Berita baik buat kita semua: Universitas Warmadewa baru saja mengadakan program pengabdian masyarakat yang keren banget di Desa Sayan, Ubud. Judulnya aja udah bikin penasaran, "Tata Kelola Kolaboratif Berbasis Tri Hita Karana antara Desa Dinas dan Desa Adat di Desa Sayan." Nah, penasaran kan gimana cara mereka menggabungkan dua sistem pemerintahan yang berbeda ini? Mari kita bedah bersama!
Mengapa Desa Adat Bali Masih Relevan di Era Modern?
Desa Adat di Bali bukan cuma sekadar tempat tinggal, tapi juga benteng terakhir komunitas hukum adat di Indonesia. Prof. I Made Suwitra dari Universitas Warmadewa menekankan bahwa desa adat ini punya kekuatan hukum yang kuat. Gak main-main, pengakuan hukumnya bahkan tertulis dalam UUD 1945, UU Desa, dan Perda Bali. Emangnya apa sih yang bikin desa adat ini istimewa? Ya, karena mereka menjaga nilai-nilai tradisional dan budaya Bali yang unik, bahkan di tengah gempuran modernisasi.
Desa Adat ini juga punya peran penting dalam menjaga keharmonisan sosial. Mereka berpegang teguh pada prinsip Tri Hita Karana, yaitu hubungan yang baik dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Bayangin, di tengah hiruk pikuk pariwisata, desa adat berusaha menjaga keseimbangan ini. Walaupun begitu, tantangannya juga gak ringan nih, terutama soal batasan wewenang dengan Desa Dinas.
Konflik sering terjadi karena adanya tumpang tindih kewenangan, terutama dalam pelayanan publik dan tata ruang. Misalnya, saat pengembangan pariwisata yang kadang-kadang bertentangan dengan aturan adat. Jadi, gimana caranya biar dua lembaga ini bisa kerjasama dengan baik?
Kolaborasi: Kunci Sukses Tata Kelola Desa di Bali
I Gusti Ngurah Krisna Dana, dosen dari Universitas Warmadewa, menawarkan solusi yang cukup menarik. Dia bilang, sistem ganda di Bali ini, yang seringkali dianggap sebagai sumber konflik, justru bisa menjadi kekuatan kalau ada mekanisme kolaborasi yang baik. Krisna Dana menekankan bahwa keputusan yang dihasilkan dari dialog antara Desa Dinas dan Desa Adat akan meningkatkan legitimasi tata kelola dan juga meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Tentu saja, tantangannya juga banyak. Mulai dari peraturan yang tumpang tindih, komunikasi yang kurang efektif, hingga keterbatasan teknologi. Desa Dinas kan beroperasi berdasarkan UU Desa, sementara Desa Adat berpegang pada hukum adat. Bingung kan? Maka dari itu, perlu ada upaya bersama untuk membuat regulasi yang terintegrasi yang menghormati kedua sistem. Selain itu, penting juga untuk meningkatkan kemampuan pejabat desa dan tokoh adat, terutama dalam mengadopsi teknologi.
Perlu adanya forum komunikasi rutin dan pelatihan untuk memperkuat kolaborasi tersebut. Bagaimana caranya? Mari kita intip beberapa contoh sukses yang sudah ada!
Contoh Nyata: Subak dan Pengelolaan Sampah yang Memukau
Salah satu contoh kolaborasi yang sukses adalah sistem Subak. Subak ini adalah organisasi pengelolaan air tradisional Bali yang menggabungkan dimensi spiritual, sosial, dan ekologis. Aturannya dibuat berdasarkan awig-awig dan proses pengambilan keputusan secara kolektif. Subak menunjukkan bahwa praktik yang sudah berumur ratusan tahun masih relevan untuk mengatasi masalah modern, misalnya pengelolaan air untuk pertanian dan penyelesaian konflik antar petani.
Contoh lain yang tak kalah menarik adalah sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Hukum adat digunakan untuk mengatasi masalah lingkungan. Misalnya, larangan penggunaan plastik sekali pakai di pura, sanksi adat untuk yang buang sampah sembarangan, dan pembentukan bank sampah berbasis masyarakat. Keren kan? Mereka berhasil menggabungkan otoritas tradisional dengan tata kelola lingkungan modern.
Membuka Tirai: Refleksi dan Komitmen Masyarakat Desa Sayan
Program pengabdian masyarakat ini mendapat sambutan yang luar biasa dari berbagai pihak. Tokoh-tokoh dari Desa Dinas dan Desa Adat, organisasi kepemudaan, dan aktivis lokal ikut berpartisipasi aktif. Diskusi berjalan seru, mencerminkan kesadaran kolektif tentang pentingnya integrasi kedua sistem pemerintahan. Masalah yang muncul pun beragam, mulai dari tumpang tindih wewenang hingga erosi nilai-nilai tradisional akibat pariwisata. Mereka juga menyampaikan kebutuhan platform bersama untuk memecahkan masalah bersama.
Dr. I Wayan Gede Suacana bahkan menekankan nih, kalau Desa Sayan punya potensi besar untuk menjadi contoh bagi desa-desa lain di Bali yang menghadapi dinamika pemerintahan serupa. Universitas Warmadewa juga berkomitmen untuk terus terlibat, baik melalui penelitian, pengabdian masyarakat, maupun peran penasihat, demi mewujudkan model tata kelola kolaboratif yang inklusif, berakar pada budaya, dan adaptif terhadap tantangan zaman sekarang. Pengalaman di Desa Sayan ini bisa jadi best practice untuk desa-desa lain di Indonesia.
Satu hal yang pasti, penggabungan antara Desa Dinas dan Desa Adat akan menjadi kunci untuk menjaga identitas budaya Bali, sekaligus memastikan administrasi publik yang efektif. Jangan sampai, ya, tradisi yang ada malah hilang ditelan modernisasi. Dengan kolaborasi yang solid, Bali bisa tetap jadi pulau yang indah dan kaya budaya.
Kesimpulan: Merajut Harmoni, Membangun Masa Depan Bali
Singkatnya, program pengabdian masyarakat di Desa Sayan ini adalah langkah penting untuk membangun tata kelola desa yang berkelanjutan di Bali. Kolaborasi antara Desa Dinas dan Desa Adat, dengan berlandaskan Tri Hita Karana, adalah kunci untuk menjaga budaya Bali dan memastikan pemerintahan yang efektif. Ini bukan cuma soal aturan dan birokrasi, tapi juga soal menjaga warisan leluhur dan menemukan solusi bersama untuk tantangan masa depan.