February 10, 2025
Semeru Meletus: Alarm Merah atau Drama Mingguan?
Gunung Semeru kembali berulah. Erupsi demi erupsi terjadi, menyemburkan abu vulkanik yang bikin nafas sesak, sekaligus mengingatkan kita betapa kecilnya manusia di hadapan alam. Tapi, apakah ini berita utama yang bikin panik, atau cuma rutinitas yang sudah biasa di Negeri Gemah Ripah? Mari kita bedah.
Beberapa hari terakhir, Semeru di perbatasan Lumajang dan Malang, Jawa Timur, seolah sedang unjuk gigi. Erupsinya—puluhan kali—mengirimkan kolom abu dan hujan abu ke desa-desa sekitar. Kabar dari pos pengamatan Semeru menyebutkan, antara tengah malam sampai pukul 3 pagi saja, gunung ini sudah meletus tiga kali. Kolom abu tebal berwarna abu-abu menjulang 500 hingga 700 meter di atas puncak, melayang ke arah utara.
Seorang petugas pos pengamatan, Mukdas Sofian, menambahkan kalau pada hari Kamis gunung ini bahkan erupsi sebanyak 55 kali. Wow, seperti lagi latihan konser metal, ya? Tapi, katanya, tak semua kolom abu bisa diamati karena puncak gunung tertutup kabut. Ini sih, namanya "show must go on", meski panggungnya tak kelihatan.
Mukdas mengingatkan masyarakat untuk menjauhi area sejauh 500 meter dari Sungai Besuk Kobokan, jalur aliran lava yang diprediksi. Ancaman awan piroklastik dan lahar bisa mencapai jarak 13 kilometer dari puncak. Jauh juga ya, kayak cinta di Jakarta. Selain itu, aktivitas apa pun dalam radius 8 km dari puncak juga dilarang karena risiko jatuhnya batu. Wah, liburan ekstrem nih.
Selain Besuk Kobokan, warga juga diimbau waspada terhadap potensi awan piroklastik, lava, atau lahar di sepanjang sungai-sungai lainnya. Status Gunung Semeru masih di Level II alias waspada. Daerah seperti Candipuro, Pronojiwo, dan Pasrujambe, yang letaknya 13 hingga 18 km dari puncak, bahkan sudah kebagian hujan abu sedang hingga lebat. Hmm, mendingan sedia masker sama kacamata kalau mau keluar.
Erupsi Semeru: Ancaman atau Hiburan?
Sugiyono, dari pos pengamatan Curah Kobokan, menjelaskan kalau hujan abu ini disebabkan oleh angin kencang di puncak yang membawa material vulkanik dari erupsi harian. “Angin kencang ini juga menyulitkan kami mengamati kolom abu,” katanya. Anginnya kayak lagi nge-DJ, ya, muter-muter material vulkanik.
Kepala BPBD Lumajang, Patria Dwi Hastiadi, bilang kalau erupsi beberapa hari terakhir ini masih dianggap aktivitas vulkanik normal. "Namun, kami mengimbau warga di kaki gunung untuk menjauhi sungai karena risiko aliran lahar yang signifikan, apalagi cuaca sedang buruk," ujarnya. Normal sih normal, tapi tetap aja bikin deg-degan.
Aktivitas Semeru memang sudah meningkat sejak November tahun lalu. Pada Januari saja, gunung setinggi 3.676 meter ini meletus 475 kali, atau rata-rata 15 kali per hari. Sibuk bener kayak anak kos ngejar deadline. Gunung ini juga pernah mengalami dua erupsi besar beberapa tahun terakhir. Erupsi Desember 2021 menewaskan 51 orang dan memaksa hampir 10.000 orang mengungsi. Pada Desember berikutnya, sekitar 2.000 warga harus dievakuasi setelah gunung memuntahkan awan abu hingga 15 km ke langit.
Jangan Cuma Lihat, Tapi Juga Peduli
Pihak berwenang baru-baru ini mengumumkan kalau gunung akan ditutup untuk umum sampai pemberitahuan lebih lanjut. Ini karena peningkatan aktivitas vulkanik dan cuaca buruk yang berkelanjutan. Keputusan ini, sih, bagus. Mendingan aman daripada jadi tumbal. Tapi, jangan sampai kita cuma jadi penonton. Kita juga perlu peduli.
Kita semua tahu kalau alam memang nggak bisa diatur. Tapi apa iya kita cuma bisa pasrah? Mungkin, kita perlu refleksi, kenapa bencana alam semakin sering terjadi? Apakah ada hubungannya dengan cara kita memperlakukan lingkungan? Atau mungkin terlalu sibuk mikirin influencer daripada mikirin bumi?
Jangan Panik, Tapi Tetap Waspada
Jadi, erupsi Semeru ini alarm merah atau cuma drama mingguan? Ya, bisa dibilang keduanya. Erupsi adalah bagian dari siklus alam, tapi juga bisa jadi ancaman serius. Yang penting, jangan panik, tetap waspada, dan ikuti arahan dari pihak berwenang. Jangan lupa, alam itu indah, tapi juga bisa berbahaya. Hargai dia, ya.