di berbagai indikator itu sepertinya belum sepenuhnya menyentuh core masalah. Presiden Prabowo dengan tegas menyoroti budaya kerja ASN yang masih dianggap kurang responsif. Perintahnya jelas: budaya birokrasi yang buruk harus dihapuskan, terutama mentalitas "kalau bisa susah, kenapa dibikin gampang." Ini adalah tantangan besar yang membutuhkan pendekatan yang lebih holistik.
Kita juga tidak kekurangan panduan. Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 39 Tahun 2012 telah berusaha mendorong perubahan sikap dan perilaku ASN. Selain itu, kita punya BerAKHLAK, sebagai core values dan employee branding ASN saat ini. Ini adalah dasar-dasar yang baik, namun implementasinya di lapangan, seringkali, masih jauh dari harapan.
Apalagi, kita juga memiliki landasan hukum yang kuat, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. Ini bertujuan untuk membangun karakter dan moralitas. Tapi, regulasi saja tidak cukup, karena implementasi di lapangan yang menjadi tantangan terbesarnya. Mengapa semuanya sudah lengkap, tapi kinerja belum juga sesuai harapan?
Membongkar Akar Masalah: Lebih dari Sekadar Regulasi
Sistem sudah ada, tapi ada yang kurang. Ada sesuatu yang lebih mendasar yang perlu diperbaiki: pola pikir dan budaya kerja. Itulah mengapa, bukan hanya regulasi yang perlu diperhatikan, tapi juga bagaimana cara mengimplementasikannya ke dalam praktik sehari-hari.
Pengalaman masa lalu, seperti di era kepemimpinan A.E. Manihuruk di BAKN (Badan Administrasi Kepegawaian Negara), memberikan gambaran yang menarik. Manihuruk, dengan gaya disiplinnya yang khas, berhasil mengubah pandangan pegawai terhadap pekerjaan. Dia menanamkan kesadaran akan pentingnya disiplin, ketertiban, dan tanggung jawab. Mungkin inilah yang sekarang kurang.
Membangun budaya kerja yang positif, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, ini bukan berarti tidak bisa dilakukan. Dalam kasus BAKN di masa lalu, Manihuruk berhasil menciptakan bonding yang kuat dengan para pegawai. Ia memberikan hukuman yang berat tapi juga mempertimbangkan berbagai hal.
Kita seringkali melihat bagaimana orang Indonesia bisa sangat disiplin dan tertib ketika berada di luar negeri, tapi kemudian kembali ke kebiasaan lama ketika pulang ke tanah air. Ini menunjukkan bahwa perubahan pola pikir adalah kunci. Disiplin dan efisiensi bisa tercipta kalau kita mau menghilangkan kebiasaan buruk.
Sentuhan Manusiawi dalam Kepemimpinan: Kunci Perubahan
Berbicara mengenai perubahan, pendekatan yang lebih modern dan relevan adalah dengan memperhatikan aspek emosional. Selain perbaikan dalam sistem kerja dan regulasi, ada hal lain yang lebih penting, yaitu membangun hubungan yang kuat antara pemimpin dan bawahan. Ini adalah kunci untuk menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan harmonis.
Memperbaiki sistem kerja ASN agar tidak “seenaknya” berarti menekankan pada pembinaan dan pertumbuhan individu. Dengan kata lain, kepemimpinan yang kuat adalah kunci keberhasilan. Pemimpin tidak hanya bertugas memberi arahan atau mengejar target, tapi juga harus membangun hubungan yang lebih dalam dengan anak buah.
Artikel Kompas.id (7/12/2024), dengan tepat menggarisbawahi pentingnya kepemimpinan yang menyentuh hati. Seorang pemimpin tidak bisa lagi hanya bersembunyi di balik meja, memberikan perintah tanpa peduli dengan kondisi anak buah.
Menunjukkan emosi dalam kepemimpinan bukanlah kelemahan, karena emosi adalah inti dari interaksi manusia. Menghilangkan unsur emosi berarti menghilangkan bagian penting dari kepemimpinan yang baik. Dengan demikian, semangat dan motivasi dari para pegawai dapat meningkat.
Contoh nyata, seperti Tony Fernandes, CEO Air Asia, menunjukkan bahwa membangun kepercayaan dan bonding yang kuat dengan timnya adalah kunci keberhasilan. Karyawan merasa dihargai dan termotivasi untuk bekerja lebih baik.
Hal ini pada akhirnya akan menciptakan budaya kerja yang produktif, efisien, dan responsif. Jika sudah ada regulasi dan teknologi yang memadai, maka peran pemimpin untuk menyentuh hati para bawahannya menjadi sangat penting, sehingga permintaan Presiden Prabowo untuk merumuskan perbaikan sistem kerja ASN dapat terwujud.
Transformasi Birokrasi Butuh Lebih dari Regulasi: Implementasi & Pembinaan
Dengan melihat berbagai aspek di atas, jelas bahwa reformasi birokrasi yang komprehensif membutuhkan lebih dari sekadar regulasi yang ketat. Sistem sudah ada, teknologi sudah canggih, tapi yang paling penting adalah implementasi dan pembinaan.
Data menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam berbagai indikator, tapi kesan lambatnya birokrasi masih terasa. Maka, pendekatan yang tepat untuk saat ini adalah menekankan pada perubahan pola pikir, peningkatan kualitas kepemimpinan, dan pembinaan SDM.
Perubahan pola pikir ASN yang berorientasi pada pelayanan, akuntabel, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif (BerAKHLAK) harus terus diinternalisasi dan dipraktikkan. Selanjutnya, kepemimpinan menjadi kunci untuk menghasilkan birokrasi yang efektif, efisien, serta responsif.
Implementasi nilai-nilai BerAKHLAK dan peningkatan kualitas kepemimpinan adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Pembinaan dan peningkatan kapasitas ASN secara berkelanjutan menjadi mutlak diperlukan.
Dengan menggabungkan ketiga elemen kunci ini, kita bisa berharap melihat transformasi nyata dalam kinerja ASN. Bukan lagi sekadar jargon, melainkan sebuah perubahan yang berdampak positif bagi pelayanan publik dan kemajuan bangsa.