Dark Mode Light Mode

Hak-hak Masyarakat Adat: Paradoks ASEAN dalam Konteks Indonesia

Rasa-rasanya, kita perlu ngobrol serius (tapi santai, ya) soal nasib saudara-saudara kita dari komunitas adat di Asia Tenggara. Hari ini, tepatnya 19 Maret 2025, ada banyak hal yang perlu kita renungkan dan kita diskusikan lebih lanjut.

Pembahasan ini bukan sekadar topik hangat di meja kopi, melainkan juga menyinggung isu yang sangat krusial: hak asasi manusia (HAM) dan pembangunan berkelanjutan. Negara-negara di Asia Tenggara, yang tergabung dalam ASEAN, memiliki peran penting dalam menjaga keberlangsungan hidup masyarakat adat. Namun, kenyataannya kadang jauh panggang dari api.

Sebagai pengantar, mari kita ingat kembali bahwa hanya sedikit negara ASEAN yang secara resmi mengakui keberadaan masyarakat adat, apalagi melindungi hak-hak mereka. Beberapa yang "mendapat rapor merah" dalam hal ini adalah Indonesia, Laos, Thailand, dan Vietnam. Miris, kan?

Indonesia, contohnya, meski sudah ada amandemen konstitusi (pasal 18b-2) yang mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat, masih belum optimal dalam memberikan perlindungan hukum bagi mereka. Ini seperti punya pisau, tapi jarang dipakai untuk mengiris kue.

Dokumen ASEAN Human Rights Declaration juga seringkali dianggap kurang memadai dalam menyuarakan hak-hak masyarakat adat. Ironisnya, semua negara anggota ASEAN menyetujui United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) pada 2007. Janji tinggal janji, ya, kalau tidak dijalankan dengan tulus?

Masyarakat adat, dengan kearifan lokal dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, adalah kunci dalam menjaga keanekaragaman hayati dan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Agenda 2030. Mereka adalah penjaga lingkungan sekaligus pewaris tradisi leluhur. Namun, seringkali hak-hak mereka malah dilanggar.

Malaysia: Memegang Kunci, Akankah Dibuka?

Malaysia, sebagai ketua ASEAN saat ini, memegang peran penting dalam mendorong perubahan. Negara ini memang mengakui masyarakat adat sebagai Orang Asal atau Orang Asli. Tapi nyatanya, masih banyak tantangan yang dihadapi.

Salah satu contohnya adalah kasus di Sabah, di mana lahan adat dari komunitas Rungus di Pantai Bangau, Kudat, terancam akibat proyek pertambangan pasir silika oleh perusahaan asal China. Proyek yang katanya mendukung transisi energi (karena silika dipakai untuk panel surya) ini justru mengganggu kehidupan masyarakat adat dan ekosistem laut.

Masyarakat adat, khususnya perempuan, bahkan dituduh melakukan pelanggaran karena mengakses hutan mereka sendiri. Aneh, ya?

Nah, di sinilah peran Malaysia sebagai ketua ASEAN menjadi krusial. Perdana Menteri Anwar Ibrahim harus membuka diskusi lebih luas mengenai situasi hak-hak masyarakat adat, terutama dalam penyusunan ASEAN Declaration on Environmental Rights. Kita berharap ada perubahan signifikan.

Suara dari REP: Harapan dan Kekhawatiran

Untuk memperdalam pemahaman, kita bisa mengutip Robeliza Halip, Direktur Eksekutif Sementara Right Energy Partnership with Indigenous Peoples (REP). REP ini fokus pada isu HAM masyarakat adat dalam transisi menuju masyarakat net-zero. Jadi, mereka mengadvokasi peralihan energi terbarukan yang diinisiasi dan berpihak pada masyarakat adat.

Hal pertama yang patut digarisbawahi adalah seberapa besar kita bisa berharap dari kepemimpinan Malaysia di ASEAN dalam memperjuangkan hak masyarakat adat di kawasan ini. Ini adalah pertanyaan krusial.

Halip berharap perwakilan Malaysia di ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), khususnya Edmund Bon Tai Soon selaku ketuanya, bisa memperjuangkan penguatan mandat perlindungan AICHR, bukan hanya promosi HAM yang terkesan "vague" alias samar-samar. Kita berharap, nih.

Idealnya, masyarakat adat harus punya ruang untuk terlibat langsung di level tinggi ASEAN, tidak hanya dengan AICHR tapi juga dengan para pemimpin politik tertinggi. Ini yang perlu diperjuangkan.

Deklarasi Lingkungan: Jangan Sampai Melewatkan Masyarakat Adat

Ada kekhawatiran terkait ASEAN Declaration on Environmental Rights. Beberapa pihak, seperti yang ditulis dalam sebuah advocacy paper oleh Stockholm Environment Institute, khawatir rancangan tersebut tidak membahas sama sekali hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah dan wilayah adat, sumber daya alam, dan pengetahuan tradisional mereka.

Halip juga mengiyakan kekhawatiran tersebut. Menurutnya, lobi dengan kementerian lingkungan di negara-negara ASEAN sangat penting. Dengan kepemimpinan Malaysia di AICHR dan beberapa perwakilan baru, harapannya mereka akan memperkuat aspek perlindungan HAM dan lingkungan dalam deklarasi tersebut.

Khusus bagi masyarakat adat, hak-hak kolektif mereka yang tercantum dalam UNDRIP harus jelas tertulis. Termasuk pengakuan dan penguatan sistem pengelolaan sumberdaya alam mereka, serta hak untuk mendapatkan Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sebelum proyek apapun yang berdampak pada wilayah dan masyarakat adat dilaksanakan.

Jalan Panjang Menuju Keadilan

Kita semua sepakat bahwa tingkat ambisi dalam memajukan hak-hak masyarakat adat di kawasan ini harus meningkat drastis. Kita harus memastikan deklarasi baru tersebut berpihak pada hak-hak mereka.

Adanya workshop AICHR di Filipina (Desember lalu) soal praktik terbaik dalam mempromosikan pengetahuan adat dalam mengatasi perubahan iklim adalah langkah positif. Namun, itu jelas belum cukup.

Draft ASEAN Vision 2045, dokumen strategi yang akan menentukan arah pembangunan komunitas negara-negara ini selama beberapa dekade ke depan, juga harus menegaskan peran masyarakat adat di masa depan ASEAN.

Bisakah kepemimpinan Malaysia melakukan sesuatu yang signifikan? Kita berharap, iya. Ini bukan hanya keinginan, tapi juga keharusan.

Salah satu pendekatan yang mungkin adalah pembentukan mekanisme permanen masyarakat adat di dalam ASEAN. Mekanisme ini harus diakui sepenuhnya oleh negara-negara anggota, namun tetap otonom dari ASEAN dan sekretariatnya. Kepengurusannya harus sepenuhnya berasal dari masyarakat adat di kawasan ini.

Mekanisme ini bisa digunakan untuk membahas isu-isu penting yang berdampak pada masyarakat adat. Lewat mekanisme ini, perwakilan masyarakat adat bisa berinteraksi langsung dengan organ-organ ASEAN yang relevan. Walaupun resolusi dari badan ini tidak mengikat, ini akan menjadi game changer tidak hanya bagi masyarakat adat di kawasan, tapi juga bagi Asia secara keseluruhan.

Sebagai penutup, mari kita terus mengawal dan menyuarakan hak-hak masyarakat adat. Perjuangan ini adalah perjuangan kita semua.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Tantangan Warna: Uji Coba Teori Warna Dalam Bahasa Indonesia

Next Post

Flipkart dan Nothing: Terobosan Pemasaran Ponsel, Seruan Penggunaan Teknologi Bijak di Indonesia