Hujan, Banjir, dan Jakarta: Apakah Kita Sudah Kapok?
Jakarta, kota metropolitan yang katanya tak pernah tidur, kembali menjadi sorotan. Bukan karena gedung pencakar langit atau gaya hidup glamor, tapi karena banjir. Ya, lagi-lagi banjir. Kali ini, penyebabnya adalah pusaran angin di Samudra Hindia yang katanya memaksa hujan turun dengan tak tahu diri di berbagai wilayah, termasuk Jakarta. Rasanya seperti dejavu, bukan?
Kabar ini datang dari seorang peneliti BRIN bernama Erma Yulihastin. Beliau menjelaskan tentang pusaran angin yang bikin konvergensi atmosfer, lalu hujan deras, dan akhirnya… ya, kamu tahu sendiri. Tapi, tunggu dulu, kenapa sih kok bisa begini terus? Apakah kita sudah lupa cara menjaga lingkungan? Atau mungkin, kita memang lebih suka drama daripada solusi?
Banjir: Bencana Tahunan Atau Kita yang Kurang Peduli?
Dulu, banjir mungkin hanya menjadi cerita horor di buku pelajaran geografi. Sekarang, banjir adalah berita utama yang menemani kita sarapan, makan siang, bahkan sebelum tidur. Apakah kita sudah terbiasa? "Ah, paling juga banjir lagi," mungkin itu yang ada di pikiran banyak orang.
Tapi, pernahkah kamu bertanya, kenapa banjir ini seperti tamu tak diundang yang datangnya selalu tepat waktu? Apakah kita memang sudah pasrah, atau ada sesuatu yang salah dengan cara kita memperlakukan kota ini? Jangan-jangan, kita terlalu sibuk dengan urusan pribadi sampai lupa bahwa lingkungan juga butuh perhatian.
Data menunjukkan bahwa hujan kali ini cukup ekstrem. Bukan cuma Jakarta, tapi juga wilayah lain seperti Bogor, Demak, Kudus, dan Semarang terkena imbasnya. Artinya, ini bukan cuma masalah Jakarta, tapi masalah kita semua.
Mitigasi: Kata-kata Indah yang Jarang Terlaksana
Pemerintah, seperti biasa, mengimbau masyarakat untuk waspada, terutama di daerah rawan banjir. Mereka juga meminta agar kita semua memitigasi dampak banjir. Tapi, apa sih sebenarnya arti mitigasi itu? Dalam praktiknya, apakah kita benar-benar melakukannya?
Mungkin kita sibuk mencari solusi instan, seperti mencari cara cepat untuk menyelamatkan diri atau harta benda saat banjir datang. Padahal, mitigasi seharusnya dimulai dari hal-hal kecil, seperti menjaga kebersihan lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, dan peduli terhadap saluran air.
Kita seringkali lebih suka menyalahkan orang lain daripada introspeksi diri. Kalau banjir, yang disalahkan pasti pemerintah, dinas terkait, atau mungkin, tetangga yang membuang sampah sembarangan. Tapi, pernahkah kita bertanya pada diri sendiri, apa yang sudah kita lakukan untuk mencegah banjir?
Ketika Teknologi Tak Berdaya Menghadapi Kebodohan Manusia
BRIN punya aplikasi canggih untuk memantau curah hujan, bahkan sampai 400 milimeter. Tapi, teknologi secanggih apa pun sepertinya tak akan berarti jika kita, sebagai manusia, tetap membandel dan tak mau belajar dari pengalaman.
Aplikasi ramalan cuaca memang bisa membantu kita bersiap diri, tapi bukan berarti kita bisa santai-santai saja. Kita juga harus mengubah perilaku kita, dari yang merusak menjadi yang menjaga.
Banjir ini seharusnya menjadi pengingat. Pengingat bahwa bumi ini punya batas, dan kita tidak bisa terus menerus mengeksploitasi alam tanpa konsekuensi. Pengingat bahwa kita punya tanggung jawab terhadap generasi mendatang.
Semoga kali besok, kita tidak cuma berdebat tentang siapa yang salah, tapi mulai mencari solusi bersama-sama, mulai dari diri sendiri.