Fuji, seorang influencer, masuk ke Gedung DPR dengan outfit yang cukup santai, termasuk crop top. Hal ini langsung mengundang pro dan kontra. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar mempermasalahkan Fuji atau outfitnya, atau ini tentang hal yang lebih besar?
Gedung DPR: Dari Buruh ke Fuji
Kalau kita bicara soal “akses,” Gedung DPR ini memang ajaib. Buruh, mahasiswa, dan masyarakat yang mencoba menyuarakan tuntutan sering kali harus berjuang mati-matian hanya untuk duduk di depan pagar, apalagi di dalam ruangan. Tapi kalau seorang influencer masuk? Oh, silakan, karpet merah siap digelar!
Kehadiran Fuji (dan influencer lain seperti Boy William) di DPR dianggap sebagai cara memberikan eksposur berbeda untuk lembaga yang sering diidentikkan dengan drama politik. Dengan followers-nya yang banyak, argumennya adalah pesan dari dalam DPR bisa sampai ke masyarakat lebih luas.
Namun, pertanyaan kritisnya: eksposur macam apa yang ingin disampaikan? Jika niatnya adalah edukasi, apakah pembahasannya mendalam? Atau sekadar tour gedung tanpa konteks penting? Kalau hanya jalan-jalan sambil pamer interior, ya masyarakat juga bisa nge-scroll Google Street View dan Google Map.
Beda Baju, Beda Adab
Ada yang menarik soal crop top Fuji. Dulu, ada cerita saat Band Ungu diundang ke Istana Wakil Presiden. Mereka ditolak masuk karena memakai jeans dan harus mengganti celana dengan bahan formal. Tapi di Gedung DPR, dress code tampaknya lebih fleksibel.
Konteks pakaian ini memang tentang kesesuaian dengan lingkungan. DPR, bagaimanapun, adalah lembaga negara yang melambangkan formalitas. Jadi, ada ekspektasi busana tertentu. Crop top mungkin cocok untuk konten TikTok, tapi apakah itu pantas di forum kenegaraan?
Bukan soal membatasi kebebasan berekspresi, tapi setiap tempat punya adab. Kampus, kantor, bahkan rumah teman punya aturan tidak tertulis. Ini bukan hanya soal menghormati tempat, tapi juga menghormati institusi. Kalau DPR sendiri membiarkan aturan ini fleksibel, apa artinya bagi kesan publik soal lembaga ini? Jangan sampai terkesan terlalu santai sehingga kehilangan wibawa.
Fungsi Fuji di DPR: Pendidikan atau Gimmick?
Fans Fuji berpendapat bahwa kehadirannya bisa membuat Gedung DPR lebih relatable. Lewat vlog atau konten di media sosialnya, masyarakat jadi tahu sisi lain DPR. Ada argumen bahwa dengan menggunakan influencer, pesan politik bisa dikemas ringan dan menarik perhatian generasi muda.
Namun, ada potensi masalah. DPR bukan hanya gedung estetik atau lokasi foto Instagramable. Di balik tembok itu, banyak keputusan besar yang memengaruhi rakyat. Jika Fuji diundang tanpa agenda yang relevan dengan kepentingan publik, apa yang membedakan ini dengan sekadar konten jalan-jalan?
Pikir Dua Kali Sebelum Menghakimi
Namun, tidak adil jika kita hanya melihat sisi negatifnya. Mungkin ada tujuan lain di balik undangan ini, seperti menarik perhatian publik agar tahu apa saja yang ada di dalam Gedung DPR. Bahkan, jika ada edukasi yang bisa dilakukan soal fungsi DPR, itu lebih baik daripada membiarkan masyarakat terus terjebak pada stigma negatif.
Tulisan ini lebih dari sekadar soal pakaian. Ini tentang bagaimana kita melihat institusi negara dan siapa yang diberi akses ke dalamnya. Apakah kehadiran influencer seperti Fuji hanya gimmick media, atau benar-benar membawa dampak positif bagi masyarakat?
Yang jelas, DPR lebih dari sekadar gedung cantik. Kalau mau bawa eksposur lewat influencer, pastikan pesannya jelas: edukasi, transparansi, dan akuntabilitas. Jangan sampai crop top jadi lebih penting daripada diskusi soal kebijakan publik.