Dark Mode Light Mode

Dampak Impunitas Perusakan Hutan di Indonesia

Hutan, Duit, dan Drama: Ketika Negara Jadi Panggung Oligarki

Bayangin, kamu lagi asik scroll TikTok, tiba-tiba muncul berita soal perusahaan sawit yang seenaknya babat hutan. Terus, bukannya dipenjara, mereka malah cuma kena denda. Kalau kamu mikir ini cuma sinetron murahan, well, selamat datang di dunia nyata, di mana duit bisa mengubah segalanya.

Inilah yang terjadi ketika "kejahatan korporasi" dimaafkan dengan denda. Alih-alih memproses secara pidana perusahaan yang merusak hutan dan lingkungan, pemerintah malah memilih negosiasi denda. Seolah-olah, kerusakan alam bisa dibayar dengan uang. Nilai denda ini kemudian menjadi "alat tawar-menawar" antara pihak pengusaha dan pemegang kekuasaan. Nah, kasusnya sekarang mandek di Kejaksaan Agung. Drama banget, kan?

Awalnya, semangat pemerintah ingin meraup Rp300 triliun dari sektor ini, tetapi pada akhirnya cuma dapat Rp600 miliar aja. Salah satu penyebabnya adalah adanya celah dalam aturan yang dibuat oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Akibatnya, perusahaan bisa bernegosiasi untuk mengurangi luas hutan yang telah mereka rusak dan juga jumlah denda yang harus dibayarkan.

Pada bulan Oktober 2024, tim penyidik dari Kejaksaan Agung melakukan penggeledahan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Perhatian utama penyidik tertuju pada keterlibatan pejabat eselon I dan II. Anehnya, sampai saat ini, belum ada satu pun tersangka yang ditetapkan dalam kasus korupsi denda sawit ini.

Undang-Undang yang Bikin Geleng-Geleng Kepala

Semua berawal ketika pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja pada tahun 2020. Ada dua pasal tambahan, yaitu 110A dan 110B, yang isinya membebaskan perusahaan sawit di kawasan hutan asalkan mereka membayar denda administratif dan melakukan pemulihan lingkungan. Gila, kan?

Rupanya, pemerintah punya ide brilian untuk mencari tambahan pendapatan negara. Namun, negosiasi berulang kali antara pemerintah dan pihak pengusaha justru berujung pada penurunan jumlah pendapatan yang diterima oleh negara. Makin aneh aja, deh!

Korupsi dalam pengelolaan sawit ini membuat Kejaksaan Agung akhirnya turun tangan. Namun, transparan atau tidaknya proses perhitungan dan pembayaran denda sawit masih menjadi pertanyaan besar. Mungkin ada udang di balik batu?

Transparansi? Apa Itu?

Pemerintah bahkan tidak pernah mengumumkan perkembangan proses pemberian keringanan bagi perusahaan sawit. Nama-nama perusahaan yang terkena pasal 110A, jumlah denda yang mereka bayarkan, dan luas hutan yang telah mereka rusak, semua dirahasiakan. Makin curiga aja, kan?

Upaya perusahaan untuk memengaruhi kebijakan dan peraturan demi kepentingan pribadi mereka adalah ciri khas dari korupsi. Tindakan ini terjadi mulai dari perumusan Undang-Undang Cipta Kerja hingga perumusan peraturan teknis di tingkat kementerian. Di mana seharusnya sanksi pidana menjadi pilihan pertama sebelum denda digunakan untuk mengganti kerusakan hutan, negara malah mempermudah cara mereka untuk dapat menghindar dari jerat hukum.

Kayak main sulap, ya?

Oligarki Beraksi: Negara dalam Genggaman

Aksi "State Capture" terjadi karena adanya gerombolan oligarki yang menggunakan lembaga negara untuk menguntungkan bisnis mereka. Dengan mengendalikan sumber daya alam, mereka bisa melanggengkan dan memperkaya diri sendiri. Hubungan timbal balik antara aktor publik dan swasta dalam "state capture" sangatlah jelas. Pelaku bisnis tidak sendirian dalam "mengendalikan" pemerintah. Hal ini berjalan dua arah. Ini memicu konflik kepentingan dan mengalihkan perhatian pemerintah dari kepentingan publik.

Ketidakhadiran sanksi pidana bagi perusahaan sawit dan kasus yang mandek di Kejaksaan Agung adalah dua contoh nyatanya. Miris banget, ya?

Hutan untuk Militer? Kok Bisa?

Awal tahun ini, Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Peraturan Presiden No. 5/2025, yang memperluas denda bagi bisnis pertambangan di kawasan hutan. Dalam peraturan ini, setelah mengeluarkan denda, pemerintah akan mengambil alih seluruh lahan yang bersangkutan, mengubah lahan tersebut menjadi tanah negara.

Namun, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni kemudian mengeluarkan peraturan lain yang menetapkan kesepakatan tentang penggunaan hutan bekas perkebunan sawit dan tambang untuk kepentingan pertahanan dan keamanan. Jadi, hutan buat militer?

Setelah digunakan sebagai ladang korupsi denda sawit, hutan kini akan digunakan untuk kepentingan militerisasi. Selain membebaskan mereka yang merusak lingkungan dan memungut denda, ada lagi faksi oligarki lain yang bersiap menguasai hutan untuk menggantikan "pemain lama" di bawah kedok pengambilalihan negara. Semakin rumit aja, nih!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

The Rookie - Episode 7.10: Chaos Agent - Press Release SpoilerTV: Kekacauan Mengintai

Next Post

Monster Train tiba-tiba kembali ke Game Pass, Play Anywhere dalam Bahasa Indonesia