Dark Mode Light Mode

Efektivitas Klinis Termografi Inframerah dan Uji Aksis Sudomotor Kuantitatif: Implikasi Diagnosis di Indonesia

Jadi, mari kita bahas sesuatu yang mungkin belum pernah Anda dengar (atau mungkin sudah, tapi tetap saja membingungkan): Complex Regional Pain Syndrome (CRPS). Ingat, artikel ini bukan untuk mereka yang sok tahu, tapi untuk kita-kita yang mau lebih paham, tanpa harus merasa kayak lagi ujian.

Sekarang, skip bagian definisi yang bikin ngantuk. Secara singkat, CRPS itu kayak, "sakit yang keterlaluan, terus-menerus, dan nggak jelas kenapa". Biasanya, pemicunya adalah cedera atau operasi. Bayangkan remuk jari kaki gara-gara salah tendang meja, tapi sakitnya masih terasa sampai bertahun-tahun kemudian. Seram, kan?

CRPS ini ibarat sindrom misterius. Rasanya, kayak ada empat jagoan yang jadi ciri khasnya. Tapi, jangan harap ada topi baja atau pedang; gejala yang muncul justru lebih ke arah perubahan pada indra, kayak tiba-tiba kulit jadi lebih sensitif atau bahkan kebal sama sentuhan. Ada juga perubahan pada sistem saraf otonom yang bikin keringetan berlebihan atau tangan jadi dingin kayak es. Terus yang terakhir, ada perubahan pada jaringan, misalnya kulit jadi lebih tipis atau kuku rapuh.

Meskipun bikin hidup nggak enak, penyebab pasti CRPS masih jadi misteri. Dan yang bikin pusing lagi, belum ada alat tes yang bener-bener bisa memastikan diagnosis. Jadi, dokter biasanya cuma mengandalkan pemeriksaan fisik. Ibarat tebak-tebakan, karena nggak ada bukti konkret yang bisa dijadikan pegangan.

Dan yang lebih rumit, CRPS seringkali berurusan sama urusan hukum. Ada klaim kompensasi karena sakitnya nggak kunjung sembuh. Jadinya serba salah. Pengen sembuh, tapi juga harus mikir soal urusan legal.

Nah, untuk membantu diagnosis, ada beberapa tes laboratorium yang bisa dipakai. Jangan kaget kalau bahasa medisnya lumayan njelimet. Untungnya, kita nggak perlu jadi dokter buat memahami intinya. Beberapa tes yang biasa dipakai meliputi infrared thermography, QSART, dan three-phase bone scintigraphy. Tenang aja, kita bakal bahas satu per satu.

Infrared Thermography: Mengintip Suhu Tubuh

Tes ini paling populer karena gampang dilakukan dan nggak invasif. Mirip kayak pakai kamera termal buat lihat suhu tubuh. Kalau ada CRPS, biasanya ada perbedaan suhu antara bagian tubuh yang sakit dengan yang nggak. Logikanya, ada gangguan sirkulasi darah yang bikin suhu tubuh berubah.

Bayangkan: kita taruh kamera di bagian tubuh yang terasa sakit, bandingkan hasilnya dengan sisi lainnya. Kalau ada perbedaan suhu lebih dari 1°C, ya, kemungkinan besar ada sesuatu yang nggak beres. Gampang, kan?

Sayangnya, hasil infrared thermography bisa dipengaruhi banyak faktor, kayak suhu ruangan atau bahkan baju yang kita pakai. Jadi, memang nggak sesempurna itu. Tapi setidaknya, ini jadi alat bantu yang cukup berguna.

QSART: Menguji Keringat Lewat Setruman

QSART ini kepanjangan dari Quantitative Sudomotor Axonal Reflex Testing. Nah, udah mulai pusing, kan? Singkatnya, tes ini mengukur fungsi kelenjar keringat. Caranya, dokter kasih rangsangan listrik kecil ke kulit, lalu diukur seberapa banyak keringat yang keluar.

Tes ini untuk melihat apakah sistem saraf simpatik (yang mengatur keringat) berfungsi dengan baik. Kalau ada kerusakan saraf, produksi keringat bisa terganggu. Sayangnya, hasil tes ini juga nggak selalu akurat buat mendiagnosis CRPS. Jadi, QSART lebih pas buat menilai fungsi saraf secara umum.

Three-Phase Bone Scintigraphy: Mengintip Tulang yang Terluka

Tes ini lebih rumit lagi. Kita bakal masukin zat radioaktif ke dalam tubuh, lalu dianalisis aliran darah dan aktivitas tulang. Tes ini ada tiga fase. Tiap fase ngasih informasi berbeda tentang kondisi tulang.

  • Fase pertama: ngelihat aliran darah.
  • Fase kedua: melihat seberapa banyak zat yang meresap ke jaringan.
  • Fase ketiga: melihat bagaimana tulang bereaksi.

Ada pattern tertentu yang bisa mengindikasikan CRPS. Tapi, interpretasinya nggak selalu mudah. Hasilnya bisa bervariasi, dan nggak selalu sesuai dengan gejala klinis pasien.

Kinerja Tes: Mana yang Paling Oke?

Sebuah penelitian mencoba membandingkan ketiga tes ini. Kita bisa menebak hasil akhirnya. Hasil penelitian menunjukkan, infrared thermography lah yang paling menjanjikan. Bukan berarti dua tes lainnya sama sekali nggak berguna, tapi infrared thermography punya tingkat akurasi yang lebih tinggi.

Dengan kombinasi dari beberapa hasil tes, mungkin ada peningkatan dalam tingkat diagnosis. Namun, penelitian lebih lanjut tetap dibutuhkan untuk mencari kombinasi terbaik dalam menegakkan diagnosis. Sekarang, kita tahu bahwa diagnosa CRPS itu nggak semudah membalikkan telapak tangan.

Sebagai penutup, infrared thermography jadi andalan dalam mendiagnosis CRPS. Tapi, perlu diingat bahwa diagnosis tetap harus berdasarkan berbagai faktor, termasuk gejala pasien dan pemeriksaan fisik. Jadi, kalau merasa ada gejala CRPS, jangan ragu untuk segera konsultasi ke dokter. Jangan sampai sakitnya makin parah, apalagi sampai urusan hukum!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Penjualan Seri Final Fantasy Pixel Remaster Tembus Lima Juta, Total Penjualan Seri Final Fantasy Capai 200 Juta

Next Post

Indonesia Segera Luncurkan Perdagangan Karbon Berbasis Kehutanan, Implikasi Signifikan