Korupsi: Naik Kelas, Tapi Kok Malah Degradasi?
Baru juga selesai pemilu, eh, sudah disuguhi berita yang bikin "senyum kecut". Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2024 meningkat, naik tiga poin jadi 37. Tapi tunggu dulu, beneran bagus, nih?
Faktanya, dalam dua tahun terakhir, IPK kita stagnan di angka 34. Jadi, kenaikan ini seolah-olah seperti seseorang yang akhirnya naik kelas, tapi nilai ulangannya masih pas-pasan. Sumber utama IPK ini datang dari berbagai lembaga yang, salah satunya, menunjukkan penurunan tajam dalam hal risiko suap di sektor bisnis.
Ada juga indikator yang mengukur korupsi politik, melibatkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ini mencerminkan bagaimana korupsi merajalela dalam pengelolaan sumber daya alam kita. Kemudian, ada juga faktor baru dari World Economic Forum (WEF) yang menilai apakah perusahaan-perusahaan merasa wajar untuk “memberi tambahan” uang atau suap.
Kenaikan IPK ini memang mengangkat peringkat Indonesia ke posisi 99 dari 180 negara. Tapi, jangan senang dulu. Skor kita masih jauh dari pencapaian tertinggi di tahun 2019, yaitu 40. Miris, kan?
Korupsi Gaya Baru: "Red Carpet" untuk Pengusaha?
Peningkatan IPK ini, menurut beberapa pengamat, masih menyisakan banyak catatan. Apalagi di tengah periode pasca-pemilu dan kebijakan pemerintah yang rentan korupsi. Penurunan skor terjadi di tiga aspek: penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi, korupsi politik, dan suap dalam bisnis.
Perlu diingat, indikator WEF adalah hal baru karena Indonesia merespons survei tersebut. Kualitas datanya juga masih jadi pertanyaan. Mungkin karena kita baru sadar, atau pura-pura sadar, ya?
Studi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang bisnis ekstraktif dan energi terbarukan yang berkaitan dengan pemerintahan sekarang menunjukkan keterkaitan kuat antara pengusaha dan pejabat yang berkuasa. Pemerintah daerah dan eksekutif "memberikan karpet merah" berupa izin, legislatif memberikan dukungan, dan yudikatif membela perusahaan jika ada protes dari masyarakat.
ICW: Proyeksi Gelap Korupsi 2025
ICW memproyeksikan pemberantasan korupsi justru berjalan mundur sepanjang tahun 2024. Pandangan regresif ini diperkirakan berlanjut di tahun 2025. Kenapa bisa begitu?
Pertama, tidak ada inisiatif atau kebijakan antikorupsi yang sistematis dari pemerintah. Upaya pemberantasan korupsi terlihat selektif, hanya menyasar pihak-pihak tertentu. Mungkin karena yang lain terlalu "berpengaruh"?
Kedua, ada beberapa kasus dugaan korupsi yang mencuat, seperti korupsi CSR Bank Indonesia yang diduga melibatkan Gubernur Bank Indonesia dan anggota DPR. Ada juga dugaan korupsi proyek kereta api di Kementerian Perhubungan yang dananya diduga untuk kampanye, serta korupsi pengadaan barang di rumah dinas anggota DPR. Banyak banget, ya, kerjanya?
Ketiga, ICW menilai pemerintah enggan mempercepat pemberantasan korupsi dengan memperkuat regulasi, termasuk RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang. Mungkin karena aturan itu akan mengancam stabilitas para pejabat korup?
Mau Sampai Kapan Begini Terus?
Melihat semua fakta ini, rasanya kita perlu lebih kritis. Kenaikan IPK memang menggembirakan, tapi jangan sampai kita terlena. Bagaimana caranya?
Kita harus terus mengawasi kinerja pemerintah, menuntut transparansi, dan mendukung upaya pemberantasan korupsi. Jangan biarkan para koruptor merasa nyaman dan kebal hukum. Karena kalau tidak, kita semua yang akan merugi.
Mungkin sudah saatnya kita tidak hanya sekadar bertepuk tangan atas angka-angka IPK, tapi juga ikut turun tangan untuk menciptakan perubahan nyata. Kita butuh lebih banyak lagi orang yang peduli, berani bersuara, dan tidak takut melawan korupsi. Apakah kamu salah satunya?